Opini

Moderasi Beragama, Pengaburan Syariat atas Nama Toleransi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Umi Hanifah (Komunitas Peduli Generasi dan Negeri)

wacana-edukasi.com– Toleransi kembali diungkit, diopinikan ada tindakan intoleransi terhadap pihak mayoritas kepada minoritas. Umat lslam sebagai mayoritas dianggap pihak paling benar sendiri dan memaksa pihak lain mengikutinya.

Perlunya mengambil jalan tengah dalam menjalankan agama. Tidak ekstrim dan tidak terlalu bebas, dengan begitu bisa menghargai keyakinan yang lain. Dalam hal ini Kemenag mengencarkan arus moderasi beragama.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan pentingnya toleransi dan moderasi dalam memperkuat negara bangsa. Moderasi dan toleransi secara subtansi tidak jauh berbeda yang bertujuan mengarahkan perilaku beragama umat beragama di Indonesia untuk berada di jalur tengah atau moderat.

Hal ini disampaikan Menag saat menjadi pembicara dalam gelaran Kader Bangsa Fellowship Program (KBFP) Angkatan 9 Sekolah Pemimpin Muda Indonesia secara daring. Webinar ini diikuti ratusan peserta yang berasal dari tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pimpinan organisasi kepemudaan (Kemenag.go.id (7/10/2021).

Menjalankan syariat tidak ada istilah ekstrim, tengah/moderat, atau terlalu kekiri/bebas. Seorang muslim ketika melaksanakan syariat harus mencontohkan apa yang telah dibawa oleh Rasulullah saw tidak mengurangi atau melebihkan. Jika menyelisihi sedikitpun maka akan tertolak, itulah bentuk ketundukan hamba kepada perintah al Khaliq.

Islam adalah haq karena berasal dari Pencipta alam semesta, lslam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi. Sudah pasti syariat Islam sempurna dan tak perlu lagi ada penafsiran ulang. Syariatnya mencakup seluruh tatanan hidup yang memuaskan akal dan menentramkan hati.

Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 3: “…..Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.”

Bentuk Toleransi yang hakiki sudah ada dalam Islam sejak risalah ini diturunkan. Tak perlu ada moderasi beragama yang justru membingungkan sekaligus memecah belah kesatuan umat lslam. Berikut beberapa fakta toleransi yang hakiki selama Islam diterapkan dalam pemerintahan.

Selama 500 tahun ketika Islam menjadi mercusuar dunia, terdapat kerukunan dalam menjalankan agama sesuai keyakinan masing-masing yang tak tertandingi. Di Andalusia atau sekarang Spanyol terkenal dengan sebutan tree relegion, tiga agama (lslam, Yahudi dan Nasrani) hidup berdampingan dan saling menghormati. Ini menjadi bukti bahwa umat Islam dalam hal toleransi tidak perlu diragukan lagi.

Akhlak luhur ini diteruskan oleh generasi-generasi selanjutnya. Pada tanggal 2 Oktober 1187 misalnya, saat Baitul Maqdis bisa direbut kembali oleh Shalahuddin beserta bala tentaranya, menurut catatan Karen Amstrong dalam “Perang Suci” (2003: 409), Shalahuddin tidak tidak membalas dendam atas pembantaian tahun 1099 (yang mana umat Islam kala itu dibantai dengan sangat keji oleh tentara Salib) dan setelah permusuhan itu hilang, beliau mengakhiri pembunuhan.

Penduduk negeri Himsh pun merasakan betapa nyamannya berada dalam wilayah yang dikuasai oleh umat Islam karena memang penuh dengan toleransi tinggi. Dalam buku “Futûh al-Buldân” (Baladzuri, 1988: 139) mereka secara jujur memuji pemerintahan Islam:
“Kepemimpinan dan keadilan kalian lebih kami cintai daripada kelaliman mereka (Romawi). Kami akan membantu kalian menghadapi pasukan Heraklius dan melindungi kota bersama kalian.”

Jauh sebelumnya Khalifah Umar bin Khathab akan memenggal leher wali/gubernur Mesir Amr bin Al-Ash jika tidak menghentikan penggusuran rumah Yahudi tua dengan alasan mau dibangun sebuah masjid. Rasa toleransi sekaligus keadilan yang belum pernah ditemui, perbedaan agama tak menjadikan kebijakan khalifah tebang pilih.

Toleransi antar umat beragama dalam mencari keadilan juga jelas terekam pada masa pemerintahan lmam Ali bin Abi Thalib. Ali yang waktu itu sebagai kepala negara dikalahkan dalam persidangan oleh orang Yahudi, karena kasus pencurian baju besi miliknya. Karena kurang kuatnya saksi pencurian maka qadhi memenangkan Yahudi.

Beginilah bentuk toleransi dalam Islam, membiarkan pemeluk agama lain menjalankan keyakinannya. Saling menghormati dan tidak ada diskriminasi. Moderasi beragama justru mencampurkan aqidah agama satu dengan yang lain/sinkretisme. Hal tersebut jelas dilarang dalam lslam.

Firman Allah SWT dalam surat Al-Kafirun:
“Katakanlah (Muhammad), Wahai orang-orang kafir!. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”

Umat Islam harus waspada ada upaya pengaburan dan pendangkalan iman atas nama toleransi. Dengan mudahnya menuduh ekstrim, radikal dan tidak toleran manakala menjalankan syariat yang sesuai dengan nash qath’i. Musuh-musuh Islam senantiasa mencari celah menjauhkan umat dari syariat, mereka tahu bahwa rahasia kemuliaan Islam karena umat Islam masih berpegang teguh pada Al-Qur’an sebagai petunjuk hidupnya. Itu berarti ancaman bagi kekalahan ideologi mereka, yaitu sistem Sekularisme Kapitalisme yang hari ini diterapkan dan membawa pada kerusakan dalam berbagai lini kehidupan.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 12

Comment here