Oleh: Nabila Zidane (Forum Muslimah Peduli Generasi dan Peradaban)
Wacana-edukasi.com — Tidak terasa kita sudah hampir berpisah dengan 2020. Di bulan Desember pada tanggal 25 adalah momen perayaan hari Natal bagi yang merayakan. Namun, selalu saja setiap tahunnya momen ini menjadi momen perdebatan di antara umat muslim lainnya tentang boleh atau tidaknya mengucapkan selamat kepada mereka yang merayakan. Katanya, nih, kalau kita tidak mengucapkan kita adalah orang yang tidak toleran.
Tidak cuma itu bahkan ada banyak kasus dimana karyawan-karyawan muslim dipaksa menggunakan atribut Natal seperti mengenakan topi Santa atau bahkan menjadi Santa Claus.
Padahal Rasulullah saw. melarang kaum muslim untuk menyerupai kaum kafir. Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Polemik ucapan Natal menjadi abu-abu di tengah-tengah umat. Sebagian umat beranggapan bahwa pengucapan semacam ini tidak mengganggu keimanan seorang muslim, “Mau ucapin, ya ucapin aja, kan mereka juga mengucapkan selamat hari raya ke kita.” Begitu kata mereka.
Padahal dengan mengucapkan selamat berarti kita mengakui bahwa hari itu adalah hari kelahiran Tuhan mereka. Hal ini bertentangan dengan akidah umat Islam yang meyakini bahwa Allah tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. (QS Al-Ikhlas: 3)
Tahun ini kemungkinan Islam akan dituduh agama intoleran kembali lantaran akan bermunculan nasihat para ustadz, aktivis Islam atau kaum muslim yang mesti akan mempermasalahkan para karyawan toko yang terpaksa mengenakan atribut Natal.
Beginikah publik yang terdidik di era opini kapitalistik? Ya, mereka memang latah mengikuti para penganut paham liberal yang tidak mustahil dikomandoi oleh tokoh muslim atau yang menisbahkan dirinya sebagai ulama. Padahal tuduhan yang mereka sematkan atas Islam sebagai ajaran intoleran sungguh tidak mendasar.
Semua itu karena dilatarbelakangi kebencian terhadap Islam sehingga muncul keinginan untuk menjauhkan umat dari ajaran Islam kaffah. Jadi Islamofobia adalah akar dari kebencian itu.
Mereka ingin mengubah standar kehidupan kaum muslimin menjadi penganut liberalisme, pluralisme, dan sekularisme yang menganggap semua ajaran agama itu benar.
Sungguh mereka itu telah tersesat dan terjebak dalam opini toleransi. Padahal Islam tidak pernah melarang muslim untuk bergaul dan bermuamalah dengan non muslim termasuk penganut Nasrani hingga Agnostic maupun Atheis asal mereka kaum muslimin itu tetap mengacu pada tatanan syariat.
Rasulullah saw. juga pernah menjenguk Yahudi yang sakit atau melakukan jual beli dengan non muslim. Bahkan beliau Nabi Muhammad saw. tetap menyuapi seorang Yahudi tua buta yang terus-menerus menghujat beliau. Artinya Islam sangat adil dalam masalah kemanusiaan, dalam melakukan pergaulan kemasyarakatan tetapi Islam sangat kuat di dalam memegang perkara akidah dan syariat. Hal ini tidak boleh dicampuradukkan sesuai dengan keinginan manusia. Hendaklah mereka memahami apa yang difirmankan Allah didalam alquran surat al-baqarah ayat 256
آ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Oleh karena itu di dalam ajaran Islam terdapat perintah untuk beribadah kepada Allah dengan murni mengikuti tuntunan syariat Islam. Dilarang keras mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran agama yang lain.
Karenanya tolaklah ajakan perayaan Natal bersama karena hal tersebut diharamkan oleh Allah Swt. dengan mengatakan lakum dinukum waliyadin yang artinya, “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
Views: 30
Comment here