Opini

Krisis Air Bersih Meluas, Minimnya Mitigasi Kekeringan dalam Kapitalisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Sesungguhnya banyak teknologi untuk mengolah air laut menjadi air bersih, sayangnya teknologi yang canggih tersebut tidak disediakan untuk dimanfaatkan rakyat, namun hanya untuk kepentingan industri. Tentu ini menjadi pemicu kurangnya pasokan air bersih bagi masyarakat.

Oleh : Nunik Krisnawati (Pengamat Lingkungan)

wacana-edukasi.com, OPINI– Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan pada minggu terakhir bulan Agustus 2023, Indonesia akan mengalami puncak musim kemarau, karena dipicu fenomena El Nino. Selain itu, BMKG memprediksi kemarau tahun ini akan sama seperti tahun 2019 yang menimbulkan kekeringan, akan tetapi tidak separah 2015. Dimana di tahun 2015 kekeringan diperburuk dengan luasnya area kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Musim kemarau tahun 2023 diprediksi lebih kering dibanding dengan tiga tahun sebelumnya. Fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang terjadi di Samudera dalam kurun waktu bersamaan menyebabkan kemarau kali ini lebih kering dengan curah hujan sangat rendah (Liputan6.com, 12/08/2023)

Tahun ini lagi-lagi masyarakat dihadapkan dengan krisis air bersih. Salah satunya di Semarang, dusun Kebontaman, desa Klikayen Kecamatan Ungaran Timur. 800 jiwa dari 250 KK di daerah ini mengandalkan bantuan air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dikarenakan sumur-sumur mereka sudah mengering. Namun, bantuan air bersih yang berasal dari Instalasi Pamsimas (Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) inipun sudah tidak mencukupi karena sumber debit airnya terus menurun drastis.

Sebenarnya pihak PMI juga telah menyalurkan bantuan air bersih sebanyak 1.500 liter atau tiga tangki kepada warga, akan tetapi juga belum mencukupi. Sehingga warga Kebontaman pun mengandalkan air sungai Pengkol untuk kebutuhan mencuci pakaian dan peralatan, walaupun debit airnya berkurang signifikan, dan warga harus menempuh jarak 1 kilometer untuk sampai ke sana.(Republika.id, 12/08/2023).

Masalah kekeringan air bukanlah masalah baru karena tiap tahun selalu terjadi. Pemerintah nampaknya hanya memberikan solusi jangka pendek, tanpa menyentuh akar masalah. Seperti yang dialami warga di Pengasinan RT 1 RW 13, Dusun Girimulya, Desa Binangun, Kota Banjar, Jawa Barat. Kondisi kesulitan memperoleh air bersih di desa ini sudah dialami selama dua puluh tahun. Warga tidak bisa menggunakan air sumur dikarenakan asin, ditambah pasokan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Anom tidak ada. Pemerintah setempat pernah membantu warga Binangun dengan menggali sumur bor sedalam 100 meter, namun air yang dihasilkan asin dan kotor tidak layak konsumsi.
Kini warga Binangun hanya mengandalkan air bersih bantuan dari BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kota Banjar, bahkan mereka harus membeli air bersih yang tidak murah (tvonenews.com, 07/08/2023).

Hal serupa terjadi di kabupaten Bogor. Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Bogor, Aris Nurjatmiko mengatakan, bencana kekeringan musim kemarau ini berdampak pada 53.103 jiwa di 13 kecamatan. Aris Nurjatmiko mengatakan, BPBD terus melakukan penanganan jangka pendek dengan memasok air bersih ke wilayah kekeringan bekerja sama dengan PDAM. Bantuan air yang diprioritaskan untuk mandi dan masak sudah mencapai 500 ribu liter untuk wilayah yang berdampak kekeringan (Radarbogor, 14/08/2023)

Kekayaan sumber daya air di Indonesia sungguh besar bahkan menduduki peringkat lima dunia dengan potensi air hujan yang turun 7 triliun meter kubik (pu.go.id, 5/06/2012). Sumber daya air yang besar itu dikelola untuk pertanian, kebutuhan domestik dan industri hanya sekitar 20%. Sedangkan yang lain terbuang ke laut. Akibatnya, masyarakat tidak dapat menikmati air dengan maksimal.
Ditambah berbagai wilayah negeri ini mengalami kekeringan, yang menyebabkan berkurangnya pasokan air bersih untuk konsumsi rumah tangga setiap hari. Meskipun pemerintah sudah berupaya memberikan bantuan air bersih, tetapi dirasa belum mencukupi.

Tata Kelola Kapitalis

Sesungguhnya banyak teknologi untuk mengolah air laut menjadi air bersih, sayangnya teknologi yang canggih tersebut tidak disediakan untuk dimanfaatkan rakyat, namun hanya untuk kepentingan industri. Tentu ini menjadi pemicu kurangnya pasokan air bersih bagi masyarakat.

Air sebagai kebutuhan pokok dan utama justru diposisikan sebagai komoditas ekonomi sehingga boleh dikomersialkan. Sumber-sumber air diprivatisasi oleh swasta. Hal ini dapat kita lihat pada banyaknya air kemasan yang dijual bebas di pasaran. Tentu air kemasan ini merupakan produk dari kapitalisasi sumber-sumber air oleh industri air kemasan.

Padahal sejatinya air merupakan milik umum yang seharusnya masyarakat dengan mudah memperolehnya. Kapitalisasi air inilah yang menjadi akar masalah krisis air bersih di negeri yang kaya akan sumber daya air ini.

Selain itu, negara membiarkan deforestasi yang masif dilakukan oleh korporasi. Akibatnya ekosistem sekitarnya menjadi rusak dan ketersediaan air pun berkurang. Ketersediaan air di suatu daerah sangat tergantung pada terjaganya ekosistem.

Tata kelola limbah di perkotaan pun menambah deretan penyebab krisis air bersih. Perusahaan yang membuang limbah ke sungai secara sembarangan mengakibatkan air sungai tercemar dan tak layak konsumsi walau hanya untuk mencuci. Dampaknya untuk memperoleh air bersih masyarakat akhirnya bergantung dengan perusahaan-perusahaan penyedia air.

Dari sini, nampak bahwa kepengurusan kapitalisme setengah hati mengurus rakyatnya, akan tetapi keberpihakan terhadap pemilik modal dengan sepenuh hati.

Pengelolaan Air dalam Islam

Islam mempunyai petunjuk dalam mengurus kebutuhan rakyat. Sesuai sabda Rasulullah Saw.: “Imam/ Khilafah itu laksana penggembala dan ia bertanggung jawab terhadap gembalaannya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis tersebut, negara adalah periayah (pengurus) kebutuhan rakyatnya. Negara yang menerapkan sistem Islam (Khilafah) akan benar-benar memastikan rakyat tercukupi kebutuhan pokoknya, termasuk ketersediaan air bersih. Khilafah tidak mungkin hanya mencukupkan pada solusi jangka pendek seperti negara kapitalisme saat ini. Mencukupi kebutuhan air untuk masyarakat hanya sebatas dropping air bersih ke daerah yang mengalami kekeringan. itupun sering terkendala jarak. Atau hanya membuat bendungan yang juga tak mampu mengatasi kesulitan air bersih yang dirasakan masyarakat.

Ada paradigma fundamental terkait pengelolaan air dalam Khilafah. Syekh Taqiyuddin An Nabhani dan Syekh Abdul Qadim Zallum sebagai mujtahid abad ini menjelaskan dalam kitab masing-masing yaitu kitab Nidzamul Iqtishadiyyah dan Al Amwal : “Bahwa sumber air yang jumlahnya melimpah tuang, seperti sumber-sumber mata air sungai, laut, selat, teluk dan danau merupakan milkiyah ammah (kepemilikan umum)”.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah Saw : “Muslim berserikat dalam tiga hal: padang gembalaan, air, dan api” (HR. Abu Dawud).

Ketersediaan air secara sifat termasuk tipe alaminya sehingga dicegah individu menguasainya. Ini berdasarkan Hadis Rasulullah Saw. : “Mina adalah tempat peristirahatan untuk siapa yang mencapai terlebih dahulu” ( HR. Tirmidzi).

Sehingga jelas bahwa sumber air tidak bisa dikomersialiasi oleh pihak swasta seperti di negara kapitalisme saat ini. Sumber air akan benar-benar dimanfaatkan rakyat secara langsung dengan pengawasan negara agar ketika dimanfaatkan tidak menimbulkan kemudharatan atau bahaya.

Khilafah akan mempersilakan rakyat untuk mengambil manfaat dari sumber-sumber air tersebut untuk minum, keperluan rumah tangga, pakan ternak (ash- shaffah) hingga irigasi untuk pertanian (asy-syirb), dan keperluan transportasi. Khilafah akan melakukan pemeliharaan terhadap sumber air agar tetap terjaga kelestariannya, seperti menata tepian sungai dan membersihkan sungai (bakriy al- anhaar).

Dari segi konsep pengelolaan, jelas pemenuhan kebutuhan air bersih untuk masyarakat akan dijamin oleh negara. Khilafah tidak akan mengabaikan kekeringan yang diakibatkan oleh bencana hidrometeorologi, yang memang bagian dari fenomena alam.

Untuk menghadapi masalah ini, Khilafah akan mengerahkan semua ahli terhebat yang dimiliki negara, seperti ahli hidrologi, geologi, BMKG dan ahli yang terkait. Mereka akan menyusun strategi jangka pendek ataupun jangka panjang. Dari strategi merekalah Khilafah akan membuat kebijakan agar masyarakat terhindar dari bahaya kekurangan air sekalipun mereka tinggal di daerah yang kering.

Selain itu juga Khilafah akan bertindak tegas kepada pihak yang melakukan kerusakan lingkungan, seperti deforestasi, kapitalisasi sumber air oleh perusahaan air minum kemasan dan sejenisnya. Dengan demikian sejatinya potensi air bersih di Indonesia yang mencapai 2,83 triliun kubik per tahun sangat mampu memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat, asalkan dikelola sesuai syariat dalam Kepemimpinan Daulah Khilafah Islamiyah.

Waalahualam bi showab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 47

Comment here