Opini

Membungkam Suara Mahasiswa dengan Pakta Integritas

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Anggun Permatasari

Wacana-edukasi.com — Akhir-akhir ini Universitas Indonesia (UI) tengah menjadi sorotan. Pasalnya, di acara PKKMB, mahasiswa baru (Maba) diminta menandatangani “Pakta Integritas” di atas materai sebagai salah satu kelengkapan administrasi Maba.

Meski dalam Pakta Integritas tertulis tidak ada paksaan untuk menandatanganinya. Namun, menurut pengakuan mahasiswa, dokumen tersebut wajib segera dikumpulkan. Tentu hal tersebut mengecoh mahasiswa yang masih dalam suasana euforia sebagai maba.

Awalnya, beberapa mahasiswa tidak ambil pusing terkait Pakta Integritas tersebut. Namun belakangan, mereka mempertanyakan dokumen itu karena point-pointnya dianggap multitafsir. Yang paling dikhawatirkan, pelanggaran terhadap Pakta Integritas bisa berujung pemecatan/drop-out dari kampus.

Dilansir dari laman Kompas.com, 12/9/2020, Ada beberapa point yang dianggap janggal. Meski telah diubah, point yang berbunyi, “Tidak terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara” serta “terlibat dalam organisasi yang tidak diizinkan pimpinan fakultas/universitas” yang kemudian diubah menjadi lebih spesifik yaitu larangan itu berlaku hanya untuk di dalam kampus, sukses menuai kontroversi.

Point tersebut dinilai membungkam mahasiswa untuk menyuarakan pendapatnya dengan ancaman tertinggi yaitu pemberhentian. Apalagi, cakupan wilayah politik praktis tidak dijelaskan batasannya. Hal tersebut mengesankan kampus memaksa mahasiswa baru untuk setuju bahwa pihak universitas akan sama sekali lepas tangan bila terjadi sesuatu pada mahasiswa di luar kampus karena tindakan yang dianggap politik praktis. Contohnya, akibat kegiatan demonstrasi misalnya.

Padahal, mahasiswa yang merupakan agen perubahan sejatinya berpartisipasi aktif dalam mengoreksi kebijakan penguasa. Namun dengan adanya Pakta Integritas tersebut, mahasiswa seakan dibatasi ruang geraknya. Kampus sebagai wadah mahasiswa mengemukakan pendapat, sharing ide dan berdiskusi tentang permasalahan bangsa justru akan menjadi tempat yang tidak nyaman bagi mahasiswa.

Selanjutnya, penambahan kata pidana pada point delapan yakni “Tidak akan melakukan ataupun terlibat dalam tindak pidana khususnya penyalahgunaan narkoba, pelecehan seksual, kekerasan seksual, intoleransi, radikalisme, dan terorisme dalam bentuk apapun” merupakan diksi yang memancing kegaduhan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa saat ini istilah intoleransi, radikal, dan terorisme merupakan isu yang digiring barat untuk menyudutkan Islam. Di tengah masyarakat, kata tersebut juga masih multitafsir. Sehingga, tidak sedikit publik yang masih menjudge negatif orang-orang yang dianggap seperti itu. Jadi, sangat disayangkan kalau diksi tersebut dipermasalahkan apalagi dianggap tindak pidana. Apalagi jika point-point di Pakta Integritas tersebut justru diarahkan untuk memberangus arus kesadaran politik dan sikap kritis mahasiswa yang distigma radikal.

Sejatinya, problem narkoba, tindak pelecehan dan kekerasan seksual adalah kejahatan nyata. Sedangkan, yang dimaksud sikap intoleransi, radikalisme, dan terorisme adalah bentuk penggiringan opini. Jadi, tidak pantas kiranya disandingkan sebagai sebuah tindak pidana. Anehnya, dalam point-point Pakta Integritas tidak disebutkan penyimpangan seksual seperti eljibiti sebagai tindak pidana. Padahal, itu adalah perbuatan yang telah nyata menyimpang dan dilaknat Allah Swt.

Lagipula, perbuatan seperti tersebut di point delapan tidak mungkin bisa diatasi hanya dengan pakta integritas bagi mahasiswa baru. Kasus-kasus itu merupakan problem sistemik yang justru semestinya dipahamkan pada mahasiswa dan mereka didorong terlibat dalam menghadirkan solusi.

Karena, seperti yang telah penulis sebutkan di atas bahwa mahasiswa adalah agen perubahan dan harusnya menjadi problem solver bagi masyarakat. Kebijakan sejenis ini adalah tindakan represif yang justru memandulkan sense of politic bagi para penerus bangsa dan akan melahirkan masalah baru di kemudian hari.

Sangat disayangkan, kampus harusnya menjadi medan ditempanya para pemuda agar memiliki kecemerlangan berpikir dan sikap kritis. Bukan justru jadi corong penguasa melanggengkan hasrat tamaknya. Hal ini tentu akan berujung memadamkan sense of critics mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah dan kondisi lingkungan sekitarnya. Sungguh ironi, negeri yang katanya menjunjung tinggi demokrasi justru kebebasan berpikir pemudanya ditumpulkan dengan Pakta Integritas semacam ini.

Sejatinya, rancangan pendidikan pragmatis seperti itu merupakan fenomena yang wajar dari negara yang menganut sistem sekuler kapitalis liberal. Arah pendidikan akan bersinergi dengan ambisi penguasa. Tentu ini merupakan mimpi buruk yang tidak akan terjadi dalam sistem Islam.

Dalam aturan Islam, pendidikan merupakan sarana untuk menyuburkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt., sehingga karenanya manusia memiliki adab, akhlakuk karimah dan perilaku yang mulia. Dengan ketaqwaan, ilmu yang merupakan anugrah dan rezeki sekaligus amanah akan dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemuliaan umat.

Sejarah mencatat, sekitar tahun 1250M kekhilafahan memberi perhatian besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Pusat-pusat pendidikan, perpustakaan dan observatorium disediakan dengan fasilitas yang lengkap di zamannya bagi para penuntut ilmu. Kemudian, ilmuwan Muslim memberikan kontribusi besar yang signifikan terhadap perkembangan banyak ilmu pengetahuan modern, seperti biologi fisika, kimia, kedokteran, matematika, dan juga astronomi.

Ibnu al-Nafis salah satunya. Beliau merupakan seorang ilmuwan Islam di bidang kedokteran yang terkenal di dunia. Pada abad ke-13 Masehi, beliau mampu merumuskan dasar-dasar sirkulasi jantung, paru-paru dan pembuluh kapiler pertama kali di dunia. Berkat jasanya yang sangat luar biasa tersebut Ibnu al-Nafis dianugerahi Bapak Fisologi Sirkulasi (Wikipedia.org).

Dari penjabaran di atas, jelas Demokrasi yang selama ini dijunjung dan dipuja gagal menghadirkan kebebasan berpikir kaum intelektual. Pemuda bentukan pendidikan ala negara sekuler kapitalis liberal yang katanya lebih maju dan modern sejatinya hanya boneka para penguasa. Semoga, ke depannya mahasiswa semakin sadar bahwa buah pikirannya hanya untuk kemaslahatan agama dan umat. Sehingga, tidak mudah disetir walau dengan ancaman sekalipun.

Wallahualam

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 3

Comment here