Tabligul Islam

Idolaku

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Ismawati

Saranghaeyo … gomawoyo
ttatteushage nareul anajwo
I sarang ttaemae naneun sal su isseo ….
sarangeun geureongabwa
museun mareul haebwado
chaewojiji anheun geot gateun
maeumi deunabwa

“Faaanii … Fan … Faaanii ….” teriak gadis manis dengan jilbab cokelat dipadu kerudung krem dari dalam kamar.

“Apaan, sih, Kak? Teriak Fani … Fani …. Kakakku yang cantik, nama aku, tuh, Jung Fani, Oke?!” ujar gadis yang sedang menikmati drama Korea favoritnya.

“Iyaa Jung Faniii … yuk, buruan berangkat kajian, Kak Salma sudah nunggu. Sudah jam berapa, nih?”

“Fani libur dulu, deh, Kak, lagi seru nih dramanya. Lagi romantis-romantisnya, loh, Kak. Sayang banget dilewatkan.”

“Astagfirullah … Istighfar, Fan, drama kayak gitu ga bagus ditonton. Mending kajian, dapat ilmu yang berfaedah ga kayak gini.”

Kemudian Rahma menghampiri Fani dan mengangkat tangannya, “Ayok Faaan …. ”

“Dih, Kakak, udah, deh, besok aja, ya … Besok aku dateng, Janji.” Fani melepas genggaman sang kakak lalu mengangkat jari kelingkingnya, sebagai isyarat janji.

“Hem … oke, yaudah kakak berangkat sendiri, ya. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam, dadah, Kak.”

Hari ini Fani absen mengikuti kajian rutin pekanan yang biasanya ia lakukan setelah salat Jumat. Serial drama Korea di TV membuatnya enggan mengikuti kajian hari itu.

Fani adalah gadis berusia 16 tahun yang sangat menggemari hal-hal yang berbau Korea, terutama Korean Drama. Sudah lebih dari 160 serial drama telah ditonton oleh Fani. Sebenarnya bukan hal aneh bagi pecinta drama Korea.

**

“Assalamu’alaikum.” Terdengar suara dari arah pintu. Rahma yang baru pulang dari Kajian langsung membuka pintu rumah karena tidak dikunci.

“Ya Allah, Fani … kamu masih nonton?” ujar Rahma dengan wajah menegang menahan marah melihat Fani tidak meninggalkan tempat duduknya di depan TV.

“Hehehehehe ….” Fani nyengir kuda.

“Diih … kamu, yaa, udah sholat Ashar belum?”

“Ya, Allah, lupaa Kakkkk.” Fani langsung melompat dari kursi tempat dia duduk dan bergegas wudu untuk menunaikan sholat Ashar.

**

Sejak kejadian itu, Rahma pun banyak merenung dengan apa yang terjadi pada adiknya. Maklum, Fani adalah adik satu-satunya. Mereka hanya tinggal berdua di rumah peninggalan orang tuanya. Ayah dan ibunya sudah meninggal karena sakit yang dideritanya.

**

Pagi hari, ditemani suara air dari langit yang membasahi bumi, dua orang kakak beradik sedang sibuk melakukan pekerjaan rumah.

“Kak, kenapa, sih, Kakak akhir-akhir ini, kok, jutek banget sama Fani.” Fani memulai pembicaraannya kala. Karena tak biasanya Rahma diam tanpa kata.

“Enggak, kok, biasa aja.”

“Heeuh … beda aja gitu, biasanya, nih, yaa Kak Rahmaku itu orangnya bawel, suka ngomel-ngo …. ”

“Udah-udah … selesaiin dulu cuci piringnya sana!” potong Rahma cepat.

“Heeuuuh … Iya, deh, iyaa …. ” Fani menghela napas panjang dan segera menyelesaikan mencuci piring-piring yang ada di hadapannya.

**

Sepekan berlalu, di hari Jumat seperti biasa jadwal kajian rutin Rahma dan Fani. Hari itu Fani memutuskan untuk pergi kajian bersama kakaknya. Kebetulan, serial drama Korea favoritnya tidak tayang.

“Ayok, Kak! Fani sudah siap”

“Hari ini dramanya libur, kah? ”

“Emang Kakak ngga lihat? Tuh …. ” Fani menunjuk ke arah TV yang sedang menayangkan siaran bola kaki.

“Yaudah, deh, ayok berangkat!”

Fani dan Rahma pergi bersama mengendarai sepeda motor. Jarak antara masjid dan rumah mereka tidak begitu jauh, berkisar 3 km saja. Sungguh indah cuaca hari itu, cerah, dan tidak terlalu panas. Bahkan semangat kakak beradik dalam menuntut ilmu tak kalah dengan semangatnya mentari.

Rahma memarkirkan motornya tepat di halaman Masjid Solahudin tempat mereka akan menimba ilmu agama. Masjid ini tidak pernah sepi oleh jemaah. Baik warga sekitar maupun orang-orang yang lalu lalang melewatinya.

**

“Assalamu’alaikum.” Sapa seseorang yang mengenakan gamis biru langit kerudung navy dan langsung mendekati Rahma. Dialah Kak Salma, yang biasanya ngisi kajian Rahma dan yang lain.

“Wa’alaikumsalam,” balas Rahma dan mereka langsung bersalaman.

“Kita ke atas masjid saya, ya, Rahma.”

“Iya, Kak.”

Waktu menunjukkan pukul 13.33 WIB. Di atas masjid sudah menunggu 3 orang yang sama-sama mengikuti kajian pekanan bersama Kak Salma.

“MasyaAllah, alhamdulillah komplit, ya, hari ini yang hadir kajian. Fani juga dateng, apa kabar, Fan?” Kak Salma memulai pembicaraannya sebelum memulai kajian.

“Alhamdulillah, baik, Kak”

“Sudah selesai nonton dramanya, Fan?”

Fani tersipu dengan pertanyaan Kak Salma. Ia hanya melayangkan senyum tanpa berkata apa-apa.

Kak Salma mulai membuka forum kajian, lalu menyampaikan materi yang sudah ia siapkan dari rumah.

**

“Kak, emang bener, ya, yang dibilang kak Salma tadi? Di akhirat kelak, kita akan bersama orang yang kita cintai?” Fani membuka diskusi malamnya bersama sang kakak.

“Yap, betul. Kalo Fani cinta sama oppa-oppa, tuh, di akhirat bakal bareng sama oppa. Mau?”

“Ya, nggak gitu juga kali. Kak. Kan, cuma sekedar mengagumi.”

“Mengagumi, kok, sampai tergila-gila. Sampai lupa waktu sholat. Hayoloh ….”

“Apaan, sih, Kak.” Fani mulai tidak setuju dengan pendapat kakaknya malam itu dan langsung kembali ke kamarnya.

“Awas, loh, yaa, di akhirat bareng oppa. Tau, kan, oppanya nanti Allah letakkan di mana?” ledek Rahma yang mulai beranjak pergi dari kamarnya.

“Gaa tauu, Kak … ngga dengerrr …. ”

**

Kringg … Kringg … Kringg …

Suara telepon memalingkan Fani dari aktivitasnya.

“Assalamu’alaikum.” Fani mengangkat telepon yang berdering cukup keras di ruang tamunya.

“Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Fani menutup teleponnya.

“Ada apa Fan? Kenapa?”

“Ya Allah, Kak …. ”

“Kenapa? ”

“Sari Kak … Sari …. ”

“Iya, Sari kenapa?”

“Sari meninggal dunia, Kak”

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, sekarang ada di mana? ”

“Masih di Korea katanya Kak, baru mau diterbangkan ke Indonesia. Barusan yang nelfon Kak Salma. Katanya HP Kak Rahma ga aktif, ya? ”

“Oh, iya, kehabisan baterai. Ya, udah besok kita ke sana.”

*

Yaasiin … walqur’anil hakim.. Innaka laminal mursalin ….

Terdengar suara bacaan yasin dari dalam rumah. Suara ramai terdengar diiringi isak tangis keluarga. Hari itu memang menjadi hari paling menyedihkan bagi keluarga yang ditinggalkan orang terkasih untuk selama-lamanya.

Bendera kuning berkibar di pagar rumah. Berduyun-duyun orang datang untuk ikut berbela sungkawa. Fani termenung, menatap banyak sekali orang yang datang untuk mendoakan sahabatnya, Sari. Tiba-tiba ada seseorang yang menyapa Fani.

“Alhamdulillah, Fan, akhirnya kamu dateng.”

“Ya, Allah, Kak, yang sabar, ya, Kak … semoga almarhumah bisa tenang di alam sana. Diberi tempat terbaik di sisi-Nya.” Fani menunjukkan perhatiannya kepada Husna, kakak Sari. Dilihat betapa sedih raut wajahnya kala itu. Menyaksikan adik yang dicintainya pergi untuk selamanya.

“Iya, Fani, sebenarnya Kakak sudah mencegah Sari pergi waktu itu. Tapi dia ngotot ingin pergi. Ingin berjumpa dengan artis Korea kesayangannya. Alhasil, kelelahan di tengah banyaknya orang di tempat konser.”

“Astaghfirullah, Kak … Sari meninggal pas nonton konser Korea?”

“Iya, Fan.” Husna tak sanggup melanjutkan pembicaraannya hari itu. Karena sangat sedih dan betul-betul terpukul.

Akhirnya jenazah Sari diantar ke tempat peristirahatan terakhirnya. Dalam perjalanan, terlihat wajah Fani yang masih merasa sedih. Hingga tak sadar, bulir-bulir air matanya jatuh ke pipi.

Tak terbayangkan sebelumnya, bahwa sahabat yang dicintainya pergi secepat itu. Di saat dirinya sedang menyaksikan konser idola favoritnya di negara Korea.

*

Sejak ditinggalkan selama-lamanya oleh sahabatnya. Fani terlihat jarang duduk di depan TV menanti serial drama favoritnya. Sari adalah sahabat Fani yang mengenalkan dunia kepadanya.

Setelah kepergiannya, Fani lebih banyak merenung dan berpikir apa yang akan terjadi ketika dirinya yang menyusul Sari. Apakah ia akan bernasib sama, meninggal dunia ketika sedang menonton artis Korea.

Seseorang akan bersama orang yang ia cintai ….
Seseorang akan bersama orang yang ia cintai ….

Kalimat itu terus menerus terngiang di telinga Fani.

**

“Masih suka drama Korea, nih?” tanya Rahma pada sang adik yang sedang duduk di depan TV. Kali ini yang ia tonton adalah konser salah satu boyband kegemaran almarhumah Sari.

“Apaan, sih, Kak? Cuma konser di DVD doang.” Fani mencoba mengelak dari sang kakak.

“Hhm … ngga inget kata Kak Salma nan ….” Belum selesai Rahma berucap sudah dipotong Fani.

“Udah … udah … sana … sana … Kak, masak, kek, cuci piring, kek,” usir Fani.

Fani mulai marah dengan ucapan Rahma. Dan langsung pergi meninggalkannya.

*

“Faaanii … Faniii … kenapa kamu pergi begitu cepat, Fani, kenapaaa …???” Rahma memeluk tubuh Fani begitu erat.

Tubuh Fani tebujur kaku. Ia tak dapat merasakan apa-apa. Hanya suara-suara sayup terdengar ramai membacakan Yaasiin untuknya. Tubuhnya dingin, ingin berkata, tapi tak mampu. Yang ada dipikirannya hanya oppa Korea dan serial drama yang dulu pernah ia tonton. Kali ini ia tertegun, bahwa kesenangan dunia telah ia tinggalkan. Dahulu, ia bisa bersantai untuk melakukan ibadah, sementara saat ini dirinya merasa menjadi orang yang merugi karena telah menyia-nyiakan waktu hidupnya. Semasa hidup dihabiskan untuk mencintai makhluk yang tidak dapat menolongnya ketika kembali kepada Sang Pencipta.

Ia berlari menemui cahaya, berharap sesuatu dapat menolongnya sebelum berhadapan di hari pembalasan kelak. Dirinya merasa takut, sepi sekali di sini. Tanpa siapa-siapa.

“Kak Rahma … Kak Rahma … Kakak di mana? Fani sendirian …. ”

*

“Kak Rahmaaa ….” Fani terperanjat dari tidurnya.

“Astagfirullahaldazim, astagfirullahaldazim, astagfirullahaldazim.” Fani lanjut merapal istigfar.

Kemudian Fani menghela nafas panjang. Tak terasa keringat membasahi tubuhnya. Dirinya terhenyak, ternyata itu hanya mimpi setelah tertidur di depan TV.

“Astaghfirullah … kenapa Fani?” Rahma kaget melihat adik semata wayangnya terlihat ketakutan.

“Kak Rahma … ” Fani tak kuasa menahan tangisnya. Tanpa aba-aba Rahma memeluk Fani dan mencoba menenangkannya.

“Kak … Kak … mulai hari ini Fani akan menjauhi semua hal tentang Korea. Mulai hari ini Fani akan betul-betul mencintai Rasulullah sebagai teladan kita. Seperti yang Kak Salma bilang,” cerocos Fani dalam pelukan Rahma.

“Sebentar, kamu kenapa, Fan? Kamu mimpi, ya?” Rahma masih menerka apa yang terjadi.

“Fani takut, Kak … Fani takut … tidak ada penolong Fani di akhirat kelak,” ujar Fani sambil menangis tersedu-sedu.

Rahma kini yakin kalau sang adik selesai bermimpi buruk.

“Faaan … semoga ini bisa menjadikan Fani lebih baik, ya. Ini teguran dari Allah, Fani harus berubah. Coba Fani bayangkan betapa cintanya Rasulullah kepada kita. Di akhir masa hidupnya, beliau memanggil kita. Ummatii … ummati ….” Panjang lebar Rahma menasihati Fani.

“Iya, Kak, Fani takut, Kak. Fani akan berusaha menjadi lebih baik. Bantu Fani untuk membuktikan cinta Fani kepada Rasulullah, ya, Kak,” mohon Fani pada sang kakak.

“Fani harus belajar menerapkan seluruh ajaran Rasulullah di kehidupan Fani. Dunia itu kesenangan yang semu, Fan, yang kekal ada di surga.” Nasihat sang kakak didengarkan Fani dengan khidmat.

“Iya, Kak. Fani akan berusaha. Bantu Fani, ya, Kak,” jawabnya lirih.

“Iya, adikku sayang.” Rahma pun kembali memeluk sang adik erat.

END

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 126

Comment here