Opini

Musibah Mewabah Saatnya Muhasabah

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Nur Azizah (Aktivis Muslimah Balikpapan)

Wacana-edukasi.com –Memasuki tahun baru 2021 yang belum berlangsung cukup lama, tampaknya beragam musibah sudah tak sabar untuk menyapa. Belum lepas kehidupan masyarakat yang jadi serba terbatas akibat pandemi covid-19 yang tak sedikit merenggut korban jiwa, kini sebagian masyarakat harus menelan kembali pilunya ujian kehidupan. Mulai dari peristiwa longsor di Sumedang, gempa di Sulawesi Barat, hingga banjir di Kalimantan Selatan dengan ketinggian air mencapai 2-3 meter yang merendam ribuan rumah warga juga sederetan peristiwa lainnya.

Dikutip dari Suara.com. Jumat, 15/01/2021. Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, mengatakan bahwa banjir tahun ini yang terjadi di Kalsel merupakan yang terparah sepanjang sejarah. BPBD Kalsel merilis data harian hingga per tanggal 14 Januari 2021 tercatat ada 67.842 jiwa yang terdampak dari total 57 peristiwa banjir sejak awal tahun.

Ada banyak faktor penyebab terjadinya banjir ini. Curah hujan yang tinggi selama beberapa hari terakhir diduga menjadi penyebab banjir secara langsung. Menurut Jefri, Staff Advokasi dan Kampanye Lingkungan Hidup Kalsel, selain curah hujan yang begitu tinggi massifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus-menerus juga turut andil dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan selama ini. Fakta ini dapat dilihat dari beban izin konsesi hingga 50 persen dikuasai tambang dan sawit (Kompas.com, 15/01/2021).

Tentu, banjir bukan lagi menjadi persoalan baru, ia selalu menjadi agenda rutin diawal pergantian tahun bahkan disetiap musim cuaca ekstrem. Di tahun sebelumnya banjir juga merendam wilayah DKI Jakarta, tetapi kini hanya beda waktu dan tempat saja. Beragam peristiwa yang terjadi seolah memberikan pesan tersirat kepada manusia. Adanya PR besar yang harus segera dituntaskan terkait bagaimana pengelolaan lingkungan yang benar.

Banyaknya pembukaan lahan pertambangan juga perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit tidak dapat dipungkiri merupakan akar persoalan banjir. Direktorat Jenderal Perkebunan (2020) mencatat luas lahan perkebunan sawit di Kalimantan Selatan mencapai 64.632 hektar sedangkan menurut Jaringan Advokasi Tambang mencatat terdapat 4.290 Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau sekitar 49,2 persen dari seluruh Indonesia. Kalimantan yang dahulu dikenal dengan hutannya dengan luas mencapai 40,8 juta hektar kini mulai menyisakan kenangan.

Pembukaan lahan serta pengalihan fungsi hutan yang begitu banyak mengakibatkan kurangnya daerah resapan air oleh akar-akar pohon dari hutan heterogen yang dapat membantu tanah mengikat air hujan membuat air tidak dapat terserap dengan baik ketika curah hujan tinggi melanda akibatnya banjir tak dapat dihindari. Bukan sekadar fenomena alam, hendaknya banjir ini bisa menjadi muhasabah bersama. Betapa kita melihat sistem kapitalisme menjadi raja di tengah kehidupan. Sang pemilik modal adalah yang mampu memegang kendali segala sesuatu termasuk lingkungan. Apa pun akan dilakukan demi meraih keuntungan sekalipun mengorbankan alam. Pembukaan lahan baik untuk tambang maupun sawit nyatanya hanya menguntungkan para korporat, sedangkan rakyat hanya mendapatkan dampak dari kerusakan lingkungan tersebut.

Tidak hanya sampai di situ, sistem kapitalisme juga hampir menihilkan peran negara sebagai pengurus urusan umat. Timbangan untung rugi atau asas manfaat menjadi nyawa dari sistem kapitalisme, maka tidak heran negara dengan sistem ini akan minim sekali kepeduliannya terhadap rakyat. Sekalipun merusak alam dan memberikan efek buruk berkepanjangan bagi kehidupan masyarakat selama itu memberi masukan bagi kas negara maka dalam sistem ini tidak jadi soal. Memang ironis, tapi begitulah adanya.

Berbeda dengan sistem Islam, Islam memandang bahwa pengelolaan lingkungan harus menyerasikan antara pembangunan dengan karakter alam menjauhkan sebisa mungkin akibat buruk yang akan ditimbulkan. Negara dalam sistem Islam memiliki otoritas yang tinggi dalam menentukan kebijakan terkait lingkungan. Siapa saja yang boleh mengolahnya dan seperti apa sistem pengolahannya akan disesuaikan dengan hukum syara’. Sehingga kemaslahatanlah yang akan diraih.

Sebagaimana firman Allah taala:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Qs. Ar-Ruum :31)

Pemimpin dalam sistem Islam juga akan bersungguh-sungguh memperhatikan urusan masyarakat semata-mata mereka menyadari bahwa kepemimpinan mereka akan dimintai pertanggung jawaban kelak di hadapan Allah Swt. Ketika terjadi bencana alampun negara akan dengan sigap, cepat dan tepat untuk membantu masyarakat yang terdampak kemudian mengevaluasi kinerja mereka apakah telah sesuai dengan aturan ilahi ataukah menyalahi.

Selain kaidah kausalitas (sebab-akibat) yang terjadi dari peristiwa alam belakangan ini, tidak dapat dipungkiri juga merupakan kehendak dari Allah swt (Qadha), artinya Ia berhak menghadirkan atau tidak sebuah kejadian alam yang diluar keinginan, kemampuan dan nalar manusia. Maka, sudah sepatutnya kita sebagai manusia yang lemah menyadari bahwa segala peristiwa alam yang terjadi adalah salah satu bentuk teguran dari Sang Pencipta karena selama menjalankan kehidupan di dunia tidak menggunakan aturan-Nya, mencampakkan syariat-Nya, menganggap bahwa Islam tidak relevan dengan zaman yakni tidak mampu menyelesaikan persoalan, mencukupkan hanya sebatas mengatur ibadah ritual saja tidak dalam persoalan ekonomi, sosial hingga politik. Padahal, Islam hadir tidak hanya sebatas agama ritual melainkan juga memberikan sistem pengaturan kehidupan yang lengkap tak terkecuali bagaimana cara mengelola lingkungan agar tidak menghadirkan kemudaratan. Sehingga apabila benar-benar ingin menyelesaikan persoalan yang terjadi kita perlu kembali kepada syariat Islam secara kafah serta meninggalkan sistem kapitalisme yang rusak dan merusak tatanan kehidupan agar hidup menjadi lebih berkah.

“Tiadalah kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta.” (Qs. Al-Anbiya: 107)

Wallahua’lam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 7

Comment here