Opini

Jilbab Wajib Bukan Perundungan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Nurhayati

wacana-edukasi.com– Seorang siswi SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul, DIY, diduga mengalami depresi diduga karena dipaksa gurunya untuk mengenakan jilbab. Peristiwa tersebut terjadi pada Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).

Siswi itu saat mengikuti MPLS disebut nyaman-nyaman saja. Hanya saja pada tanggal 19 Juli, anak tersebut dipanggil oleh tiga guru Bimbingan dan Konseling (BK)–istilah baru dari Bimbingan dan Penyuluhan (BP). Saat itulah, diduga siswi itu dipaksa untuk menggunakan jilbab.

Akibat peristiwa tersebut, siswi itu diduga depresi dan mengurung diri di kamar. Dia diduga tertekan. Peristiwa tersebut kemudian mendapatkan sorotan dari sejumlah pihak. (KumparanNEWS, 31 Juli 2022).

Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan DIY (ORI DIY) Budhi Masturi tengah menelusuri dugaan perundungan dalam kasus seorang siswi yang diduga dipaksa mengenakan jilbab di SMA Negeri 1 Banguntapan oleh guru.
Dia menilai pemaksaan menggunakan jilbab di sekolah negeri yang bukan berbasis agama bisa masuk kategori perundungan.

“Saya kira iya termasuk itu (perundungan),” kata Budhi melalui sambungan telepon, Sabtu (30/7/2022). (KumparanNEWS, 30 Juli 2022).

Kasus-kasus seperti ini akan selalu diangkat dan berbuntut panjang jika terkait dengan Islam dan syariatnya. Dalam kasus ini, pembahasan hanya terfokus pada perundungan, materi perundungan adalah pemaksaan mengenakan jilbab yang merupakan kewajiban syariat Islam, akibatnya Islam seolah tersudutkan karena yang dijadikan standar acuan adalah nilai-nilai yang digaungkan Barat seperti toleransi, HAM, kebebasan, dan pluralisme. Kalangan muslim pun berpotensi terjebak sikap defensif apolagetik yakni sikap pembelaan ketika merasa berada pada posisi tertuduh, sayangnya pembelaan yang dilakukan menjadi tidak proporsional, sekadar menampik tuduhan bahwa Islam tidak demikian, kemudian terjebak menyelaraskan Islam dengan nilai-nilai Barat tersebut. Walhasil umat secara sadar atau tidak telah menerima nilai-nilai Barat dan semakin jauh dari pola pikir Islam yang benar. Disisi lain Islam akan dipandang intoleran, tidak mampu mengakomodasi keberagaman, mengekang kebebasan, dan sebagainya. Inilah tujuan sebenarnya yang diinginkan oleh Barat.

Islam mengajarkan muslim memandang fakta secara jelas dan menyeluruh bukan hanya memandang dari satu sisi, apalagi menjadikan fakta sebagai sumber hukum kemudian menghukumi atau menyesuaikan Islam dengan fakta. Seorang siswi SMA pada umumnya telah memasuki usia baligh. Sebagai muslimah harusnya ia telah terbiasa melaksanakan berbagai kewajiban termasuk menutup aurat dan mengenakan kerudung. Kalaupun belum baligh, minimal ia telah mendapatkan pemahaman terkait kewajiban tersebut dari orang tua, sekolah, maupun lingkungan masyarakatnya. Sehingga ia seharusnya sudah tidak asing lagi dengan perintah mengenakan kerudung, malah terkesan aneh jika menolak apalagi merasa tertekan dengan perintah tersebut.

Adalah tanggungjawab semua pihak baik individu yang bersangkutan, orangtua, sekolah, masyarakat maupun negara dalam hal ini. Negara memiliki tanggungjawab terbesar. Negara harus menjamin terlaksananya peran semua pihak.

Negara bertanggung jawab untuk menyuasanakan keimanan rakyatnya agar selalu berada pada kondisi aman, tidak tergoyahkan atau terpengaruh oleh pemahaman-pemahaman yang berasal dari akidah lain seperti paham kebebasan yang lahir dari akidah sekulerisme. Atas nama kebebasan seorang anak diberi pilihan antara mau melaksanakan kewajiban dari Penciptanya ataukah tidak. Bahkan kebebasan ini begitu dijunjung tinggi dan sakral sampai-sampai manusia diberi kekuasaan untuk membangkang perintah Penciptanya. Jadi wajar saja jika ada siswi menolak mengenakan kerudung padahal ia muslimah. Masyarakat dan para pejabat pun memandang kasus tersebut dari sudut pandang pemahaman Barat yakni toleransi, HAM, dan kebebasan. Alhasil solusi yang diambil hanyalah memperkuat dominasi paham-paham Barat terhadap pemahaman Islam kaum muslimin tanpa sedikitpun menyentuh akar permasalahannya.

Negara bertanggung jawab menjamin terlaksananya peran orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Negara menjamin terlaksananya peran ibu sebagai sekolah pertama bagi anak, mengurus dan memberi kasih sayang yang memenuhi kebutuhan lahir dan batin anak. Negara juga menjamin tertunaikannya peran ayah sebagai pencari nafkah, penjaga, pendidik bagi keluarganya. Orangtua mendidik sekaligus menjadi teladan terdepan dalam amal-amal kebaikan, serta menjaga keluarga dari segala keburukan. Dengan terlaksananya peran orangtua maka tidak ada lagi anak yang asing dengan syariat agamanya, karena ia dapat melihat langsung teladan pelaksanaan syariat Islam sejak dini dirumahnya sendiri. Anak akan fokus menimba ilmu, tidak mudah merasa tertekan dan putus asa ketika menghadapi permasalahan.

Negara juga bertanggung jawab menjamin terlaksananya pendidikan generasi yang berkualitas dengan sarana dan prasarana yang memadai tanpa membeda-bedakan antara sekolah yang satu dan yang lainnya. Negara harus menetapkan kurikulum pendidikan yang mencetak generasi tangguh berkepribadian Islam dan mampu menguasai iptek. Generasi yang demikian akan tahu kapan dan kepada siapa ia harus tunduk dan patuh, serta kapan dan kepada siapa ia harus menolak dan menentang. Maka seorang siswa akan dengan senang hati patuh dan hormat kepada gurunya atas dasar ketundukan pada perintah Penciptanya dan menolak bahkan menentang dikte dari para penjajah Barat melalui paham-paham yang menyesatkan.

Masyarakat Islam adalah masyarakat yang disatukan dengan pemikiran, perasaan dan peraturan Islam. Mereka turut mendidik generasi dengan kebiasaan-kebiasaan umum yang terbentuk ditengah-tengah masyatakat yang sesuai dengan Islam. Masyarakat Islam tidak akan tinggal diam ketika melihat kemaksiatan sekecil apapun, bahkan mencegah kemungkinan-kemungkinan terjadinya kemaksiatan tersebut melalui kontrol amar ma’ruf nahi munkar. Masyarakat seperti ini hanya akan terbentuk dalam negara yang benar-benar menjalankan fungsi dan perannya sebagai pengatur urusan umat.

Dengan jaminan terlaksananya peran semua pihak maka tidak ada lagi peristiwa-peristiwa serupa. Seorang siswa akan dengan ikhlas dan senang hati menghormati gurunya dan mengenakan jilbab atas landasan iman, karena syakhsiyah islamiyah (kepribadian Islam) telah terbentuk dalam dirinya. Ia juga akan senang berangkat sekolah untuk menuntut ilmu karena itu kewajiban dari Allah SWT.

Kasus-kasus yang terjadi saat ini seharusnya menjadi sarana muhasabah. Mereka, generasi yang rapuh hari ini adalah cerminan hasil sistem pendidikan sekuler yang diterapkan di negeri ini. Sistem pendidikan sekuler adalah alat penjajahan Barat guna melemahkan generasi muslim. Potensi generasi muslim yang besar telah menjadi ancaman bagi kekuasaan peradaban Barat. Mereka takut Islam bangkit ditangan para pemudanya. Saatnya kaum muslim menyadari hal ini, bukan malah sibuk mencari kambing hitam dengan menyudutkan syariat Islam sebagai tertuduh demi menyelamatkan kepentingan pribadi.

Tinggallah sistem pendidikan Islam satu-satunya harapan, sistem ini akan mencetak generasi berkualitas khoiru ummah yang kelak menghantarkan bangsanya menjadi bangsa yang besar yang mampu memimpin peradaban dunia. Sistem pendidikan Islam hanya akan terlaksana dalam negara yang menerapkan sistem khilafah Islam.

Wallaahu a’lam bish shawaab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 28

Comment here