Opini

Sulitnya Akses Belajar, tetapi Rakyat Disuruh Pintar

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Imas Rahayu, S.Pd. (Aktivis Muslimah)

Wacana-edukasi.com, OPINI--Pendidikan di Indonesia kembali menjadi sorotan. Bukan karena prestasi yang membanggakan, melainkan karena kenyataan pahit bahwa akses terhadap pendidikan masih menjadi hak istimewa bagi sebagian kalangan. Ironisnya, masyarakat terus didorong untuk cerdas, namun akses untuk mencapai kecerdasan itu justru dibatasi oleh sistem dan kondisi sosial-ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat kecil.

Berdasarkan laporan Kompas.com (5-5-2025), rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia hanya mencapai 9 tahun, setara dengan pendidikan hingga SMP. Ini artinya, sebagian besar masyarakat Indonesia belum mengenyam pendidikan tingkat atas, apalagi pendidikan tinggi. Hal ini diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa lulusan perguruan tinggi hanya mencapai sekitar 9,7% dari total penduduk usia 15 tahun ke atas.

Dikutip dari Metrotvnews.com (5-5-2025), dibutuhkan komitmen yang kuat dari negara untuk mewujudkan layanan pendidikan yang merata dan berkualitas. Kenyataannya, kesenjangan akses pendidikan antara daerah perkotaan dan daerah terpencil (3T: Tertinggal, Terdepan, Terluar) masih sangat mencolok. Masih banyak wilayah yang kekurangan guru, infrastruktur pendidikan, bahkan akses internet untuk pembelajaran daring.

Berdasarkan Beritasatu.com (6-5-2025), meski pemerintah mengklaim telah menyediakan berbagai program seperti KIP (Kartu Indonesia Pintar), sekolah gratis, dan bantuan lainnya, realitanya program ini belum menjangkau seluruh rakyat. Banyak anak dari keluarga miskin yang tetap tidak dapat melanjutkan pendidikan karena berbagai hambatan struktural dan ekonomi.

Kapitalisme dan Komersialisasi Pendidikan

Ketimpangan dalam akses pendidikan tidak bisa dilepaskan dari sistem yang melingkupinya: kapitalisme. Dalam sistem kapitalis, pendidikan dipandang bukan sebagai hak dasar warga negara, tetapi sebagai komoditas. Pendidikan dijual dengan harga mahal, dan siapa yang mampu membayar, dia yang mendapatkan kualitas terbaik. Akibatnya, pendidikan menjadi layanan eksklusif, bukan hak universal.

Kapitalisme mendorong swastanisasi lembaga pendidikan. Sekolah dan universitas swasta berkembang pesat dengan biaya yang tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Bahkan lembaga pendidikan negeri pun kini tidak sepenuhnya gratis. Banyak sekolah yang masih membebankan biaya seragam, buku, ekstrakurikuler, hingga uang gedung yang tidak sedikit. Alih-alih menjadi tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan justru menjadi ladang bisnis yang menguntungkan bagi segelintir pihak.

Tak hanya itu, sistem pendidikan kapitalistik juga memaksa kurikulum untuk mengikuti kebutuhan pasar. Alih-alih mencetak manusia berilmu dan berakhlak mulia, pendidikan hari ini lebih fokus mencetak tenaga kerja murah yang siap dieksploitasi pasar global. Efisiensi anggaran yang diterapkan dalam sistem ini semakin menekan kualitas pendidikan. Pemerintah sering kali memangkas anggaran pendidikan, sementara kebutuhan lapangan makin meningkat.

Dalam sistem kapitalisme, keadilan sosial dalam pendidikan sulit terwujud karena negara lebih berperan sebagai regulator, bukan sebagai penjamin hak rakyat. Pendidikan diserahkan kepada mekanisme pasar, dan negara hanya hadir sebatas program subsidi yang sangat terbatas dan bersyarat.

Pendidikan Gratis dan Merata dalam Sistem Khilafah

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang pendidikan sebagai hak dasar setiap individu tanpa memandang status ekonomi. Negara dalam sistem Islam (Khilafah) wajib menyediakan pendidikan secara gratis, merata, dan berkualitas kepada seluruh rakyat, baik di perkotaan maupun pedesaan, tanpa diskriminasi.

Pendidikan dalam Khilafah bertujuan membentuk manusia yang berilmu, bertakwa, dan memiliki keterampilan. Negara akan menjamin pendidikan dasar hingga tingkat tinggi dapat diakses siapa saja, karena pendidikan dipandang sebagai kebutuhan pokok rakyat, sama halnya seperti keamanan dan kesehatan.

Pendanaan pendidikan tidak berasal dari utang luar negeri atau investasi swasta, melainkan dari Baitul Mal, yang memiliki pos-pos pemasukan tetap seperti:

Fai’ dan kharaj, yakni harta rampasan dan pajak tanah yang ditarik dari wilayah-wilayah yang dikuasai Islam.
Kepemilikan umum, seperti hasil tambang, sumber daya alam, dan kekayaan laut yang dikelola negara untuk kemaslahatan umat.
Zakat, untuk pendidikan golongan fakir dan miskin.

Dengan dana yang cukup dan dikelola oleh negara secara langsung, pendidikan dalam sistem Islam akan bebas dari kepentingan pasar dan swasta. Tidak ada kurikulum pasar yang menyesuaikan dengan kebutuhan kapitalis, karena kurikulum dalam Khilafah disusun berdasarkan akidah Islam, dan mengarahkan siswa untuk memiliki kepribadian Islam serta kompetensi tinggi di berbagai bidang ilmu.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”
(HR. Ibnu Majah)

Sabda ini menunjukkan bahwa ilmu adalah kewajiban, bukan pilihan. Maka negara Islam bertanggung jawab penuh untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Kondisi pendidikan Indonesia saat ini menggambarkan bahwa sistem kapitalisme tidak mampu mewujudkan pendidikan yang adil dan merata. Pendidikan hanya dinikmati oleh mereka yang mampu, sementara rakyat miskin hanya bisa bermimpi. Meski berbagai program digulirkan, nyatanya belum menyentuh akar persoalan.

Sudah saatnya kita mempertimbangkan sistem alternatif yang menjadikan pendidikan sebagai hak dasar, bukan komoditas. Sistem Islam melalui Khilafah menawarkan solusi nyata, di mana negara hadir secara utuh sebagai penjamin pendidikan, bukan sebagai penonton. Sebab hanya dengan pendidikan yang adil dan merata, bangsa ini bisa tumbuh menjadi masyarakat yang benar-benar cerdas, bermartabat, dan berperadaban. [WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 3

Comment here