Opini

Danantara: Topeng di Balik Oligarki

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Nur Rahmawati, S.H. (Penulis dan Pendidik di Kotim)

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Pembentukan Danantara oleh pemerintah menandai babak baru dalam pengelolaan aset dan modal negara. Dengan mengusung konsep ekonomi kerakyatan tetapi tetap mempertahankan peran oligarki, strategi ini mengarah pada model kapitalisme negara, sebuah sistem di mana negara aktif mengendalikan ekonomi, namun tetap menguntungkan segelintir elite bisnis yang memiliki kedekatan dengan penguasa. Dalam banyak hal, desain ekonomi ini mirip dengan model yang diterapkan oleh Tiongkok, di mana perusahaan-perusahaan milik negara berperan sentral dalam pertumbuhan ekonomi sekaligus menjadi alat bagi oligarki untuk terus memperluas dominasi mereka di pasar global.

Sang Begawan Ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo, ayahanda Presiden Prabowo Subianto, bercita-cita jika BUMN memberikan 1-5 persen labanya untuk dikelola badan investasi yang akan membeli saham milik swasta, maka keuntungan penjualan saham akan diperuntukkan membantu ekonomi masyarakat. Inilah awal dari lahirnya Danantara (Kompas.com, 18-2-2025).

Danantara: Skema Optimalisasi Aset BUMN?

Danantara dibentuk dengan tujuan utama mengoptimalkan modal dan aset BUMN. Dengan modal awal yang besar, dana ini dapat digunakan untuk menarik investasi asing ke dalam negeri. Kemudian, menginvestasikan modal Indonesia ke luar negeri dalam berbagai sektor strategis. Selanjutnya, mendukung proyek prioritas pemerintah, seperti hilirisasi minerba dan penguatan industri sawit.

Namun, dalam praktiknya, skema ini lebih banyak menguntungkan para oligarki yang telah menjadi bagian dari tim sukses penguasa. Keberadaan mereka dalam jajaran petinggi Danantara semakin menguatkan indikasi bahwa dana ini bukan benar-benar untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk memperbesar gurita bisnis segelintir elite ekonomi.

Modal awal Danantara berasal dari uang rakyat, baik melalui pajak maupun dana BUMN yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, dalam persaingan ekonomi global yang keras, keberhasilan investasi tidak pernah terjamin. Jika proyek-proyek yang didanai oleh Danantara gagal, maka kerugian akan ditanggung oleh rakyat, sementara para oligarki yang telah mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut tetap bisa bertahan dan bahkan berkembang.

Sektor Minerba dan Sawit: Ladang Emas bagi Oligarki

Dua sektor utama yang menjadi sasaran investasi Danantara adalah hilirisasi minerba dan perkebunan sawit. Kedua sektor ini sudah lama dikuasai oleh oligarki nasional yang mendapatkan keuntungan besar dari ekspor komoditas. Dengan dukungan Danantara, mereka mendapatkan akses tambahan terhadap modal negara untuk melakukan ekspansi bisnis lebih lanjut di pasar global.

Ironisnya, industri minerba dan sawit telah lama dikritik karena banyaknya konflik agraria, eksploitasi buruh, dan dampak lingkungan yang merugikan rakyat. Namun, alih-alih memperbaiki sistem agar lebih adil, skema Danantara justru semakin memperkokoh posisi oligarki dalam sektor ini.

Jika investasi Danantara berhasil, oligarki akan semakin kaya. Namun, jika gagal, maka kerugian akan ditanggung oleh rakyat yang uangnya telah digunakan sebagai modal awal. Hal ini menunjukkan bahwa risiko dalam sistem ini hanya ditanggung oleh rakyat, sementara keuntungan dikapitalisasi oleh segelintir elite ekonomi.

Analisis Ekonomi Islam

Islam memiliki sistem ekonomi yang berbeda dengan kapitalisme negara. Dalam Islam, kepemilikan harta telah diatur dengan jelas, baik dalam aspek kepemilikan individu, kepemilikan negara, maupun kepemilikan umum. Dengan sistem ini, ekonomi tidak akan dikuasai oleh segelintir orang atau oligarki, melainkan benar-benar dikelola untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Pertama, Kepemilikan dalam Islam: Rakyat Tidak Boleh Dirugikan. Islam membagi kepemilikan menjadi tiga kategori utama:
Kepemilikan individu: Harta yang diperoleh melalui usaha sendiri yang halal, seperti berdagang, bertani, atau bekerja. Berikutnya, Kepemilikan negara: Harta yang dikelola negara untuk kepentingan rakyat, seperti pajak dan zakat. Terakhir, Kepemilikan umum: Sumber daya alam seperti tambang, minyak, gas, dan hutan, yang tidak boleh dimonopoli oleh individu atau korporasi tertentu, tetapi harus dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat.

Dengan sistem ini, sumber daya alam seperti minerba dan sawit tidak boleh diserahkan kepada oligarki. Negara wajib mengelolanya secara langsung dan hasilnya harus didistribusikan kepada rakyat, baik dalam bentuk layanan publik, subsidi, atau pembangunan infrastruktur yang benar-benar bermanfaat.

Kedua, Pengelolaan Harta dalam Islam: Tidak untuk Spekulasi dan Riba. Islam melarang sistem ekonomi yang berbasis spekulasi, riba, dan ketidakjelasan (gharar). Dalam konteks Danantara, modal besar yang dipertaruhkan dalam investasi global mengandung unsur spekulasi yang tinggi. Jika investasi gagal, maka uang rakyat bisa hilang begitu saja. Hal ini bertentangan dengan prinsip Islam, yang menekankan bahwa modal negara harus dikelola dengan sistem yang jelas dan tidak boleh berisiko tinggi yang dapat merugikan rakyat.

Ketiga, Distribusi Kekayaan dalam Islam: Tidak Hanya untuk Segelintir Orang. Dalam kapitalisme negara, distribusi kekayaan cenderung timpang, di mana segelintir elite ekonomi mendapatkan keuntungan besar, sementara rakyat hanya menjadi penonton. Islam menentang sistem seperti ini. Dalam Islam, distribusi kekayaan harus merata, sehingga kesejahteraan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat, individu per individu, bukan hanya segelintir orang.

Salah satu mekanisme distribusi dalam Islam adalah zakat, yang memastikan bahwa harta tidak hanya berputar di kalangan orang kaya, tetapi juga dinikmati oleh seluruh masyarakat. Selain itu, Islam melarang praktik eksploitasi tenaga kerja dan sumber daya alam yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

Solusi Islam

Untuk menghindari jebakan oligarki dan kapitalisme negara, sistem Islam harus diterapkan secara menyeluruh, termasuk dalam aspek ekonomi dan politik. Sistem ini hanya dapat diwujudkan dalam Khilafah Islamiyah, yaitu sistem pemerintahan Islam yang berbasis syariah.

Dalam Khilafah, kebijakan ekonomi tidak akan dibuat untuk kepentingan oligarki, tetapi benar-benar untuk kesejahteraan rakyat. Beberapa prinsip utama yang akan diterapkan adalah: pertama, Negara mengelola sumber daya alam dan hasilnya untuk rakyat, bukan untuk korporasi atau oligarki. Kedua, Ekonomi berbasis produksi dan perdagangan yang halal, bukan spekulasi atau investasi berisiko tinggi. Ketiga, Distribusi kekayaan yang adil, sehingga tidak hanya menguntungkan segelintir orang. Keempat, Pemerintah bertanggung jawab langsung kepada rakyat, bukan kepada pemodal atau oligarki. Dengan sistem Islam, rakyat tidak akan menjadi korban eksploitasi ekonomi, melainkan akan mendapatkan kesejahteraan secara nyata.

Khatimah

Danantara adalah contoh nyata bagaimana kapitalisme negara digunakan untuk memperkaya oligarki dengan uang rakyat. Dengan dalih optimalisasi modal dan aset BUMN, skema ini pada akhirnya hanya menguntungkan elite ekonomi yang telah lama menguasai sektor strategis seperti minerba dan sawit. Jika investasi gagal, rakyatlah yang menanggung kerugian.

Islam menawarkan solusi yang lebih adil dan berkeadilan, di mana sumber daya alam dikelola untuk kemaslahatan rakyat dan ekonomi tidak dijalankan dengan spekulasi yang berisiko tinggi. Dengan penerapan sistem ekonomi Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah, kesejahteraan individu per individu dapat terwujud, tanpa adanya dominasi oligarki yang mengorbankan kepentingan rakyat. [WE/IK]

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 46

Comment here