Opini

Pinjol Merajalela, Rakyat Sengsara, di Mana Peran Negara?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Cahya M. Azdarany, S.Si
(Aktivis Dakwah)

wacana-edukasi.com, OPINI– Tren pinjaman online (pinjol) kini makin meningkat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kinerja outstanding pembiayaan fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online pada Mei 2023 sebesar Rp51,46 triliun atau tumbuh sebesar 28,11% yoy (year on year). Dari jumlah ini, sebesar 38,39% merupakan pembiayaan kepada pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan penyaluran kepada UMKM perseorangan dan badan usaha masing-masing sebesar Rp15,63 triliun dan Rp4,13 triliun (cnbcindonesia.com).

Untuk angka pinjaman yang bermasalah, di industri fintech P2P lending atau pinjaman online disebut Tingkat Wanprestasi 90 hari atau TWP90. Angka ini adalah ukuran tingkat wanprestasi atau kelalaian penyelesaian kewajiban yang ada pada perjanjian pinjaman di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo (cnbcindonesia.com). Menurut OJK, tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) atau tingkat kelalaian pembayaran pada Mei 2023 tercatat meningkat 1,08 poin menjadi 3,36% dari tahun sebelumnya. Adapun batas aman TWP90 yang ditetapkan OJK adalah 5% (katadata.co.id).

Jebakan Gaya Hidup Konsumtif hingga Kesempitan Hidup, Musabab Terjerat Pinjol

Anggota Dewan Komisioner OJK yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen Friderica Widyasari Dewi, mengatakan individu yang cenderung menggunakan pinjol untuk memenuhi kebutuhan konsumtif gaya hidup, lebih mudah terjebak dalam kredit macet. Ia menyebutkan kebutuhan gaya hidup itu antara lain pembelian gawai baru karena mengikuti tren, belanja pakaian terkini, rekreasi ke tempat-tempat terpopuler hingga membeli konser musik.

Tren pinjol makin meningkat di tengah riuhnya perhelatan konser musik yang di selenggarakan artis papan atas dunia, seperti Coldplay, Blacpink, NCT, dan lain-lain. Industri hiburan yang merajai negeri ini akhirnya menjadikan masyarakat rela merogoh kocek dalam-dalam sampai rela melakukan pinjaman online demi bertemu sang idola. Kesenanganlah memang yang dikejar-kejar manusia saat ini. Dunia hiburan, fashion, tempat rekreasi, hingga skincare senantiasa menjadi perbincangan para kawula muda. Inilah gaya hidup yang disodorkan liberalisme. Bersenang-senang menjadi tujuan hidup manusia. Lupa bahwa mereka berasal dari Allah dan akan kembali pada-Nya. Lupa bahwa tujuan manusia hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala.

Selain untuk menuruti gaya hidup konsumtif, masyarakat juga menggunakan pinjaman online untuk kebutuhan mendesak atau darurat. Salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan berobat. Tidak adanya jaminan kesehatan negara pada seluruh warganya, menjadikan warga dengan ekonomi rendah kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan. Hal ini membuat mereka harus meminjam uang. Namun, nahasnya mereka seringkali terjebak dalam kredit macet karena pemasukan yang pas-pasan. Selain kebutuhan kesehatan yang tidak terpenuhi, tempat tinggal, pendidikan, bahkan sandang pangan juga sering kali mengalami kekurangan.

Bagi UMKM, menurut Friderica, kesulitan pelunasan terjadi karena salah perhitungan bisnis yang berakibat pendapatan dari penjualan barang atau jasa tak optimal. Jumlah pendapatan yang lebih kecil dari jumlah pinjaman atau jumlah cicilan per bulan menyebabkan pelaku UMKM terjebak dalam kredit macet.

Negara harusnya hadir untuk menyelesaikan urusan rakyatnya. Namun, beginilah wajah demokrasi kapitalistik, dimana negara hanya hadir sebagai regulator sehingga sering abai terhadap nasib rakyatnya. Peran negara menjadi mandul untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan rasa aman. Akhirnya rakyat terjerat pinjol dan kehidupan makin berat.

Malapetaka Riba

Banyak malapetaka yang menimpa ketika syariat tidak diterapkan dalam kehidupan. Salah satunya adalah menyuburnya praktik riba. Masyarakat semakin mudah untuk melakukan pinjaman online. Negara juga melegalisasi praktik ribawi tersebut dengan perizinan lembaga pinjol. Allah subhanahu wata’ala menegaskan haramnya riba dalam surah Al-Baqarah: 275, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

Rasulullah saw. juga melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba. Beliau saw. berkata “Semuanya sama dalam dosa”. (HR. Muslim, no. 1598)

Oleh karena itu, tidak mungkin tercipta negeri yang berkah dan membawa rahmat jika di dalamnya terdapat praktik yang diharamkan, terlebih lagi praktik tersebut dilakukan bersama-sama. Inilah akibat dari tidak diterapkannya syariat dalam bermasyarakat dan bernegara. Hal yang jelas terlarang malah dilakukan secara berjamaah.

Butuh Peran Negara

Untuk memberi solusi hingga ke akarnya, tentu saja harus memahami masalah hingga ke akarnya. Selama kemiskinan masih merajalela, kesejahteraan belum terwujud, dan penyedia pinjaman riba masih ada, akan selalu ada peluang dan kesempatan orang berutang riba. Selama sistem negara senantiasa melegalkan riba, tidak ada yang menjamin bahwa rakyat tidak terjerat atasnya.

Mewujudkan masyarakat bersih dari riba tidak cukup dengan gerakan individu atau kelompok. Butuh peran sentral negara dalam menjauhi riba dengan segala bentuknya. Khilafah sebagai sistem pemerintahan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunah tidak akan membenarkan praktik riba berlangsung. Penerapan syariat islam secara kaffah sejatinya akan menghapuskan praktik riba. Untuk mencegah fenomena pinjam meminjam, khilafah akan berupaya untuk memenuhi kebutuhan asasiyah setiap individu rakyatnya melalui sistem perekonomian islam dengan mekanisme langsung maupun tidak langsung.

Dalam mekanisme tidak langsung, kepala keluarga yang menjadi pihak pencari nafkah akan dipermudah dan difasilitasi untuk bekerja, baik akses terhadap modal tanpa riba, pelatihan, hingga penyediaan lapangan kerja seluas-seluasnya. Lapangan kerja dalam khilafah akan terbuka lebar sebab seluruh kepemilikan rakyat hanya boleh dikelola oleh negara. Pengelolaan sumber daya alam dalam jumlah besar akan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Jika kepala keluarga tidak mampu memenuhinya, yang wajib membantu adalah kerabatnya. Pendataan yang baik, disertai aparat pemerintah yang amanah. Jika seluruh kerabatnya tidak mampu memenuhi kebutuhannya, kewajiban memberi nafkah jatuh kepada kas negara (Baitul Maal). Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu akan diambil dari pos zakat.

Adapun dalam mekanisme langsung, akan dilakukan negara pada pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Negara akan menggratiskan pelayanan-pelayanan tersebut kepada masyarakat, sehingga harta yang dimiliki masyarakat benar-benar fokus dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan juga kebutuhan sekunder dan tersiernya. Bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan keuangan (misalnya, modal, mahar, dan lain-lain), maka negara melalui Baitul Maal akan memberikan pinjaman tanpa riba. Sebab islam mengharamkan riba secara mutlak. Negara akan melarang pendirian lembaga pinjol dengan riba atau aktivitas sejenis. Di sisi lain, sistem pendidikan islam akan mencetak masyarakat yang memiliki akidah Islam yang kuat dan berorientasi akhirat, sehingga amal-amalnya tidak berputar pada bagaimana memenuhi kesenangan duniawi. Demikianlah sistem Islam mewujudkan masyarakat tanpa riba sehingga kehidupan menjadi berkah karena diliputi ridha Allah. Wallâhu a’alam bish-shawâb.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 17

Comment here