Opini

Badai Omicron, RI Siap Hadapi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Yosi E. Purwanti, S.E.

wacana-edukasi.com– Jakarta bakal jadi medan perang pertama menyambut puncak gelombang varian baru virus covid-19 yakni omicron.Pemerintah memprediksi puncak gelombang varian Omicron akan terjadi pada pertengahan Februari hingga awal Maret.

Merespons hal ini, Menteri Kesehatan (Menkes) mendorong agar setiap daerah meningkatkan kegiatan surveilans sehingga penemuan kasus bisa dilakukan sedini mungkin. Hal itu dilakukan agar tidak menjadi sumber penularan di tengah masyarakat.

Tak kalah pentingnya, Menkes menghimbau untuk tetap menjaga protokol kesehatan 5M seperti menggunakan masker, mengurangi mobilitas, menghindari kerumunan, menjaga jarak, mencuci tangan pakai sabun, serta aktif menggunakan aplikasi Pedulilindungi harus ditegakkan sebagai bagian penting pengendalian COVID-19.

Menkes pun menyebutkan vaksinasi booster juga akan menjadi fokus pemerintah. Untuk wilayah Jabodetabek vaksinasi booster akan dikebut mengingat tingginya potensi penularan di wilayah tersebut. Serta untuk meningkatkan dan mempertahankan kekebalan tubuh masyarakat dari ancaman penularan varian Omicron.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa kesiapan Indonesia dalam menghadapi Omicron ini sudah sangat terkendali tetapi tetap dengan kehati-hatian. Mulai dari vaksinasi hingga obat dan rumah sakit telah disiapkan. Semua yang dibutuhkan untuk itu telah disiapkan.

Lantas, mampukah mitigasi tersebut di laksanakan tanpa adanya integrasi dengan sektor lain seperti pariwisata dan impor warga negara asing? Di tengah-tengah kondisi badai covid-19 yang kian tak terkendali, pemerintah dengan pasti membuka keran-keran warga negara asing untuk masuk ke Indonesia. Pun dengan dalih meningkatkan perekonomian akibat pandemi, pemerintah rela membuka tempat-tempat wisata meskipun tau bahwa tetap rakyatlah yang akan menjadi korban.

Tidak kalah penting bahwa pemerintah tetap memberikan ijin perjalanan ke luar negeri. Tentunya dengan resiko penularan yang lebih besar dan potensi membawa varian baru lebih tinggi.

Jika hanya mengandalkan sektor kesehatan semata tanpa di barengi oleh dukungan sektor yang lain, tentunya bisa jadi penanganan varian emicron akan karut-marut seperti penanganan varian delta sebelumnya.

Masih dengan Motif Ekonomi

Kesiapan pemerintah dalam mengatasi serangan badai covid-19 yang berfokus pada kesiapan faskes maupun naskes nampaknya masih dengan motif yang sama dengan sebelumnya, yakni motif ekonomi.

Mencoba menilik kembali pada tahun kedua pandemi Covid-19, masyarakat masih saja disuguhkan dengan drama tes PCR berbayar, hingga hadirnya pemain gelap pembuat surat keterangan tes usap palsu. Belum lagi bisnis karantina yang juga ramai, serta keterangan vaksinasi palsu bagi mereka yang fobia dengan vaksinasi. Kasus-kasus ini adalah sinyal mengenai buruknya penanganan wabah.

Pengamat hubungan Internasional Hasbi Aswar S.I.P., M.A., Ph.D. menanggapi bahwa Ada fenomena baru, yaitu adanya nasionalisme vaksin, yaitu kecenderungan negara-negara maju, yakni negara produsen vaksin yang menumpuk vaksin untuk mereka sendiri. Bukan hanya untuk kepentingan warga negara mereka, tetapi juga untuk kepentingan bisnis. secara global muncul isu yang sangat krusial, yaitu adanya disparitas vaksin dimana tidak semua negara mendapatkan vaksin yang cukup, padahal mereka sudah sangat membutuhkan.

Nasionalisme vaksin yang motif utamanya juga untuk kepentingan bisnis, ditunjukkan melalui data UNICEF bahwa 15 negara-negara anggota G20 yang didominasi oleh negara maju 15 kali lipat ketersediaan vaksinnya dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk Afrika, yang sampai hari ini sangat rendah vaksinasinya. Pun hanya 8% di negara-negara low income yang sudah divaksinasi. Sebut saja di negara-negara Afrika, seperti Yaman, Sudan, Tanzania, Aljazair dan seterusnya. Hal ini akibat kuatnya nasionalisme vaksin yang bukan hanya untuk kepentingan domestik, tetapi juga untuk bisnis.

Demikian juga dengan tetap di bukanya penerbangan keluar-masuk Indonesia serta sektor pariwisata tidak lain hanyalah untuk alasan ekonomi. Pemerintah lebih memilih mengorbankan rakyat berjibaku dengan virus dari pada menunjang kebutuhan pangan dengan kebijakan karantina wilayah.

Jika negara ini masih setia dengan sistem kapitalis, tentunya watak “berjualan” masih tetap melekat kepada para pengembannya. Berapa lama lagikah kita harus memenuhi keserakahan para kapital? Akankah kita berpaling jika Islam menawarkan solusi solutif?

Islam, Solusi Solutif

Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Mampu memberikan solusi atas setiap permasalahan. Tidak terkecuali masalah kesehatan khususnya covid-19 yang hampir 3 tahun ini menginveksi dunia.

Rasulullah SAW bersabda, “janganlah unta yang sehat dicampur dengan unta yang sakit.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadist ini diketahui bahwa Rasulullah memerintah untuk memisahkan antara orang yang sehat dengan orang yang sakit. Pun pada masa Kekhilafahan Islam di contohkan mengenai karantina wilayah.

Sebagaimana hadist nabi SAW, “Maka, apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri janganlah kamu masuk ke negeri itu. Apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada  jangan pula kamu lari darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid)

Hal itu pula yang dilakukan oleh khalifah umar ketika terjadi wabah penyakit di wilayah syam. Demikianlah upaya preventif yang di tawarkan oleh Islam untuk mencegah meluasnya wabah penyebaran suatu penyakit.

Hal ini dijelaskan dalam hadis,“Aku pernah berada di samping Rasulullah saw., lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya,’Wahai, Rasulullah, bolehkah kami berobat?’ Beliau menjawab, ‘Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab, Allah tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.’ Mereka bertanya, ‘Penyakit apa itu?’ Beliau menjawab, ‘Penyakit tua.” (HR Ahmad, Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi).

Dari ini jelas bahwa Rasul memerintahkan kita untuk berobat agar terbebas dari suatu penyakit. Upaya pengobatan ini tentunya membutuhkan peran para ahli.

Dalam khilafah, penguasa akan memotivasi para ahli untuk memaksimalkan riset dan membiayai riset tersebut sebagai bagian dari tugas penguasa dalam memberikan pelayanan kepada rakyat. Sehingga hanya khilafahlah satu-satunya sistem yang mampu mensejahterahkan manusia. Wallahu a’laam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 9

Comment here