Surat Pembaca

Hapus Hukuman Mati, Apakah Prestasi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Ustadzah Mardiyah, S.Ag

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Para ahli hak asasi manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memuji langkah Malaysia untuk menghapuskan hukuman mati wajib atas berbagai kejahatan serius. Parlemen Malaysia telah melakukan pemungutan suara pekan lalu untuk menghapus hukuman mati atas pelanggaran seperti pembunuhan, terorisme, dan pengkhianatan, kemudian menggantinya dengan hukuman lain termasuk penjara seumur hidup (https://kalbar.antaranews.com/berita/539076/malaysia-dapat-pujian-dari-pbb-terkait-hapus-hukuman-mati).

Keputusan itu berpotensi menyelamatkan nyawa 1.300 orang terpidana mati dan mendukung tren global menuju penghapusan universal (untuk hukuman mati),” kata pakar PBB dalam sebuah pernyataan, Selasa (11/4). Para ahli HAM PBB menekankan bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan prinsip dasar hak asasi dan martabat manusia, meniadakan kemungkinan hakim untuk mempertimbangkan keadaan pribadi terdakwa atau keadaan pelanggaran tertentu dan mengindividualisasikan hukuman.

Undang-undang baru, yang akan diterapkan secara surut di Malaysia, akan memberikan waktu 90 hari kepada terpidana mati untuk meminta peninjauan kembali hukuman mereka. Para ahli PBB menyampaikan harapan bahwa keputusan tersebut akan membuka jalan bagi penghapusan sepenuhnya hukuman mati di Malaysia, dan akhirnya di seluruh wilayah.

Atas dasar HAM lagi-lagi dijadikan dasar untuk penghapusan hukuman mati terhadap pidana berat, apakah dengan hal tersebut merupakan langkah maju dalam penegakan hukum atau malah justru mundur kebelakang. Kejahatan akan semakin merebak.

Bagi Amnesty International, hukuman mati melanggar hak untuk hidup dan hak untuk tidak mengalami perlakuan atau merupakan hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Hak tersebut dilindungi dalam Deklarasi Universal HAM, instrumen HAM lainnya, dan banyak konstitusi nasional di seluruh dunia, termasuk konstitusi Indonesia.

Realitasnya, dalam sistem kapitalisme, bisa terjadi kesalahan dalam penetapan keputusan hukuman mati. Misalnya, sejak 1973, lebih dari 160 narapidana yang dijatuhi hukuman mati di AS dibebaskan karena akhirnya terbukti tidak bersalah, atau juga vonisnya terbukti tidak proporsional dengan kejahatan mereka.

Hukuman mati juga dianggap diskriminatif terhadap mereka yang punya latar belakang sosial dan ekonomi yang dianggap lebih lemah. Mereka yang termarginalisasi secara sosial dan ekonomi bisa lebih sulit mengakses bantuan hukum. Misalnya, dalam kasus sosial-ekonomi yang meningkatkan risiko atau menyebabkan orang terlibat dalam perdagangan narkotika, kasus kesehatan yang buruk, orang-orang yang kurang atau tidak memiliki akses ke pendidikan, orang dengan tempat tinggal yang kurang layak, serta yang mengalami kemiskinan dan diskriminasi. Mereka bisa lebih dirugikan dalam sistem peradilan pidana.

Sudah rahasia umum, di alam demokrasi, hukum rawan untuk dipolitisasi berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Kadang pula para korban kejahatan bisa makin terzalimi dengan keputusan hukum yang bisa dengan mudahnya berubah sesuai “permintaan” pihak-pihak tertentu. Hingga beredar pemeo terkait kepanjangan KUHP, yakni “kurang uang, hukum penjara” atau juga “karena uang, habis perkara”.

Hukum juga ternyata kadang dijadikan sebagai alat politik pencitraan. Misalnya, pada masa-masa tahun politik, ketika seseorang yang memiliki otoritas memberikan keringanan hukum, langsung dianggap pro HAM dan demokrasi. Apalagi kalau memberikan grasi hukum bagi pelaku-pelaku kriminal yang telah terbukti ia harus dihukum mati.

Realitas menunjukkan, elektabilitas seseorang yang memiliki otoritas yang pro HAM dan demokrasi, bisa meningkat karenanya. Dalam pandangan Islam, keputusan hukum bersifat mengikat bagi pelakunya. Ketika hukum sudah ditetapkan, akan langsung dieksekusi dan tidak perlu menunggu lama. Tidak pula ada banding di dalam keputusan hukum karena hukum yang bersifat mengikat tersebut.

Sebelum diputuskan, alat bukti sudah diberikan, baik berupa pengakuan maupun bukti-bukti yang ada melalui ijtihad seorang hakim. Keputusan hakim bersifat mengikat karena keputusan hakim adalah hukum syarak atau hasil ijtihad dan kaum muslim wajib terikat dengan hukum syarak tersebut. Motivasi dalam menjalankan hukum ini adalah bentuk dari ketakwaan yang dengan kesadarannya masyarakat akan menginginkan dihukumi dengan hukum syarak. Bagi pelakunya, ini akan memberikan efek jawabir atau penebus bagi dosa-dosa yang ia lakukan. Kelak di akhirat, ia tidak akan dihukum lagi dengan siksaan neraka karena di dunia sudah dihukum dengan hukum Islam.*

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 5

Comment here