Opini

Paradoks Sekolah Tatap Muka, Namun Minim Mitigasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Rayani Umma Aqila

Menurut pakar epindemic Universitas Indonesia, Tri Yunus Miko, PTM dapat dilakukan jika tingkat kasus positif coronavirus disuatu daerah rendah atau kurang dari 5 persen sehingga masuk dalam kategori zona aman

Wacana-edukasi.com — Setelah hampir setahun lebih lamanya sejak wabah melanda, dan menjawab keresahan dari berbagai pihak terlebih para orang tua yang kesulitan pembelajaran jarak jauh hingga akhirnya pemerintah melalui Menteri Nadiem Makarim membolehkan pembelajaran tatap muka terbatas, namun kebijakan ini mendapat kritikan diantaranya dari (P2G) atau Perhimpunan Pendidikan dan Guru yang menyayangkan pernyataan Bapak Mendikbudristek Nadiem Makarim, yang telah membolehkan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di sekolah yang berada pada PPKM Level 1 sampai 3, padahal para siswa belum divaksinasi. Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri mengkhawatirkan kebijakan yang dikeluarkan tersebut, dan menyebutkan vaksinasi anak dan guru harus dilaksanakan di sekolah – sekolah secara keseluruhan sebelum dilaksanakannya Pembelajaran Tatap Muka terbatas (Radar Bogor, 26/8/2021).

Pemerintah dengan kebijakannya telah membolehkan pelaksanaan sekolah tatap muka di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyebutkan, ada beberapa sekolah di berbagai daerah di seluruh Indonesia yang mulai mengadakan pembelajaran tatap muka terbatas, Dari awal per tanggal 22 Agustus 2021 sebanyak 31 persen dari total laporan yaitu 261.040 satuan pendidikan yang berada pada daerah dengan PPKM level 3, 2, maupun 1 ini telah menyelenggarakan pembelajaran tatap muka secara terbatas dengan protokol kesehatan yang ketat (Kompas.com, 27/8/2021).

Pemerintah memberlakukan PTM dimasa PPKM level 3, 2, 1 kebijakan ini diambil berdasarkan SKB empat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. PTM dinilai cenderung lebih efektif dibanding Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), hal ini melihat kesiapan di Indonesia dalam pelaksanaan Pembelajatan Jarak Jauh yang masih jauh dari harapan akibatnya di masa PJJ terjadi banyak penurunan capaian belajar hingga putus sekolah. Desakan kondisi demikian yang kemudian telah menuntut pemerintah untuk menyiapkan PTM.

Namun sayang, desakan kondisi menuntut pemerintahkan menyiapkan PTM, tidak seiring dengan kebijakan penyiapkan infrastuktur sempurna untuk kebutuhan PTM di tengah pandemi. Demikian pula kebijakan mengijinkan PTM dengan syarat vaksinasi 70% tidak bisa menjamin perlindungan semua unsur sekolah dari penyebaran virus.

Menurut pakar epindemic Universitas Indonesia, Tri Yunus Miko, PTM dapat dilakukan jika tingkat kasus positif coronavirus disuatu daerah rendah atau kurang dari 5 persen sehingga masuk dalam kategori zona aman sementara tingkat positif rate Indonesia berada di angka 80 persen yang melebihi standar aman positif rate yang ditetapkan badan WHO artinya ada potensi penularan tinggi dan berbahaya bagi siswa dan tenaga pendidik jika harus bersekolah dan tatap muka. Pemerintah nampak mengambil kebijakan karena desakan kondisi yang diciptakannya sendiri, sebab seandainya pemerintah mampu membuat PJJ yang efektif tentu tidak akan ada desakan disegerakannya PTM dari masyarakat, tak heran jika publik masih meragukan kesungguhan pemerintah dalam menyiapkan sekolah ditengah pandemi sebab Pembelajaran Jarak Jauh saja masih menyisakan berbagai masalah yang tak kunjung bisa diselesaikan dengan baik, kebijakan – kebijakan pemerintah dalam aspek pendidikan itu. Ini semakin Menampakkan lemahnya negara dalam memberi jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat diantaranya pendidikan, sebab kebijakan ini lahir dari sistem demokrasi kapitalis yang lebih mempertimbangkan dalam hal ekonomi atau untung rugi tanpa memperhatikan keselamatan jiwa rakyatnya.

Karena itu kebijakan pemerintah mustahil dapat menyelesaikan problem masyarakat, yang ada malah menjadi masalah baru. Berbeda dengan kebijakan pemimpin dalam khilafah kebijakannya dipastikan akan penuh pertimbangan matang karena Khalifah harus menjalankan prinsip sebagai ra’in (pengurus atau pemelihara) dan junnah (perisai atau pelindung) Khalifah akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang akan menjamin kesejahteraan rakyat terpenuhinya fasilitas dan kebutuhan kesehatan dan keselamatan rakyat semua dalam level kualitas terbaik dan bersifat cuma-cuma atau gratis. Karenanya meski terjadi kondisi tidak biasa semisal wabah, pendidikan tidak akan menjadi beban rakyat dan kualitas generasi tetap terjaga.

Sistem pendidikan Islam menerapkan kurikulum berbasis aqidah Islam setiap satuan pendidikan atau melakukan sedemikian rupa agar bisa mencapai tujuan yang ditetapkan berdasarkan kurikulum yang membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islam, handal menguasai pemikiran Islam, menguasai ilmu – ilmu terapan IPTEK, memiliki kesiapan yang tepat guna dan berdaya guna, akan mudah dalam mengimplementasikan kurikulum di tengah keterbatasan akibat pandemi guru dan siswa tidak dikejar capaian materi (akademik semata) sebagaimana sistem pendidikan saat ini dengan metode apapun tatap muka atau daring implementasi kurikulum akan tetap bisa dilakukan terlebih khilafah Islam menerapkan metode pendidikan Islam.

Walhasil, penyelenggaraan pendidikan terbaik yang akan menghasilkan kualitas SDM unggul dan kemajuan pendidikan hanya akan terwujud dengan syariat Islam secara kaffah.

Wallahu alam bisshowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 3

Comment here