Surat Pembaca

Kekerasan Seksual Terus Berulang, di Mana Peran Negara?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Murni,S.Pd. (Pemerhati Sosial)

wacana-edukasi.com,SURAT PEMBACA– Darurat kekerasan seksual terhadap anak makin parah. Baru-baru ini terjadi pemerkosaan terhadap anak usia 15 tahun yang dilakukan oleh 11 orang pria di Sulteng. Dilansir dari BBCNewsIndonesia (31/5/2023).

Mengutip laman Kemen PPPA (30-5-2023), Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA Nahar meminta aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus dugaan pemerkosaan anak (15 tahun) di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Kemudian, meminta pemerintah daerah pengampu urusan perlindungan anak untuk mendampingi korban sesuai kebutuhan.

Dari hasil koordinasi dengan UPTD PPA Sulawesi Tengah, Nahar, menyampaikan, korban telah mendapatkan pemeriksaan kesehatan untuk memastikan kondisi fisik pasca kekerasan seksual terjadi. Dari hasil pemeriksaan kesehatan, bahwa korban mengalami gangguan reproduksi sehingga perlu mendapatkan penanganan medis lebih lanjut. Sementara itu, untuk pemeriksaan psikologis belum dapat dilaksanakan karena korban masih dalam perawatan intensif di rumah sakit.

Lebih lanjut, Kapolda Sulawesi Tengah, Irjen Agus Nugroho mengungkapkan, istilah pemerkosaan dalam kasus ini merupakan kasus persetubuhan. Ia menjelaskan, di dalam KUHP, kasus pemerkosaan adalah adanya tindakan kekerasan ataupun ancaman kekerasan yang memaksa korban untuk bersetubuh di luar hubungan perkawinan.

“Dalam perkara ini tidak ada unsur kekerasan, ancaman, atau pengancaman terhadap korban,” jelasnya.

Modus yang digunakan pelaku, bukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, melainkan dengan bujuk rayu, tipu daya, dan iming-iming akan diberikan sejumlah uang atau barang. Ia menyampaikan, kasus ini terjadi sejak April 2022 hingga Januari 2023 dan dilakukan oleh sebelas pelaku di tempat yang berbeda dalam waktu yang berbeda.

Darurat Kekerasan Seksual

Pengamat masalah perempuan, anak, dan generasi dr. Arum Harjanti memandang, kasus ini sungguh tragis sekaligus menunjukkan darurat kekerasan seksual yang sudah sangat parah di Indonesia, dikutip dari MNews, Jumat (2-6-2023).

Menurutnya, sudah terdapat beberapa regulasi, termasuk UU Perlindungan Anak yang telah direvisi hingga dua kali. “Nyatalah regulasi tak bergigi melawan kekerasan seksual terhadap anak,” cetusnya.

Di sisi lain, ia menilai, kasus keji ini juga membuktikan gagalnya sistem pendidikan Indonesia. “Hal itu tecermin dari pelaku yang merupakan orang terdidik, seperti anggota Brimob, bahkan guru dan kepala desa. Mereka seharusnya menjadi pelindung anak, namun malah merusak masa depan anak,” sesalnya. Ia menyayangkan pula kondisi korban yang teperdaya bujuk rayu sehingga melakukan perbuatan terlarang. Ini menunjukkan betapa proses berpikir belum utuh. Akibatnya, salah dalam menentukan standar perbuatan, dari sisi terpuji tercela, ataupun benar dan salah.

Akibat Sekularisme

Kejahatan keji ini terjadi karena sekularisme- kapitalisme menjadi asas kehidupan. Akibatnya, kesenangan dunia menjadi tujuan. Bahkan, dengan menghalalkan segala macam cara. Demikian pula siksa pedih di akhirat kelak diabaikan karena mengejar kenikmatan jasadiyah. Keadaan ini makin membuktikan sistem kapitalisme di Indonesia gagal membentuk individu yang berkepribadian kuat, dan mudah tergoda melakukan pelanggaran hukum Allah Swt., meski dengan janji-janji manis, tawaran pekerjaan, ataupun sejumlah uang.

Mirisnya, tidak hanya di level individu, negara juga menjadikan sekularisme kapitalisme sebagai asas dalam mengurus rakyatnya. Termasuk dalam membuat regulasi. Inilah yang menjadi penyebab tak berdayanya regulasi yang sudah dilegalisasi oleh negara.

Kembali pada Islam

Kasus keji itu tidak akan terjadi ketika akidah Islam menjadi asas kehidupan. Baik oleh individu maupun negara. Umat akan taat pada syariat Allah Swt. dan meninggalkan perilaku maksiat. Keimanan akan mencegahnya untuk memperdaya orang lain dengan kekuatan pengaruhnya ataupun dengan harta yang dimilikinya. Apalagi pada anak yang seharusnya dilindungi. Anak-anak, akan terlindungi ketika negara membuat regulasi yang bersumber pada aturan Allah, aturan terbaik untuk umat manusia. Sistem sanksi dalam Islam memiliki definisi yang jelas akan kekerasan seksual yang penetapannya berdasarkan syariat Islam. Definisi berdasarkan hukum syara’ ini akan memudahkan penetapan jenis pelanggaran dan juga sanksi yang harus diterima.

Dari kitab Nidzam al-Uqubat karya Abdurrahman al-Maliki bahwa kekerasan seksual merupakan kasus yang masuk dalam takzir pada kasus pelanggaran terhadap kehormatan, yaitu perbuatan cabul. Sanksi untuk kasus takzir memang tidak ditetapkan oleh Syari’. Namun, melalui prinsip sanksi dalam Islam berupa sanksi yang membuat jera pelaku, maka sanksinya pun akan mampu mencegah terjadinya kasus serupa. Setiap individu akan beriman, berakhlak mulia, menghormati orang lain, dan saling mengingatkan agar tetap dalam ketaatan kepada Allah. Dengan demikian, masyarakat akan terjaga kemuliaan dan kehormatannya.serta Kehidupan yang tenang dalam naungan Islam.

Wallahu a’lam bisshowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 6

Comment here