Oleh: Sri Wahyu Indawati, M.Pd.
Wacana-edukasi.com, OPINI--Patut diapresiasi sebagai niat baik terkait pernyataan Wakil Gubernur Kalimantan Barat yang menolak pendekatan “barak militer” dalam menangani remaja bermasalah di Kalimantan Barat dan memilih pendekatan humanis (gesuri.id, 14/5/2025). Ia menekankan bahwa pemerintah Kalbar akan membuka ruang-ruang kreasi dan memperkuat akses pendidikan formal sebagai solusi atas kenakalan remaja. Namun jika ditinjau secara lebih mendalam, pendekatan ini masih terlalu normatif dan parsial. Tampaknya hal tersebut mengabaikan konteks sistemik yang justru menjadi akar persoalan generasi muda ini.
Dunia pendidikan merupakan garda terdepan pembentuk karakter anak-anak memang benar secara teoritis. Namun, dalam praktiknya, pendidikan kita justru sering gagal membentuk kepribadian yang tangguh, bermoral, dan cerdas secara holistik. Bahkan, sistem pendidikan Indonesia justru menjadi alat reproduksi penyimpangan identitas, nilai-nilai materialistik, serta kebijakan tambal sulam yang tak mampu menanggulangi krisis moral dan sosial remaja.
Pertama-tama, harus dikritisi bahwa “pendekatan humanis” yang berarti terlalu kabur dan tidak menyentuh akar masalah. Apakah pendekatan ini hanya sebatas memberi ruang kreasi? Bagaimana mekanisme pelibatan masyarakat, peran tokoh agama, institusi keluarga, dan orientasi ikonik? Apa jaminan bahwa pendekatan ini mampu membentengi remaja dari pengaruh hedonisme, sekularisme, bahkan kriminalitas yang semakin marak hari ini?
Kedua, jika melihat data dan analisis dari Kompas Skola (13/10/2022) dan Psikologi Binus (17/2/2017), kenakalan remaja tidak hanya soal minimnya sarana, kurang dari kegiatan positif, atau lemahnya moral pendidikan. Lebih dari itu, kenakalan remaja adalah konsekuensi dari sistem kehidupan yang sekuler dan liberal. Sistem ini tidak hanya mencabut peran agama dari kehidupan masyarakat, tetapi juga menggiring generasi muda pada krisis identitas.
Sistem pendidikan kita menempatkan ilmu sekuler sebagai panglima. Sayangnya pendidikan agama yang seharusnya menjadi ruh, malah menjadi pelengkap. Kurikulum dirancang mengikuti model Barat, yang mengukur keberhasilan siswa dari aspek kognitif dan akademik semata. Kompetensi spiritual dan akhlak sering kali dikesampingkan.
Inilah yang menjelaskan mengapa pendidikan Indonesia gagal membentuk perilaku generasi muda. Para siswa bisa saja cerdas secara akademik, namun kosong secara moral dan spiritual. Sehingga terjadi peningkatan kasus-kasus seperti bullying, seks bebas, intelektualisme narkoba, bahkan kekerasan di kalangan pelajar. Fenomena ini bukan hanya disebabkan oleh kurangnya ruang kreasi, tetapi karena tidak adanya sistem yang komprehensif dan transenden.
Kritik ini semakin relevan bila dikaitkan dengan pandangan yang disampaikan dalam artikel Muslimah News (16/5/2025). Bahwa solusi untuk membangun generasi yang kuat dan terlindungi bukan hanya soal “ruang bermain kreatif”, tetapi mencakup kerangka ideologi yang mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Islam, sebagai sistem kehidupan yang sempurna, telah terbukti mampu melahirkan generasi emas selama hampir 13 abad—generasi yang seimbang antara ilmu dan akhlak, antara iman dan rasionalitas.
Islam tidak hanya sekedar membangun karakter dan kompetensi, namun juga membentuk kesadaran ontologis bahwa manusia adalah hamba Allah SWT yang hidup untuk menjalankan amanah sebagai khalifah di bumi. Kesadaran ini yang membentuk kepribadian utuh dan kuat, bukan sekadar manusia kreatif namun tidak tahu arah hidup.
Dalam konteks ini, pendekatan humanis yang digaungkan terkesan meremehkan dan cenderung tidak menyelesaikan masalah. Kenakalan remaja bukan sekadar urusan psikologi dan aktivitas kreatif, tetapi juga akibat dari sistem ekonomi yang menindas, sistem politik yang korup, dan sistem pendidikan yang tidak visioner.
Lihatlah bagaimana sistem kapitalistik yang diterapkan saat ini mendorong orang tua bekerja tanpa henti, sehingga kehilangan waktu untuk mendidik anak. Banyak keluarga tidak lagi menjadi tempat pelatihan karakter, melainkan hanya tempat tidur dan tidur. Anak kehilangan panutan, dan akhirnya mencari pengungsi di luar, termasuk lingkungan yang negatif.
Lebih lanjut, pemerintah daerah seperti Kalbar seringkali tidak memiliki visi pendidikan yang berbasis peradaban. Alih-alih membangun sistem lokal yang tangguh, kebijakan yang diambil hanya ikut arus nasional yang sudah rusak sejak fondasinya. Perlu diingat bahwa pendidikan bukanlah urusan teknis administratif semata, tetapi sangat politis dan ideologis. Maka, negara harus hadir sebagai pembentuk sistem yang menjamin arah pendidikan sesuai tujuan penciptaan manusia.
Inilah pentingnya membangun sistem pendidikan berbasis Islam. Bukan hanya sebagai pelajaran agama semata, namun sebagai asas kehidupan dan pemandu arah berpikir dan bertindak. Dalam sejarah Islam, kita menyaksikan masa keemasan di bawah Khilafah, ketika pendidikan membentuk manusia-manusia unggul seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Khawarizmi, Imam Syafi’i, dan lainnya. Mereka tidak hanya ahli dalam sains dan filsafat, tetapi juga menjadi pemimpin umat yang berakhlak tinggi.
Negara Islam (Khilafah) pada masa itu menjamin pendidikan gratis, sistem pengajaran bertingkat, guru-guru berkualitas tinggi, dan materi yang menyentuh aspek ruhiyah (spiritual) dan akliyah (akal) secara seimbang. Mereka memahami bahwa pendidikan adalah proses membentuk manusia menjadi hamba Allah SWT sekaligus khalifah. Oleh karena itu, keluaran pendidikan bukan hanya tenaga kerja, melainkan pemimpin peradaban.
Bandingkan dengan sistem sekarang, yang menjadikan siswa sebagai target pasar industri. Dunia pendidikan tunduk pada logika ekonomi pasar. Sekolah diarahkan untuk mencetak buruh murah, bukan pemikir hebat. Tak heran jika kreativitas yang dimaksud hari ini lebih sering berkaitan dengan industri hiburan, bukan peradaban. Remaja didorong menjadi influencer dan selebgram, bukan pemimpin dan intelektual. Apakah ini yang dimaksud dengan “ruang kreasi”?
Oleh karena itu, kritik tajam perlu diarahkan bukan hanya kepada program-program kreatif yang bersifat jangka pendek, tetapi kepada sistem secara keseluruhan. Pembenahan harus dimulai dari tingkat ideologi. Jika bangsa ini ingin memiliki generasi yang benar-benar tangguh, maka solusi satu-satunya adalah kembali kepada sistem Islam yang telah terbukti membangun peradaban tinggi.
Negara harus berani meninjau ulang arah pendidikan nasional. Pemerintah daerah seperti Kalbar juga harus berani membangun sistem pendidikan alternatif berbasis akidah Islam yang kokoh, bukan sekadar mengikuti tren kebijakan pusat. Sudah saatnya pendidikan kita berdiri di atas kaki sendiri dengan fondasi nilai luhur, bukan meniru sistem Barat yang rusak secara moral dan budaya.
Pendekatan humanis memang penting, namun tidak cukup. Hal tersebut harus ditopang oleh sistem yang benar serta nilai-nilai yang kuat dan orientasi pendidikan yang holistik. Tanpa itu, semua ruang kreasi yang dibuka hanya akan menjadi panggung baru yang menimbulkan kebingungan remaja. Oleh karena itu, mari buka ruang yang lebih substansial yaitu ruang perubahan sistemik yang menjadikan Islam sebagai solusi tuntas bagi masa depan generasi kita. Wallahu a’lam[WE/IK].
Views: 4
Comment here