Bahasa dan SastraCerpen

Cinta Pertama

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Lestari Umar

Wacana-edukasi.com — Rangkaian bunga aster berjajar bergelombang didinding kamarku. Tak seperti biasanya, tembok kamar yang biasanya polos tanpa hiasan, berubah menjadi begitu indah dipandang mata. Aku masih tak percaya, esok aku akan menikah dengan laki-laki yang sebenarnya masih asing bagiku. Tanpa proses pengenalan panjang. Seingatku, kami hanya bertemu tiga kali saja.

Tak banyak yang kami bicarakan pada kali pertama kami bertemu. Saat itu ia datang untuk melamar dengan ditemani kedua orang tuanya. Di ruang tamu kami saling dipertemukan. Ayah dan ibu juga mendampingiku. Pertemuan yang lebih terasa seperti ajang reuni ayah ibuku dan kedua orang tuanya itu terasa sangat hangat. Sesekali kedua orang tua kami menceritakan masa lalu saat mereka masih duduk di bangku kuliah. Hingga memiliki keinginan untuk menjadi besan di masa depan.

Awalnya aku ragu. Apa masih ada kisah seperti Siti Nurbaya di era milenial ini. Ditambah lagi, beberapa sahabatku meyakinkanku untuk menolak perjodohan ini. Mereka khawatir aku terjebak dalam situasi yang salah. Memutuskan menghabiskan waktu bersama orang asing sepanjang hidupku. Ditambah lagi beberapa kekhawatiran lain jika seandainya perangai orang yang dijodohkan kepadaku itu tidak baik, dan kekhawatiran- kekhawatiran lain.

Aku memaklumi apa yang dirasakan oleh sahabat-sahabatku. Namun entah mengapa, Hanya dari beberapa kali pertemuan dengan calon suamiku yang singkat itu, aku dapat merasakan ketulusan dan niat baik darinya. Tiga bulan kami saling meyakinkan diri untuk langkah besar ini. Entah hal pasti apa yang membuatku mantap menerima pinangan tersebut. Yang jelas, esok adalah hari yang sangat berarti bagi ku.

“Nduk, sudah tidur?” Suara ibu terdengar dari luar kamar. Aku bergegas keluar menemuinya. Beliau terlihat sedang sibuk menata sesuatu di atas meja yang letaknya disebelah kamarku.

“Ada apa Bu?” Jawabku kepadanya.

“Kesini Nduk, ayo duduk disini” Ibu memintaku mendekat kearahnya, kemudian menyuruhku duduk disalahsatu kursi.

“Bagaimana, bagus tidak?” Beliau tersenyum hangat sambil melingkarkan sebuah kalung di leherku.

“Siapa punya ini Bu?” Tanyaku kemudian.

“Punya ibu to, ini dari almarhum eyang. Kamu pakai ya”.

“Cantiknya. Terimakasih Bu” kupeluk ibu dengan erat. Ada keharuan dan bahagia yang menjadi satu. Ibu tak pernah sekalipun mengecewakanku. Bahkan dimalam terakhir statusku sebelum menjadi istri seseorang, ibu masih memberikan kejutan yang membahagiakan hatiku.

Ibu mengusap punggungku dengan lembut. Kemudian membisikkan kata-kata yang sangat nyaman terdengar ditelinga.

“InsyaAllah ini yang terbaik untuk kamu dan mas bagas. Ibu doakan semoga rumah tanggamu bahagia ya Nduk”

“Aamiin, terimakasih doanya Bu”

Pelukan ibu semakin erat. Lebih erat dari biasanya. Lama Ia menatapku. Terasa begitu syahdu. Sangat menenangkan.

…………………………………..

Gaun putih panjangku menjuntai hingga ke lantai. Kerudung yang kugunakan hari ini lebih mewah dari biasanya. Perpaduan kain brokat dan selendang khas pakaian mempelai wanita menambah keanggunan penampilan.

Kukenakan kalung yang semalam ibu berikan. Walaupun bukan untuk ditonjolkan. Menggunakannya membuatku makin menawan. Terlebih lagi, ini adalah kalung peninggalan eyang. Seolah kehadiran mendiang pun bisa kurasakan.

Gawaiku berdering. Ada pesan masuk dari mas Bagas. Kubaca perlahan isinya.

“Mas dan keluarga sudah menuju kesana dik”

Aku membacanya sambil tersenyum. Bayangan mas Bagas yang gagah dengan setelan jas mempelai pria terlintas dalam gambaran benakku. Aku tersipu. Dadaku berdegup tak beraturan membayangkannya. Seketika kututup wajahku dengan kedua telapak tangan.

“Kenapa ana?”

“Oh. Tidak apa-apa Tante. Ayo lanjut riasannya. Inget Tan, tipis saja.”

“Hemm, siap sesuai pesanan. Tapi, kok merona banget wajahnya. Pesan dari Bagas ya?”

Tante Lala mencubit lenganku dengan manja. Tak henti- hentinya ia menggodaku. Aku cuma bisa pasrah. Pasrah karena hari ini aku sedang bahagia. Maka kubiarkan saja ia dengan tingkahnya seperti itu hingga selesai memoles wajahku.

Bismillah. Dengan mantap kulangkahkan kaki ke tempat pelaksanaan ijab kabul di ruang tengah rumah. Tampak sudah banyak tamu undangan yang duduk teratur membentuk beberapa barisan.

Diantara barisan tamu undangan tersebut, nampak keluarga besar kami. Paman, bibi dan beberapa orang sepupuku yang sudah siap menyaksikan prosesi hari ini. Semua nampak tenang hingga kemudian terdengar suara teriakan dari luar rumah yang mengagetkan seisi ruangan,Ibuku pingsan.

Aku bertanya-tanya tentang apa yang baru saja kudengar. Kuberjalan menuju luar rumah. Ibuku nampak digendong oleh beberapa orang saudara.

“Ada apa yah? Kenapa ibu?” Kutanyakan keadaan ibu kepada ayahku disana. Ayah masih nampak syok hingga tak mampu menjawab pertanyaanku tersebut. Ia hanya menghampiri dan langsung memelukku dengan sangat kuat.

“Kamu harus tegar ya nak”.

“Ada apa yah? Apa yang sebenarnya terjadi?”

Ayah masih tidak menjawabku. Terlihat ia hanya mengambil gawai miliknya dan kemudian memberikannya kepadaku.

“Ini barusan om Dodi mengirim pesan. Kamu yang sabar ya nak”

Ayah bergegas ke arah ibu yang dibaringkan ke dalam kamar. Ia nampak kebingungan. Aku pun mengkhawatirkan keadaan ibu. Segera kuhampiri beliau di ranjang tempat ibu dibaringkan. Aku duduk disebelah beliau sambil memijat-mijat kakinya dengan lembut. Berharap ia segera membaik. Ia nampak lemas. Kucoba bertanya kembali tentang apa yang terjadi kepada ayah.

“Yah. Ada apa sebenarnya? Kenapa ibu tiba-tiba pingsan?”

“Kamu sudah baca pesan dari om Dodi?”

Kualihkan pandanganku pada gawai milik ayah yang barusan tadi beliau berikan padaku. Kubaca pesan yang masih terbuka dilayarnya. Pesan dari om Dodi ,ayah mas Bagas.

“Mobil kami terhantam truk dari arah belakang. Kami sedang berada dirumah sakit sekarang”

Ya Allah. Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Tenggorokanku tersekat. Air mataku berurai deras. Kakiku lemas, seketika aku pun jatuh ke lantai.

…………………………………..

Kulepaskan semua riasan yang melekat ditubuhku. Kuganti gaun pengantinku dengan pakaian yang biasa ku kenakan sehari-hari. Prosesi hari ini dibatalkan. Aku dan keluarga bergegas menuju rumah sakit, untuk menemui mas Bagas dan keluarganya yang baru saja mengalami kecelakaan.

Kami memarkir mobil tepat didepan pintu ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD). Kami berkeliling ruangan tersebut mencari keberadaan keluarga mas Bagas. Tapi tak kami dapati mereka disana,betapa terkejutnya kami saat mendapat keterangan petugas IGD yang kami temui, bahwa korban kecelakaan yang baru saja terjadi berada di ruang mayat rumah sakit ini.

Tubuhku serasa melayang saat menyusuri lorong rumah sakit. Kami menuju kamar mayat dengan perasaan yang sangat kacau. Bahkan seingatku, aku dipapah ke arah sana karena tak mampu lagi melangkahkan kaki.

“Ana!”
Suara om Dodi terdengar dari ujung lorong. Kami langsung menghambur ke arahnya. Ia nampak sangat terpukul. Ia hanya mendekat kearah ayah dan memeluknya sesaat ketika ayah berada dihadapannya.

Aku mengamati dari tempatku berdiri. Tak kutemui sosok lain selain om Dodi. Dalam hati ku bertanya-tanya. Kemanakah yang lain? Kemana mas Bagas dan ibunya?.

“Mas Bagas mana om?” Kuberanikan diri menanyakan keberadaan calon suamiku itu kepadanya. Beliau hanya terdiam. Aku semakin penasaran. Hingga bertanya untuk kedua kalinya.

“Mas Bagas dimana om? Kok nggak kelihatan?”

Om Dodi memberikan isyarat kepada kami untuk mengikutinya ke sebuah ruangan. Tertera tulisan “kamar mayat” diatas pintu ruangan tersebut. Perasaanku mulai tak nyaman. Untuk apa kami diminta masuk kesana?

“Kamu yang sabar ya ana. Ini sudah suratan takdir dari yang Maha kuasa”

Om Dodi memintaku untuk bersabar. Untuk hal apa aku bersabar? Aku masih belum mengerti.

“Sudah siap pak. Mari kita antar”.

Seorang petugas menyampaikan kesiapannya kepada om Dodi. Siapa yang dia maksud sudah siap untuk ia antar? Jenazah siapa?

“Ana. Sayang. Ini mas Bagas Nduk. Mas Bagas sudah tiada Nduk”

“Innalillahi wa Inna ilaihi roji’un” Seketika tubuhku tersentak mendengar perkataan ibu yang baru saja ku dengar. Kucoba memahami situasi yang terjadi. Kuamati para petugas yang mulai mendorong jenazah yang ada dihadapanku. Benarkah mas Bagas yang terbaring disana? Kulawan semua kenyataan yang ada dihadapanku. Seandainya bisa kutolak semuanya. Berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi.

Mataku terpejam.
Semua cahaya padam.
Semua semakin sunyi.
Dan tubuhku tak bisa digerakkan lagi.

……………………………………..

Kutatap sebuah foto dalam galeri gawai milikku. Ada wajah mas Bagas sedang tersenyum disana. Foto yang diambil seminggu sebelum kejadian kecelakaan yang menimpanya. Foto yang menjadi kenangan terakhirku bersamanya.

Aku ingat kata-kata yang diucapkannya saat itu. Mas Bagas berjanji akan menjadi sosok suami yang sempurna bagiku. Ia sampaikan impiannya membangun rumah tangga tanpa pernah mau mencoba berpacaran dengan gadis manapun karena faham akan dosa ketika melanggarnya. Dan saat diminta oleh om Dodi untuk menikahiku, Seketika ia mantap menerima ajakan ayahnya tersebut. Karena ia juga tahu bahwa tak pernah sekalipun aku menjalin kasih dengan pria manapun juga. Ia bilang, wanita sepertiku sudah langka. Itulah yang menjadi keyakinannya saat itu.

Aku juga ingat saat pertemuan terakhir itu, ia memintaku untuk memasrahkan segalanya kepada Allah dengan memperbanyak doa. Walaupun sudah sempurna apa yang menjadi rencana manusia, tetap kita harus berserah kepada-Nya hingga hari pernikahan yang kita impikan tiba. Manusia hanya bisa berencana. Namun tetaplah Allah jua yang menentukan segalanya. Dan nyatanya, begitulah yang terjadi pada kisah cinta kami. Rencana indah pernikahan suci harus pupus karena takdir yang sudah digariskan.

“Ana, Semua sudah siap. Mari kita berangkat”. Suara Ayah mengalihkanku dari layar gawai yang sedari tadi kutatap. Sudah waktunya kami berangkat untuk mengantar ke peristirahatan terakhir mas Bagas.

“Baik yah” jawabku kemudian.

Ayah menggenggam tanganku sambil berjalan ke arah mobil. Terlihat beberapa rombongan pengantar sudah siap beriringan bersamaan dengan mobil ambulans yang membawa jasad calon suamiku itu.

gelombang rasa dalam dada terus menghantam..

Mengalir deras dalam Isak tangis tak tertahankan.

Kutatap sepasang mata pada gambar dihadapan.

Hanya doa yang bisa ku kirimkan…

Semoga engkau tenang dalam tidurmu yang panjang…

SEKIAN

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 7

Comment here