Bahasa dan Sastra

Jalan Hijrah yang Kupilih

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Ummu LubHaNaH

“Wahai para pemuda, barang siapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya.” (HR. Bukhori no. 5056, Muslim no. 1400).

***

Merdunya suara adzan berhasil memecahkan sejenak lamunanku. Aku lanjutkan perjalanan dengan Alfa 2R sembari mencari tempat untuk menunaikan sholat ashar. Aku parkir motor bututku tepat di pelataran masjid di sebuah kota Gersik dan mencari tempat wudhu untuk wanita.

“Allahummaftahli abwabarahmatik” Aku melangkahkan kaki yang masih basah dengan guyuran air wudhu, masuk ke dalam ruangan, mataku tertuju pada jamaah yang baru saja selesai menunaikan sholat ashar. Namun pikiran berkelana tak tentu arah. Hatiku terasa sepi dan kosong di tengah kerumunan manusia. Batin memberontak, jiwa pun diselimuti kegalauan dan dihantui perasaan berdosa sejak membaca buku yang berjudul Udah Putusin Aja oleh ustadz Felix Y. Siauw. Antara minta putus atau segera menghalalkan hubungannya dengan pujaan hatinya. Yang jelas tidak segampang membalik telapak tangan menjelaskan hal itu kepada orang yang belum mempunyai pemahaman, agar segera melamarnya.

Bibir basah dengan untaian kalimat munajat, memohon untuk diberikan kekuatan dalam mengambil sebuah keputusan. Bukanlah sesuatu yang mudah ketika kita dihadapkan dengan dua pilihan. Karena hidup ini adalah pilihan. Mau seperti apa kita 5 atau 10 tahun ke depan adalah pilihan kita di masa sekarang. Kita sekarang adalah pilihan kita di masa silam. Mau ke syurga atau neraka, mau taat atau maksiat, mau bahagia atau sengsara. Semua adalah pilihan. Karena tidak akan pernah bisa menyatu antara haq dan bathil.

“Wong sholat kok pikiran e gentayangan tekan ngendi-ngendi”. “(Orang sedang sholat namun pikiran kemana-mana).”Celetuk Murni, sambil menepuk pundak berusaha mengalihkan perhatianku. Dia adalah sahabatku. Satu jurusan dan satu fakultas salah satu universitas di Surabaya. “Apaan sich?” Jawabku ketus.
Tanganku bergerilya mencari benda kecil berwarna kuning yang biasa aku letak di tas bagian depan, tak berhasil kutemukan. Ternyata masih tergantung di motor.

“Syukur si kombet ini tak di bawa maling. Lagi pula maling pun mikir, untuk apa bawa sesuatu yang tidak sesuai antara hasil dan resikonya”. Gumamku dalam hati.

Udara sore semakin sejuk, matahari makin dekat dengan peraduan malam. Aku terus melanjutkan langkah menyusuri aspal yang berdebu, melintasi area pertambakan hingga memasuki lorong-lorong perumahan. Tibalah disebuah kontrakan rumah type 54. Tampak lelaki dengan postur tubuh sedang, tidak terlalu tinggi, sekitar 165cm, dengan berat badan 60kg, namun sangat tampan, lemah lembut dan selalu tersenyum, jadi idaman setiap wanita yang mengenalnya. Mas Joko namanya, umurnya 25th, selisih 3th di atasku. Dialah yang selalu membersamaiku kurang lebih setahun ini, memberikan perhatian kepadaku, tempatku berkeluh kesah bila masalah melanda.

“Capek ya? Mau minum apa? Dari mana ja tadi? Kok tahu rumah ini? Ada apa? Kok tumben? Gak biasanya?” Mas Joko memberondong pertanyaan kepada kami.

“Dari kampus tadi mas, langsung diajakin ke sini sama Nilam”. Murni menjawab pertanyaan mas Joko sambil memegang pundakku. Aku yang sedari tadi hanya bisa mematung, diam seribu bahasa, lidah ini begitu kelu tak ada mampu berucap barang sekata pun.

“Tapi aku harus segera mengambil keputusan, mengatakan yang sebenarnya maksud kedatanganku menemuinya”.
Gumamku dalam hati. Dadaku bedebar kencang seperti genderang mau perang, terasa deras darahku mengalir, otakku berputar menyusun kata merangkai kalimat agar bisa dipahami oleh Mas Joko.

Ketika semuanya harus berakhir
Ketika peluhku tak lagi berarti
Kau memilih tuk akhiri kisah ini
Kau hempaskan aku tak berdaya
… (Lirik lagu Naff)
Sepertinya lirik lagu itu sangat pas mewakili suasana hati mas Joko.

“Maafkan aku Mas. Sepertinya kita tak lagi bisa bersama”. Ucapku sambil menahan air mata yang sudah hampir jatuh.
“Yayang nich pintar juga bercanda. Hati-hati kalo ngomong. Disaksikan malaikat loooo…!”

“Mas bener. Kita selalu di jaga dan dicatat oleh malaikat setiap amal perbuatan kita. Makanya aku sampaikan ini semua ke Mas. Dan aku gak bercanda Mas… Aku serius.” Kalimat itu mengalir dari bibirku bak orang bijak memberi nasihat. Wajah sumringah yang tampak pada Mas Joko tetiba menjadi redup laksana awan gelap yang sebentar lagi akan turun hujan.

“Apa salahku, Yang? Adakah dari kata dan sikapku yang melukai mu? Selama ini aku selalu setia denganmu, tak pernah terbesit sedikit pun untuk berpaling dari hatimu. Sakjane Yayang ki jik cinta karo aku opo nggak? (Sebenarnya Yayang ini masih cinta sama aku atau nggak?” Borongan pertanyaan dilayangkan Mas Joko kepadaku.

“Salahnya Mas tidak segera menghalalkan hubungan kita. Mas selalu bilang belum siap. Ini cinta yang terlarang Mas, ini dosa. Dan aku gak mau larut dalam kemaksiatan. Aku ingin segera berhijrah secara total.” Ucapku dengan tegas dan tegar.
“Halah… Yayang ini gak usah sok alim lah! Selama ini kita nikmati kebersamaan ini. Dan enjoy saja kok. Lagian kalo kita cepat nikah aku belum punya penghasilan tetap. Dan sampean masih kuliah juga. Lagian ngapain sampean sekarang pakai baju macam orang hamil gitu? Pakai kerudung macam nenek-nenek. Jadi gak cantiq tahu!”

Mas Joko seolah tak percaya dengan sikap Nilam yang memang sudah nampak berubah. Dari sisi pemikiran dan pakaian. Yang dulu selalu tampil modis, sekarang menutup auratnya dengan jilbab (pakaian lurus seperti terowongan, tidak berpotongan, tidak ketat dan menutup mata kaki/ gamis) dan kerudung (penutup kepala hingga ke dada).

“Kalo begitu aku pamit Mas. Maafkan aku dan tolong hargai segala keputusanku. Jalan yang kita tempuh berbeda. Selamat tinggal!” Dengan perasaan tak menentu aku pulang. Karena sejujurnya dari lubuk hati yang terdalam, aku masih mencintainya. Namun aku tetap memilih Allah SWT Sang pemilik cinta hakiki.

***

Suara ponselku berbunyi pertanda ada pesan masuk melalui WhatsApp. Dari Mas Ari. Dia adalah lelaki Sholih yang baru aku mengenalnya di tempat foto copi. Pekerjaan sambilan mas Ari, untuk menambah biaya perkuliahan. Etung-etung membantu orang tuanya. Beliau mahasiswa ITATS (Institut Teknologi Aditama Surabaya) jurusan Teknik Perkapalan semester akhir, sedang nyusun skripsi. Secara fisik biasa saja. Tapi nampak perhatian dan suka menolong. Menurut penuturan kawanya, beliau adalah ketua BKLDK tingkat Surabaya. Dan aku gak ngerti yang begituan. Antara aku dengan mas Ari memang tidak ada interaksi yang intens. Kita kenal sekedarnya lewat teman satu kerjaan di tempat foto copi itu. Namun ketika bertemu ada sesuatu yang berbeda. Tapi aku tak tahu kenapa. Setiap kali aku butuh bantuan beliaulah yang selalu menolong. Dan hal ini diketahui oleh Bapak dan Ibu. Seperti ada signal, Bapak dan Ibu pun suka dengan Mas Ari ini. Sudahlah sopan, Sholih, calon insinyur lagi.

“Assalamualaikum, Ukhti… (panggilan tak biasa bagiku, sebenarnya terasa risih dan geli) apakah anti mau menikah denganku? Kalo bersedia saya akan segera datang ke orang tua ukhti untuk melamar dan bulan depan insyaAllah kita menikah.” Pertanyaan yang menurutku serem. Tapi dalam hati ini tak ada alasan untuk menolak. Mungkin inilah jalanku pilihan terbaik yang Allah SWT kirim untuku. Karena aku telah memilih jalan Hijrah ini. Meski belum ada cinta. Aku terima pinangan dari mas Ari. Semoga Allah SWT meridhoi…

Allahu’alam bishowwab

Batam, 6 September 2020

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 5

Comment here