Opini

Lonjakn Harga Bahan Pokok, Akibat Politik Pangan Kapitalisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Naura Azla (Mahasiswi/Aktivis Muslimah)

wacana-edukasi com, OPINI-– Sejumlah harga bahan pokok seperti gula, minyak goreng hingga beras mengalami lonjakan harga yang signifikan. Dilansir dari Tribun Medan, beberapa toko di pasar tradisional kota Medan mengalami kenaikan rata-rata 5 ribu untuk beras dari harga 145 ribu menjadi 150 ribu dengan ukuran 10kg, bukan hanya itu kenaikan minyak goreng curah dan juga gula mengalami kenaikan sampai 3 ribu. Kenaikan bahan pangan ini belum ada penurunan sampai saat ini. (Tribun-Medan.com, 13/12/24)

Maraknya lonjakan harga beras serta bahan pokok lainnya merupakan tanggung jawab negara dalam menyelesaikannya. Bagaimana mungkin kenaikan harga sudah terjadi lebih dari setahun tetapi tidak ada penyelesaian secara tuntas dari negara.

Berbagai strategi kebijakan yang dijalankan pemerintah juga gagal menyelesaikan persoalan. Bahkan dalam mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan masyarakat, negara tidak mampu mengelola potensi sumber daya pertanian dan pangan yang dimiliki Indonesia.

Inilah pertanda kegagalan politik pangan dan pertanian dalam kapitalisme yang dijalankan atau diterapkan saat ini. Ada tiga tujuan yang harusnya diwujudkan dalam pengelolaan pangan dan pertanian oleh negara, yaitu menjamin pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat (termasuk di dalamnya cadangan pangan negara), menjaga kestabilan harga, dan memberikan dampak kesejahteraan pada petani. Kemudian, terwujudnya ketiga hal ini bergantung pada sistem politik pangan dan pertanian yang diterapkan negara.

Berbagai program yang dijalankan pemerintah dalam mengatasi lonjakan bahan pokok termasuk beras, baik melalui penetapan harga, operasi pasar, pendistribusian beras SPHP, hingga pembagian bantuan sosial berupa beras 10 kg per keluarga tidaklah cukup, walaupun telah dibarengi program kontrol dan monitoring harga yang dikerjakan satgas pangan. Lalu, kenapa harga tidak juga kembali stabil dan terjangkau oleh mayoritas rakyat dengan program-program yang dibuat?

Hal ini disebabkan karena program-program tersebut tidak menyentuh akar masalah karena bersifat teknis. Di satu sisi, pemerintah hanya berupaya menyelesaikan lonjakan harga, tetapi tidak menyolusi pemicu kenaikan harga. Program yang dibuat sekadar menahan kenaikan, bukan menyelesaikan secara sempurna. Ditambah, banyak yang menilai program bantuan beras saat ini dilakukan bersamaan dengan agenda politik praktis pemilu. Alhasil, program ini bukan bertujuan untuk menyelesaikan persoalan rakyat, melainkan kepentingan segelintir pihak.

Tidak hanya itu, para petani juga merasakan kesenjangan dalam bertani sehingga mereka selalu berada dalam keadaan terimpit. Mulai dari kesulitan mendapatkan fasilitas seperti pupuk, kepemilikan lahan yang sangat minim, hingga harga penjualan panen yang tidak menguntungkan.

Pandangan bahwa problem ini hanya problem teknis bukan problem sistemis dan ideologis menjadi penyebab masalah ini tidak kunjung teratasi. Sehingga, problem pemenuhan pangan terus terjadi berulang, bahkan dengan keadaan yang kian hari kian buruk.

Penyebab permasalahan ini berpangkal dari sistem politik pengelolaan pangan yang kapitalistik neoliberal, jika ditelaah lebih dalam. Secara politik, ketiadaan peran negara menjadi fakta dalam penerapan sistem ini. Negara atau pemerintah hadir hanya sebagai regulator dan fasilitator, bukan penanggung jawab dan pengurus rakyat. Wajar, para korporasi bertindak semena-mena pada rakyat untuk mencari keuntungan semata.

Adanya lembaga teknis negara, seperti Bulog, hadir di tengah rakyat tidak lagi murni sebagai pelayan dan pengurus rakyat, melainkan sebagai pebisnis. Pola bisnis inilah yang menghalangi Bulog tidak melakukan penyerapan gabah petani karena dapat merugikan Bulog.

Munculnya korporasi-korporasi raksasa yang bisa mengakses modal sangat besar merupakan hal yang wajar pada sistem ekonomi kapitalisme dengan paham kebebasan dan mekanisme pasar bebasnya. Rantai usaha pertanian, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi, bahkan termasuk importasi dengan mudah mereka kuasai. Kendali terhadap pasokan pangan, harga pasar, dan tingkat konsumsi masyarakat mampu diambil alih oleh model korporatisasi seperti ini.

Secara ekonomi, ketimpangan ekonomi yang sangat tidak wajar disebabkan oleh praktik sistem ekonomi kapitalismenya. Dalam mengatur pangan yang mampu mewujudkan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat, termasuk di dalamnya jaminan stabilitas harga hanya ada dalam pandangan Islam. Politik ekonomi Islam pun memiliki tujuan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh masyarakat. Begitu pula dengan pelaksanaannya wajib berada di pundak negara (Khilafah).

Kemudian, pengaturan Islam berdiri pada dua pilar sistemnya, yaitu politik dan ekonomi, yang keduanya sangat berbeda dengan sistem kapitalisme neoliberal. Untuk menstabilkan harga yang berkaitan dengan penerapan aspek produksi merupakan tujuan dari politik pangan Islam. Kemampuan negara dalam mengontrol harga ditentukan penguasaannya pada pasokan. Oleh karena itu, Khilafah wajib ikut andil mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi.

Sejalan dengan itu, sistem ekonomi Islam pun diberlakukan, di antaranya mengatur kepemilikan harta sesuai syariat Islam, sistem pengembangan harta yang syar’i, sistem mata uang berbasis emas dan perak, dan sebagainya. Ketahanan pangan akan terwujud dengan sistem politik ekonomi Islam, karena Khilafah tentu berperan sebagai penjamin dan penanggung jawab melalui penerapan aturan Islam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 16

Comment here