Opini

Tak Seimbangnya Gaji Dosen dalam Kapitalisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Nia Umma Zhafran

wacana-edukasi.com, OPINI-– Dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada tanggal 2 Mei 2024, banyak media yang mengungkit tagar #janganjadidosen, yang sebelumnya telah viral pada bulan Februari lalu. Tagar ini merupakan bentuk keluh kesah para dosen yang menerima gaji minim. Padahal jam kerja sering melampaui batas.

Berdasarkan hasil penelitian Serikat Pekerja Kampus (SPK) mengungkap bahwa mayoritas dosen menerima gaji bersih kurang dari 3 juta rupiah pada kuartal pertama 2023. Termasuk dosen yang telah mengabdi selama lebih dari 6 tahun. Karena rendahnya gaji, sekitar 76 persen responden (dosen) mengaku harus mengambil pekerjaan sampingan. Keadaan inilah yang tentunya membuat tugas utamanya sebagai dosen menjadi terhambat dan juga berpotensi menurunkan kualitas pendidikan.

Belum lagi, dosen di universitas swasta jauh lebih rentan menerima gaji minim. Sebanyak 61 persen responden (dosen) merasa kompensasi tidak sejalan dengan apa yang dibebankan dan kualifikasi mereka. Beberapa dosen merasa kurang dihargai. Hal ini mempengaruhi motivasi dan keterlibatan mereka dalam tugas dosen. SPK mengimbau kepada pemerintah agar terjadi peningkatan gaji pokok dosen agar dosen dan pekerja kampus sejahtera. (Tempo.co, 02/05/2024)

Dosen merupakan pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mengajar, mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian yang dibebankan mengabdi kepada masyarakat.(wikipedia)

Tapi fakta terkait minimnya gaji dosen sungguh miris, hal ini menggambarkan abainya perhatian dan penghargaan negara atas profesi yang telah besar mempengaruhi masa depan bangsa. Fakta ini pun tentunya dapat menggeser cara pandang generasi terkait ilmu. Lazimnya orang berilmu atau ilmuwan yang seharusnya dimuliakan, malah kelak tidak dihormati. Apalagi menjadi bintang idola belum tentu terwujudnya kesejahteraan.

Sejatinya, pemberian upah yang layak dikalangan dosen tidak lepas dari kapitalisasi pendidikan di negeri ini. Dimana tata kelola negara yang kapitalistik berlandaskan good governance dan reinventing government. Dimana konsep ini berperan besar melahirkan petaka biaya pendidikan yang mahal serta mengharuskan negara berlepas tangan dari kewajiban utamanya yakni sebagai pelayan rakyat. Termasuk jaminan pendidikan kepada setiap individu dan juga pemberian gaji yang layak bagi tenaga pengajar.

Diperparah lagi dengan tata kelola keuangan dan ekonomi negara yang kapitalistik yang memiskinkan negara. Yang mana sistem ini membebaskan kendali ekonomi diserahkan kepada pihak swasta untuk meraih keuntungan. Tata kelola yang rusak ini menjadikan negara tidak cukup dana untuk menggaji pegawai negara termasuk dosen.

Negara yang berakidah sekuler yakni memisahkan peran agama dari kehidupan melahirkan sistem Kapitalisme. Yang menjadikan individu, masyarakat hingga negara meletakkan standar kemuliaan itu dari materi. Maka tak heran pendidikan yang mampu membentuk para ilmuwan yang berjasa bagi masyarakat, kurang dimuliakan.

Sebaliknga kebijakan negara malah tampak condong pada kepentingan para kapital pemilik modal karena mampu menghasilkan keuntungan bagi negara berupa materi. Materi termasuk mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Oleh karena itu, permasalahan gaji dosen merupakan problem sistemik akibat penerapan sistem Kapitalisme dalam segala aspek kehidupan di negeri ini.

Berbeda halnya pendidikan dalam sistem Islam. Dimana Islam sangat menghargai ilmu. Baik para pemilik ilmu apalagi yang mengajarkan ilmu. Pasalnya ilmu akan memelihara akal manusia dan merupakan investasi masa depan sebuah bangsa. Negara adalah pihak yang diamanahi dalam menyelenggarakan pendidikan terbaik bagi seluruh rakyatnya. Negara akan menjamin tercegahnya pendidikan sebagai bisnis atau komoditas ekonomi sebagaimana fakta dalam sistem kapitalisme saat ini.

Negara akan memberikan dukungan penuh terkait sistemik pendidikan. Yakni negara wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran dan lain sebagainya. Negara juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya termasuk dosen di pendidikan tinggi sekaligus memberikan gaji yang layak bagi tenaga pengajar dan seluruh pekerja yang bekerja di suatu instansi pendidikan.

Terkait dosen, Islam tidak memandang profesi ini sebatas pekerjaan, melainkan mereka berperan penting sebagai pencetak generasi pemimpin sehingga sangat dimuliakan dan wajib dihormati.

Agar para dosen fokus mendidik calon pemimpin bangsa, Islam memberikan penghargaan yang besar serta layak. Contoh pada zaman Khalifah Umar bin Khathab, guru digaji hingga 15 dinar/bulan (1 dinar = 4,25 gram emas) per bulan. Mengacu harga emas saat ini, 1 gram emas adalah Rp1,308 juta, maka gaji guru Rp83,385 juta per bulan.

Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, penghargaan bagi orang berilmu sangat fantastik. Gaji pengajar kala itu mencapai 1.000 dinar/tahun. Khalifah juga memberikan gaji dua kali lipat untuk pengajar Al-Qur’an. Bahkan, ketika pengajar atau ilmuwan yang menghasilkan buku, mereka akan mendapatkan penghargaan sesuai berat buku tersebut (dalam dinar). Inilah bukti bahwa Islam sangat menghargai ilmu, orang yang berilmu dan megajarkan ilmu.

Dukungan penuh negara inilah menjadikan dosen hidup sejahtera. Islam dengan nyata memberikan penghargaan setimpal dengan perannya. Tak inginkah sistem Islam diterapkan saat ini?

WalLaahu a’lam bish showwab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 3

Comment here