Cerpen

Ramadan Berselimut Duka

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh By Rumaisha

Islam kafah, terapkan!
Khilafah, tegakkan!
Kapitalisme, hancurkan!

wacana-edukasi.com–Aku terkesiap dan mematung sebentar mendengarkan teriakannya dari atas mobil terbuka, melalui pengeras suara. Aku tidak mengerti apa yang diucapkannya. Tetapi, yang pasti semua orang mengikuti kata-katanya dengan penuh semangat, seperti air yang dipanaskan dalam tungku, membakar semua orang yang hadir.

Aku terus memperhatikan acara yang digelar di Gedung Sate, Kota Bandung itu. Sampai acara beres, aku menyimak dan mendengarkan walaupun kata-katanya tidak dipahami secara utuh, sebagian besar malah asing di telingaku.

“Anda tadi berbicara apa? apa yang dilakukan bersama yang lainnya?”

“Oh, tadi saya sedang melakukan aksi damai, melakukan muhasabah kepada penguasa. Mengingatkan kepada pemimpin agar tidak mengeluarkan kebijakan yang menzalimi rakyat. Penguasa bersikeras menaikkan BBM, padahal rakyat sedang menghadapi persoalan ekonomi karena imbas pandemi. Itu adalah bentuk cinta saya dan yang lainnya, amar ma’ruf agar penguasa mengurus rakyatnya dengan benar.”

“Oh, seperti itu ya, umat Islam mengingatkan penguasanya?”

Di situlah kami berjumpa dan berkenalan. Tepatnya di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat. Sejak itulah kami menjadi sahabat. Jarak dan tempat tidak menjadi halangan untuk saling berkirim kabar. Kecanggihan teknologi telah membuat yang jauh menjadi dekat, atau yang dekat menjadi jauh kalau orang tersebut tidak bijak menggunakan ponsel yang dimilikinya.

Meski aku seorang Yahudi tulen, aku tak pernah ke sinagog. Aku orang yang tak peduli kepada agama. Orang tua pun tidak ambil pusing dengan kondisi yang ada. Mereka, selama ini hanya mengajari anak-anaknya agar bisa sukses dan menghasilkan pundi-pundi uang.

“Saya senang berkenalan dengan Anda. Kenalkan, nama saya John Brog. Saya orang Amerika keturunan Yahudi, tapi sudah lama tinggal di Banyuwangi.”

Ia menyambut uluran tanggaku, hangat. “Saya Hanif, Muhammad Hanif, asli Garut,” katanya. Wajahnya tampak berseri-seri dan bersih. Bahkan kulihat seperti ada cahaya yang memancar dari raut mukanya. Wajah yang tampak damai dan bersahabat. Tidak ada kesan yang buruk, seperti banyak diberitakan, bahwa seorang muslim itu radikal dan intoleran. Kami pun duduk sambil mengobrol selepas acara itu.

Itu terjadi tiga tahun yang lalu. Perjumpaan yang tidak pernah kulupakan hingga kapan pun. Sebab, itulah titik awal pencarianku menuju Islam. Mungkin aku tidak akan menjadi Umar Borg, seorang mualaf yang gemar mengembara ke berbagai pelosok negeri untuk mendakwahkan Islam, bila aku tidak bertemu dengan Hanif. Haniflah yang telah mengantarkan aku menjadi seorang muslim.

Saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju Bandung. Sulit kupercaya bahwa hari ini Ramadan tahun kedua dalam perjalanan hidupku. Aku akan mengunjungi Hanif di penjara yang ada di kota ini, sekaligus menjemputnya. Masa tahanan sudah ia jalani dengan penuh kesabaran.

Hanif, sahabatku itu, telah dipenjarakan karena kasus dakwah yang selama ini dilakukannya. Seorang PNS dilarang untuk dakwah mengajak kepada penerapan Islam kafah dan khilafah. Tetapi, ia tidak menanggapinya, karena itulah ia dimasukkan ke penjara bersama beberapa temannya.

Pihak yang terkait beralasan, dakwah Hanif akan memecah belah NKRI. Padahal, Hanif dan yang lainnya, tidak pernah mengangkat senjata atau aktivitas lainnya yang bersifat fisik.

Aku tidak habis pikir, negeri ini adalah mayoritas muslim, tetapi menangkapi para pengemban dakwah seperti Hanif dan kawan-kawan. Padahal, tujuan mereka mulia, ingin memperbaiki negeri ini dari kerusakan sistem yang tidak menerapkan hukum Allah Swt. dalam mengatur kehidupan.

Aku saja yang baru masuk Islam memahami, bahwa apa yang mereka serukan adalah sebuah kebenaran. Khilafah adalah ajaran Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Selain itu, dakwah yang mereka lakukan adalah dakwah pemikiran dan tidak menggunakan cara kekerasan. Lantas, apa yang menjadi kekhawatiran mereka?

Hanif menolak ketika ada pilihan yang diajukan, berhenti untuk dakwah dan ia bisa keluar dari penjara, beraktivitas seperti biasa. Tetapi, Hanif menolaknya, ia yakin barang siapa menolong agama Allah Swt. maka Dia akan menolong hambanya. “Lebih baik mati berkalang tanah, daripada harus melepaskan kewajiban dakwah.” Begitu yang ia katakan padaku. Aku bangga sahabat atas pendirianmu yang teguh.

Di dalam lapas pun, Hanif terus melakukan dakwah. Sehingga banyak orang yang telah mengikuti jejaknya, menerima Islam secara keseluruhan. Semua manusia punya potensi yang sama untuk memahami Islam, karena semenjak lahir fitrah Islam itu sudah ada pada setiap hamba.

Di dalam perjalanan, aku menemukan keanehan-keanehan. Padahal, umat Islam baru melaksanakan separuhnya dari bulan Ramadan. Aku melihat ada rumah makan atau warung nasi yang buka siang hari. Selidik punya selidik, ternyata ada kebijakan penguasa yang mengatakan harus menghormati orang yang tidak berpuasa. Bukan sebaliknya yang tidak berpuasa wajib menghormati yang puasa. Aku menggeleng-gelengkan kepala waktu ada seseorang yang minum di tempat umum.

Tidak terasa, aku sudah berdiri di depan lapas Suka Miskin. Setelah melewati para penjaga yang menanyakan identitasku, aku dibawa ke tempat berkunjung. Di ruangan itu hanya ada dua bangku panjang dan sebuah meja. Di situlah biasa tahanan bertemu dengan keluarganya atau orang yang ingin mengunjunginya.

Hanif dan yang lainnya sudah menungguku. Aku sengaja datang menjelang buka puasa, dan membawa makanan yang banyak untuk kami buka. Karena kutahu, makanan di penjara ala kadarnya. Bagaimanapun mereka harus menerima apapun yang diberikan oleh pihak lapas. Mereka semua tampak gembira melihat aku datang seperti yang telah dijanjikan.

Kuucapkan salam kepada mereka dan mereka pun membalas salamku dengan hangat.

Haniflah yang pertama-tama menyongsong, yang lainnya juga bangkit dan berdiri.

“Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan, Hanif,” ucapku seraya merangkulnya.

“Selamat menjalankan puasa Ramadan juga, Umar,” balasnya seraya mendekapku.

“Apa kabarmu, selama ini?” tanyaku.

“Aku sehat-sehat saja.” Ia tersenyum. Tidak terlihat sedikit pun keletihan di wajahnya juga pada wajah-wajah yang lain. Semua menunjukkan keceriaan. Indahnya hidup di dalam persaudaraan Islam, saling support dan menguatkan satu sama lainnya. Padahal, mereka dari suku yang berbeda, tetapi Islam telah meleburnya menjadi saudara seakidah. Aku sendiri sangat kagum terhadap kepribadian Hanif, ia begitu sabar membimbingku memahami Islam, atas penjelasannya yang sesuai akal, serta diikuti oleh dalil yang kuat, akhirnya aku meyakini, bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan sekaligus solusi bagi setiap masalah yang ada.

Hanif mengajariku untuk berpikir ketika memahami Islam. Kehidupan, manusia, dan alam, ketiga ciptaan Allah Swt. inilah yang disodorkan Hanif kepadaku untuk dijadikan sebagai objek berpikir. Proses inilah yang mengantarkan aku ada bersama mereka.

“Bagaimana perjalananmu, keliling Indonesia, bagaimana kabar saudara-saudara muslim yang lainnya?”

Hanif tahu, aku senang mengembara, pergi ke pelosok-pelosok untuk memahamkan mereka tentang Islam kafah. Bahkan aku juga pernah mendatangi dan menyaksikan sendiri muslim yang ada di India. Kebetulan ada seorang teman yang mengajak kala itu. Ironis, muslimah di sana dilarang untuk melaksanakan kewajibannya untuk menutup aurat.

“Mereka, muslim Indonesia bahkan dunia sedang tidak baik-baik saja. Kezaliman penguasa yang menjadi antek Barat begitu membuatku marah. Aku menyaksikan kemiskinan terhampar di mana-mana, banyak para ustaz yang ditangkap hanya karena mengkritisi penguasa.
Padahal, ini adalah Ramadan tahun kedua bagiku, tetapi mungkin Ramadan yang kesekian kalinya bagimu dan yang lainnya. Apakah sudah ada perubahan atau tambah buruk dari Ramadan sebelumnya?”

“Ya, benar. Ramadan tahun ini masih berselimut duka, bahkan lebih parah dari Ramadan sebelumnya. Miris sekali, kondisi kaum muslimin ketika tidak ada seorang pemimpin. Betul sekali apa yang kamu ceritakan, inilah kondisi kita saat ini. Lemah, tak berdaya, dan menjadi santapan orang-orang yang lapar, yang haus akan gemerlapnya dunia,” jawab Hanif.

“Semoga ini Ramadan terakhir tanpa khilafah. Aku ingin merasakan hidup di bawah naungannya. Merasakan berkah dari langit dan bumi melingkupi dunia,” doaku, diikuti kata aamiin dari mereka yang hadir.

Azan magrib berkumandang. Kami berbuka dengan makanan yang aku bawa. Mereka makan begitu lahap, mungkin mereka jarang menyantap makanan yang seperti ini. Walaupun di penjara, mereka tetap bersyukur bisa menjalani ibadah Ramadan ini dengan penuh keimanan.

“Aku harap kalian terus bersabar dan tetaplah mengajarkan Islam bagi mereka yang ingin belajar. Yakinlah suatu saat fajar kemenangan itu akan segera terbit,” kataku setelah selesai makan.

“Seperti kalian ketahui, hari ini aku lepas dari kungkungan penjara ini. Semoga kita bisa bertemu dan berkumpul di tempat yang lebih baik, suatu saat nanti,” kata Hanif. Ia memberikan alamat dan nomor kontaknya, agar mereka bisa saling memberikan informasi.

“Berkunjunglah kepada kami, sekali-kali, Umar, Hanif,” kata seorang teman kami dari Indragiri.

“Insyaallah,” jawab Hanif.

“Kalau aku bebas nanti, aku ingin bergabung dengan kalian untuk memperjuangkan Islam,” kata temen kami yang memahami Islam kafah di penjara.

“Akan kutunggu saat itu tiba,” sahutku.

Sebelum aku dan Hanif meninggalkan penjara, kami memeluk mereka. Di antara mereka ada yang berlinang air mata, yang lainnya tertunduk dengan wajah ditekuk. Perpisahan ini membuat semua yang hadir terharu.

Dua orang penjaga mengantar kami keluar. Kami menuju mobil yang kuparkir di tempat yang tidak jauh dari lapas. Aku merasa seperti sedang bermimpi. Seakan tak percaya bahwa sahabatku kini telah benar-benar bebas.

“Kemana kita pergi sekarang?” tanyaku ketika sudah berada di dalam mobil.

“Terserah kamu sajalah, Umar,” jawab Hanif.

“Uang simpananku masih banyak. Bagaimana kalau kita keliling lagi Indonesia, pastinya setelah berkunjung dulu ke rumah orang tuamu. Mereka pasti senang mendengarmu sudah bebas. Aku ingin menuliskan pengembaraan kita ini dan menerbitkannya sebagai buku,” usulku.

“Aku setuju, cita-cita yang sama,” kata Hanif.

“Aku berniat dalam pengembaraan nanti, bisa bertemu dengan orang-orang yang mau diajak untuk memahami Islam, belajar membaca Al-Quran, berbincang bareng-bareng. Sungguh indah,” kataku pula.

“Sebuah ide yang cemerlang,” komentar Hanif.

Bulan menerangi maya pada. Cahayanya yang indah menemani kami menuju perjalanan pulang. Esok dan esoknya lagi, dakwah harus terus berjalan, sampai Allah Swt. memberikan janjinya, bahwa kemenangan akan diberikan kepada orang-orang yang beriman.

Selesai.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 29

Comment here