Oleh : Ummu Rifazi, M.Si.
wacana-edukasi.com, OPINI– Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan lebih dari 130.000 transaksi yang diduga terkait praktek prostitusi dan pornografi anak yang melibatkan 24.000 anak berusia 10 hingga 18 tahun. Nominal perputaran uang dari bisnis penjajaan kehormatan anak tersebut mencapai nilai fantastis Rp 127.371.000.000 (nasional.kompas.com, 26/07/2024).
Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskim Polri berhasil mengungkap kasus prostitusi online yang menjajakan 19 orang anak di bawah umur lewat media sosial X dan telegram. Mirisnya lagi, keterlibatan anak dalam bisnis syahwat tersebut diketahui dan bahkan dibiarkan oleh orang tua mereka (inews.id, 25/07/2024).
Kapitalisme Melanggengkan Bisnis Syahwat
Banyaknya anak yang terlibat bisnis prostitusi tanpa paksaan dan ‘direstui’ orang tuanya tersebut antara lain disebabkan oleh faktor kemiskinan. Demi keluar dari kemiskinan, mereka memilih cara instan tersebut walaupun harus mengorbankan mahkota kehormatannya. Hal ini seperti yang diakui oleh seorang ibu yang bermata pencaharian pemulung dan memiliki tanggungan 7 anak. Salah seorang anak gadisnya yang berusia 16 tahun menawarkan dirinya untuk menjadi pekerja seks komersial (PSK) guna membantu melunasi hutang keluarganya. Sang ibu menerima tawaran tersebut dan ‘menjajakan kehormatan’ anak gadisnya di media sosial (video.tribunnews.com, 10/03/2021).
Sikap ibu dan anak gadisnya tersebut merupakan ‘buah’ penerapan kapitalisme sekuler liberalis yang memisahkan agama dari aturan kehidupan di negara ini. Dalam kehidupan yang diatur oleh sistem batil tersebut, aturan agama hanya cukup dilakukan terkait ibadah rutin seperti sholat dan puasa. Sedangkan untuk menyelesaikan persoalan hidup, cara apapun dilakukan tanpa lagi mempertimbangkan kehalalan dan keharamannya menurut syariat agama.
Dengan cara pandang tersebut tak heran jika negara terlihat tidak tegas memberantas bisnis prostitusi ini. Pemerintah tak pernah secara terang-terangan menyatakan bahwa bisnis syahwat ini ilegal. Pemerintah hanya membatasi aktivitasnya saja tak lain atas kepentingan untuk mendapatkan keuntungan materi dari bisnis haram ini. Pernyataan Ekonom Indef Bhima Yudhistira menguatkan alasan tersebut bahwa faktanya bisnis prostitusi ini bisa menghasilkan perputaran uang puluhan triliun per tahunnya (kumparan.com, 10/08/2021).
Ketidaksungguhan pemerintah dalam memberantas prostitusi untuk melindungi generasi muda jelas terlihat dari lemahnya sanksi hukum terhadap prostitusi di negara ini. Penjelasan pada Kitab undang-Undang Hukup Pidana (KUHP), Undang-undang Pornografi (UU Ponografi) serta Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak secara spesifik menjerat semua pihak yang terlibat dalam bisnis haram ini. Ketentuan yang ada hanya dapat menjerat para mucikari atau penyedia PSK, sedangkan para pengguna PSK tidak pernah akan ditangkap oleh aparat penegak hukum sehingga mereka tidak akan pernah jera dan tetap mempunyai peluang untuk mengulang lagi perbuatan bejatnya tersebut (kompas.com, 06/01/2022).
Islam Menjaga Kehormatan dan Kemuliaan Umat
Islam merupakan sistem kehidupan yang memandang baik buruknya suatu perbuatan hanya berdasarkan penilaian Allah ta’alaa. Ketika syariat melarang suatu perbuatan, maka artinya perbuatan tersebut memang buruk dan haram untuk dilakukan secara mutlak. Dalam Islam, prostitusi atau pelacuran dikenal dengan istilah perzinaan. Perzinaan secara tegas dilarang dalam Islam sebagaimana firman Allah ta’alaa dalam QS Al Isra ayat 32 karena merupakan suatu perbuatan keji dan jalan kehidupan yang sangat buruk. Islam pun melarang umatnya untuk memfasilitasi perzinaan (mucikari) sebagaimana fiman Allah dalam QS An Nuur ayat 33.
Karena perzinaan adalah perbuatan dosa terbesar ketiga setelah kesyirikan dan pembunuhan, maka Islam sangat menjaga umatnya secara preventif (pencegahan) dan pemberian sanksi tegas bagi para pelakunya maupun mucikarinya.
Negara Islam mencegah perzinaan dengan menjamin kesejahteraan rakyatnya lewat kepastian jalur penafkahan. Ketika setiap warganya terjamin nafkahnya, maka hal itu mencegah mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara yang haram (maksiat). Para suami dijamin untuk mempunyai mata pencaharian sehingga mampu menafkahi keluarganya. Jika seorang ayah atau suami meninggal maka nafkah istri dan anaknya akan ditanggung kerabat dekatnya. Jika kerabat dekat tidak ada, maka nafkah istri dan anak ini akan menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Dalam menjalankan kewajibannya ini, negara Islam mempunyai sumber keuangan yang sangat mencukupi yaitu dari kas negara (baitul mal) yang mengelola harta dari kepemilikan umum, kepemilikan negara dan zakat.
Pencegahan yang berikutnya yaitu lewat sistem pendidikan terbaik berdasarkan Al Quran dan as-Sunnah. Lewat pendidikan terbaik ini akan terbentuk individu-individu berkepribadian Islam yang bertakwa dan mampu membentengi dirinya dari segala kemaksiatan.
Negara Islam akan menetapkan hukuman yang tegas dan menjerakan bagi para pelaku zina dan mucikari. Berdasarkan firman Allah dalam QS An Nuur ayat 24, pelaku zina yang belum menikah akan dicambuk seratus kali, sedangkan bagi mereka yang telah menikah akan dirajam sampai mati. Sanksi ini merupakan bentuk kasih sayang Allah karena bersifat jawabir (penebus siksa akhirat) dan jawazir (pencegah terjadinya tindak kejahatan terulang kembali). Disamping hukuman fisik, Islam juga menetapkan sanksi moral atau sosial terhadap pelaku zina yaitu mengumumkan aibnya, mengasingkan (taghrib), melarang pernikahan mereka dan menolak persaksiannya.
Sedangkan bagi para mucikari, Islam pun telah menetapkan sanksinya berdasarkan firman Allah dalam QS An Nuur ayat 33. Bentuk sanksi terhadap para mucikari ditetapkan oleh lembaga ta’zir. Segala kemaksiatan yang tidak dapat dikenai sanksi hudud (termasuk di dalamnya qishash) atau kaffarah dikategorikan sebagai jarimah ta’zir.
Dengan adanya ketegasan hukum bagi pelaku perzinaan maupun mucikarinya, maka umat akan jera dan berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan maksiat tersebut. Semua hukuman tersebut berlaku bagi orang yang sudah mukalaf yaitu akil (berakal), baligh (dewasa) dan mukhtar (melakukan perbuatan atas dasar pilihan penuh kesadaran, tanpa paksaan maupun diluar kuasanya). Jika pelaku kemaksiatan adalah anak di bawah umur (belum baligh), maka anak ini tidak akan terkena sanksi pidana Islam (uqubat syariyyah), baik berupa hudud, jinayah, mukhalafat, maupun ta’zir.
Pengaturan kehidupan berdasarkan syariat islam ini telah dipraktikkan dalam kehidupan bernegara yang dibangun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, yang dilanjutkan oleh khulafaur rasyidin dan para khalifah setelahnya. Sistem kehidupan ini terbukti mampu menjaga kehormatan dan kemuliaan umatnya selama 1300 tahun lamanya.
Maasyaa Allah, allahumma akrimna bil Islam, wallahu a’lam bisshowwab.
Views: 17
Comment here