Surat Pembaca

Bantuan PIP, Benarkah Sudah Merata?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Sari Ramadani, S.Pd (Aktivis Muslimah)

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah).

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Hadis di atas menjelaskan bahwa sebagai seorang muslim wajib hukumnya menuntut ilmu, dan kewajiban ini tidak dapat diwakilkan atau gugur ketika orang lain sudah melaksanakannya. Artinya, setiap individu dibebankan kewajiban untuk belajar (menuntut ilmu) selama ia hidup dan kewajiban ini akan terlaksana dengan baik ketika negara sebagai instrumen penyelenggara pendidikan memberikan dukungannya secara penuh. Lantas, sudahkah bantuan biaya pendidikan merata dan berkorelasi dengan kualitas pendidikan yang ada?

Nadiem Anwar Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) telah mengabarkan bahwa, hingga 23 November 2023 penyaluran bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) sudah mencapai 100% target, yaitu sudah diberikan disalurkan 18.109.119 penerima. Bantuan tersebut memakan anggaran sebesar Rp9,7 triliun setiap tahunnya. Bukan itu saja, pada tahun ini Kemendikbudristek menambah sasaran untuk jenjang SMA sebanyak 567.531 pelajar dan jenjang SMK sebanyak 99.104 pelajar. Penambahan ini bersamaan dengan peningkatan satuan bantuan yang semula Rp1.000.000 menjadi Rp1.800.000 untuk pelajar SMA dan SMK (news.republika.co.id, 26/01/2024).

Pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap warga negara, maka sudah seharusnya capaian bantuan dana pendidikan 100%. Namun sayangnya, yang dimaksud 100% adalah penyaluran dana yang dialokasikan, itu pun disalurkan secara bertahap, tetapi pada faktanya belum mencakup 100% jumlah anak didik yang ada. Kenyataan akses pendidikan hingga saat ini belum merata, begitu pun dengan kondisi sarana prasarana, baik kuantitas maupun kualitasnya. Sungguh, pendidikan di Indonesia masih banyak PR. Apalagi kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh ketersediaannya dana, tetapi juga kurikulum dan SDM pendidiknya.

Tidak berhenti di situ, angka putus sekolah juga menjadi permasalahan dalam dunia pendidikan. Sangat miris memang, ketika adanya kenaikan anggaran pendidikan dari tahun ke tahun, justru jumlah anak putus sekolah di Indonesia bertambah. Tidak dapat dimungkiri jika penyebab utama dari banyaknya anak-anak yang putus sekolah adalah alasan ekonomi. Entah itu tidak mampu membayar biaya sekolah, atau harus mencari nafkah. Tentu saja kemiskinan ini dapat memicu anak-anak menjadi putus sekolah, sebab mereka mau tidak mau harus membantu orang tuanya untuk mencari nafkah.

Pemerintah boleh saja berbangga dengan serapan 100% dana Program Indonesia Pintar, tetapi harus juga dilihat, bahwa selain jumlah nominalnya yang terbilang rendah serta meningkatnya angka putus sekolah dan kemiskinan. Jelas, adanya Program Indonesia Pintar ini seperti harapan semu. Nominalnya tidak sebanding dengan bantuan yang seharusnya dibutuhkan oleh masyarakat. Berdasarkan jumlahnya saja mustahil menyasar setiap individu anak Indonesia. Tidak heran, jika pemerataan kualitas pendidikan yang didengungkan pada akhirnya malah tidak sejalan dengan kualitas pendidikan yang diharapkan, bahkan nasib peserta didik itu sendiri.

Islam menjadikan pendidikan sebagai salah tanggung jawab negara dalam semua aspeknya, baik fisik, SDM maupun kurikulum dan hal terkait lainnya. Sebab, pendidikan adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi negara untuk seluruh warga negaranya tanpa terkecuali. Bahkan, Islam menjadikan pendidikan dapat diakses secara gratis oleh semua rakyatnya. Pendidikan dalam sistem Islam juga memiliki kurikulum terbaik, yaitu berdasar akidah Islam yang nantinya mampu mencetak generasi dengan kepribadian Islam, kuat imannya, berjiwa pemimpin dan terampil menguasai teknologi.

Wajar saja jika seluruh aspek di bidang pendidikan akan berbeda ketika dihadirkan sebagai bagian dari kebutuhan publik sehingga dari sini pendidikan tidak lagi dibebankan kepada setiap individu masyarakat. Berat memang jika kebutuhan publik harus dibiayai secara pribadi, maka penting sekali sebuah pendidikan seharusnya dibiayai oleh negara, yaitu sebagai bentuk penguasa dalam mengurus rakyatnya.

Sayangnya, sistem kapitalisme yang saat ini diterapkan di negeri ini berpandangan bahwa pendidikan adalah salah satu cara untuk meraup keuntungan, maka wajar saja jika pendidikan saat ini berorientasi pada materi sehingga fokusnya hanya mencetak lulusan pekerja. Jadi, bagaimana mungkin kualitas pendidikan akan tercapai jika tujuannya hanyalah materi. Lebih dari itu, mencetak generasi pemikir dan pemimpin adalah sebuah keharusan, tetapi sayangnya ini tidak akan terwujud dengan sistem yang salah. Maka, masihkah kita berharap pada sistem hari ini?

Wallahualam bissawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 26

Comment here