Bahasa dan SastraCerbung

Jangan Hina Jilbabku! #2

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Ninda Mardiyanti YH

Wacana-edukasi.com — Ketika di dalam ruangan Yanti dan Tika menunduk penuh dengan kekhawatiran, ada rasa takut yang menyelimuti sebab baru pertama kali dipanggil ke ruangannya. Padahal jika dilihat dalam keseharian di sekolah antara kepala sekolah dengan anak didiknya sangatlah dekat, saling curhat tentang kehidupan ataupun berbagi pengalaman. Namun dalam kasus ini berbeda, dilihat dari tatapannya seolah Yanti dan Tika melakukan kesalahan.

“Tika, Yanti, Bapak tidak pernah melarang kalian untuk mengikuti kajian sama Pak Aziz, Bapak justru senang dan bangga jika kalian memiliki banyak pemahaman tentang Islam tapi tolong jangan sampai mengubah seragam kalian,” tegas Pak Kepala Sekolah tanpa ada basa-basi.

Benar saja mereka ditegur karena seragamnya, Yanti dan Tika pun heran padahal tidak banyak yang diubah. Warna tetap sama, desain sama, hanya saja tidak ada tempat sabuk di bagian roknya sebab menyatu dengan baju atasan. Mereka termenung di depan musala sekolah memikirkan nasib yang sudah terkena tegur kepala sekolah. Padahal mereka hanya menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslimah untuk tetap taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Walaupun demikian Yanti dan Tika mencoba berusaha meminta bantuan kepada Pak Aziz. Beliau adalah guru PAI mereka yang baik bahkan selalu siap mendorong anak didiknya untuk taat pada ajaran agama. Mereka menceritakan kejadian saat dipanggil kepala sekolah ke ruangannya, mereka berharap Pak Aziz bisa membantu masalah Yanti dan Tika untuk tidak mempermasalahkan seragam. Lalu bagaimana responsnya?

“Pak Kepala bilang seperti itu kepada kalian?” tanya Pak Aziz kaget.

“Iya Pak, apa yang harus kami lakukan? Bagaimana jika nanti kami dikeluarkan?” Yanti dan Tika membayangkan asumsi yang negatif.
Namun Pak Aziz dengan tegasnya mengatakan kepada Yanti dan Tika.

“Jika memang betul kalian sampai dikeluarkan dari sekolah ini hanya karena seragam kalian, Bapak pun akan keluar dari sekolah ini berhenti ngajar di sekolah ini. Jadi nggak usah khawatir, Bapak siap untuk membela kalian asal kalian tetap taat kepada Allah, kajiannya lanjut, dan masalah sekolah Bapak yang urus,” ucap Pak Aziz.

Mendengar jawaban dari Pak Aziz, Yanti dan Tika pun kembali semangat dan bangkit dari galaunya. Mereka beruntung sebab hadirnya Pak Aziz menjadi tameng ketika mereka dihalang-halangi. Walaupun demikian ketika berpapasan dengan kepala sekolah beliau selalu melirik pada bagian sambungan seragam. Namun Yanti dan Tika tidak begitu mengkhawatirkan lagi, mereka sudah yakin bahwa mereka bisa melewati dan yakin pula bahwa Allah akan menolongnya.

Masih dalam suasana sekolah dan bukan hanya peringatan dari kepala sekolah, Yanti pun mendapat cibiran dan rekan sekelasnya.

“Yanti, seragam kamu kok seperti itu? Nggak ribet apa?” tanya salah satu temannya.

“Tidak kok, emang kenapa?” jawab Yanti.

“Dilihat-lihat kok seragamnya kayak emak-emak pengajian ya, sudahlah panjang, ribet pula.” Dia bicara dengan nada mencibir sambil ketawa.

“Ya ampun Yanti, kerudungmu gede banget, seragammu juga, teroris ya?” celetuk dari salah satu teman yang lain.

“Hmmmm.” Yanti menghela napas.

Ada sesak dalam dirinya, dicibir oleh teman-temannya tetapi Yanti berusaha kuat menghadapi semuanya. Dia yakin ini baru tahap awal jika disandingkan dengan ujian yang lain belum ada apa-apanya. Bahkan teman seperjuangannya yang berbeda sekolah sampai ditampar oleh gurunya dan dikata-katai dengan bahasa yang kasar. Di sini Yanti masih beruntung hanya dicibir dan memiliki tameng pula dari gurunya.

Hari terus berganti, Yanti tidak pernah bercerita kepada keluarga tentang kasusnya yang dipanggil ke ruangan kepala sekolah. Alasan dia tidak mau cerita sebab ada rasa khawatir dari Yanti tidak didukung oleh ibunya, karena keluarganya belum paham tentang kewajiban menutup aurat. Jadi, Yanti selalu memendam masalah sendiri ketika ada hujatan, cacian, makian yang datang kepadanya.

Bagi Yanti masalah sekolah sudah bisa ia atasi. Jadi cibiran apa pun yang datang dari teman, guru, atau siapa pun dia bisa menahan dirinya untuk kuat. Namun di tengah kekuatan itu timbul lagi masalah yang baru. Hal ini datang bukan dari sekolah melainkan dari lingkungan keluarganya. Yanti yang sedang berusaha menjalankan kewajiban sebagai seorang muslimah untuk menutup aurat ketika bepergian pun selalu menggunakan gamis, kerudung menutupi dada, juga kaus kaki. Dia ditentang oleh keluarga besarnya sebab pakaian yang dia gunakan itu tidak modis dan ribet.

Di suatu hari, liburan Idul Fitri rombongan keluarga besar berlibur ke pantai. Begitu senangnya Yanti karena bisa melihat keindahan yang Allah ciptakan dan bisa menguatkan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentunya tidak melupakan kewajiban, dia tetap menggunakan hijab syar’i walaupun di pantai. Ketika di perjalanan terjadilah perbincangan.

“Neng, emang nggak bawa baju lagi?” tanya tantenya.

“Emang kenapa, Tan?” jawab Yanti.

“Ini kan di pantai ganti atuh bajunya pake baju pendek” ujar tantenya dengan nada sewot.

“Iya ih kamu Yanti, sekali-kali pake baju pendek atuh ini mah lagi liburan pakenya gamisan kaya ibu-ibu pengajian aja,” celetuk sepupu.

Ibunya Yanti, tante, dan sepupunya menertawakan Yanti.

“Nggak apa-apa kok ini juga nyaman,” jawab Yanti dengan nada pelan.

Di tengah keramaian pantai Yanti merasa sangat sendirian, dia sedih dan terpukul karena perlakuan keluarganya. Air mata menetes di pipi. Kalau teman yang mencibirnya bagi dia itu tidak masalah, tetapi jika cibiran itu datang dari keluarga seperti pupus harapan, tidak bergairah.

Ya Allah, apakah ini ujian-Mu? Apakah setiap orang-orang yang berusaha taat kepada-Mu harus melewati liku-liku seperti ini? Jika memang demikian kuatkanlah, sabarkanlah, mudahkan, dan lapangkanlah. Supaya bisa menghadapi ujian ini dengan hati yang tenang. Begitulah rintihan suara hati Yanti di tengah keramaian.

(Bersambung)

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 10

Comment here