Opini

Pengangguran dan Badai PHK Mengintai, Negara Jangan Abai

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Umul Istiqomah

Wacana-edukasi.com, OPINI--Masalah ekonomi dianggap menjadi pangkal dari munculnya segala permasalahan yang ada. Mulai dari pengangguran, kemiskinan, kesenjangan pendapatan, juga inflasi hingga muncul masalah turunannya seperti pinjol, judol bahkan bunuh diri. Namun, hingga saat ini belum ada solusi yang menuntaskan masalah ekonomi dan turunannya tadi.

Seperti diberitakan beberapa waktu lalu, saat ini para tenaga kerja lulusan pendidikan tinggi seperti diploma dan sarjana kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka karena minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia bagi lulusan sarjana di sektor formal, akhirnya mereka terpaksa banting setir menjadi ART, pengasuh anak, sopir, bahkan pramukantor (office boy). Selain itu, badai PHK yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir pun membuat para lulusan pendidikan tinggi ini memilih untuk bekerja di bidang apa pun demi bertahan hidup (BBC.com, 30/04/2025).

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Pada 2014, jumlah penganggur yang bergelar sarjana di Indonesia tercatat sebanyak 495.143 orang. Angka ini mengalami kenaikan drastis menjadi 981.203 orang pada 2020 akibat pandemi, dan meski sempat turun menjadi 842.378 orang di 2024, jumlah tersebut tetap tergolong masih tinggi (CNBC Indonesia, 01/05/2025).

Dulu gelar sarjana adalah jaminan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, karier yang gemilang, dan pintu menuju masa depan yang cerah. Namun, hari ini tidak ada bedanya antara yang berpendidikan tinggi dengan lulusan lainnya, semua bersaing ketat karena jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan angkatan kerja lebih cepat dibandingkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, output pendidikan di negeri ini bertujuan untuk mencetak generasi yang bermental pekerja bukan sebagai pemimpin yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru. Sehingga sulit rasanya untuk mendapatkan kesempatan berkarier sukses sekalipun sudah bergelar ‘sarjana’.

Selain itu pemerintah pun masih santai menyikapi label ‘juara pengangguran’ yang di sematkan untuk Indonesia sebagai nomor satu tertinggi se-Asia Tenggara pada 2024 lalu menurut data IMF, alih-alih mencari solusi strategis, pemerintah justru masih saja mengklaim bahwa perekonomian negeri ini dalam kondisi baik-baik saja. Padahal selain pengangguran, PHK massal pun terus menghantui mereka yang sudah mendapat pekerjaan, apalagi bagi para pekerja kontrak, tidak ada jaminan bagi mereka untuk tetap bekerja dan hidup sejahtera.

Menurut pemerintah, ada dua tantangan utama dalam masalah pengangguran di Indonesia yakni pekerja industri yang tergantikan oleh mesin dan kemampuan warga bergerak mencari kerja. Tidak di mungkiri dua hal tersebut menjadi faktor penyebab pengangguran yang terjadi, namun akar masalah sebenarnya adalah pada penerapan sistem kapitalisme saat ini, di mana kapitalisme memberikan kebebasan bagi swasta untuk mengelola SDA atas nama investasi, sehingga negara tidak bisa menjadi pengendali industrialisasi utama yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru. Belum lagi, tenaga kerja asing yang dengan mudahnya masuk dan tidak bisa dihentikan oleh pemerintah. Padahal, ketika swasta dibebaskan untuk mengelola SDA, maka yang mereka kejar adalah profit yang tinggi otomatis yang dilakukan adalah menekan biaya produksi salah satunya yakni tenaga kerja yang dalam sistem kapitalisme dianggap sebagai faktor produksi yang bisa ditekan seminimal mungkin.

Mirisnya lagi, kapitalisme lebih banyak membuka lowongan pekerjaan untuk para wanita, karena dianggap lebih terampil dan tidak banyak menentang. Sehingga, kondisinya menjadi terbalik, perempuan yang seharusnya memiliki peran Ummu madrasatul ula dan Ummun wa rabbatul bait malah menjadi pencari nafkah, yang merupakan kewajiban seorang laki-laki, sehingga tidak salah jika generasi saat ini rusak karena tugas seorang ibu untuk mendidik generasi tidak lagi dijalankan sesuai fitrahnya. Sekali lagi, semua ini adalah bentukan dari sistem yang diterapkan saat ini, sehingga tingginya angka pengangguran tidak lagi terhindarkan.

Selain itu dalam sistem kapitalisme, uang dianggap sebagai komoditas yang bisa mendatangkan keuntungan, sehingga banyak aktivitas non riil dalam sistem ekonomi ini seperti asuransi, bursa efek, perbankan sistem ribawi, yang semuanya hanya mendatangkan keuntungan bagi pemilik modal saja. Aktivitas non riil juga tidak bisa menciptakan lapangan pekerjaan secara nyata. Padahal, sektor ekonomi seperti pertanian, perikanan, dan industri berat berpotensi menyerap banyak tenaga kerja namun kini dipandang sebelah mata karena pemerintah lebih fokus pada sektor non riil.

Di dalam Islam, kewajiban bekerja dan mencari nafkah di bebankan pada seorang laki-laki dewasa yang sehat dan mampu. Artinya, negara harus mampu memfasilitasi mereka dengan menyediakan lapangan pekerjaan baik berupa modal usaha maupun sarana prasarana yang dibutuhkan. Selain itu, melalui sistem pendidikan yang berbasis Islam, negara harus membekali rakyat dengan ilmu juga keahlian yang mumpuni agar dapat bersaing di dunia kerja. Tentunya, untuk mewujudkan hal ini, diperlukan peran negara sebagai raa’in atau pengurus rakyat.

Negara sebagai raa’in akan mengurus kesejahteraan rakyatnya dan menerapkan sistem ekonomi berbasis Islam di mana lapangan pekerjaan akan terbuka lebar karena pasalnya, negara akan memiliki berbagai sektor yang bisa menyerap tenaga kerja, terutama dalam aktivitas ekonomi riil seperti pertanian, industri, perdagangan dan jasa. Berkembangnya sektor ini tentunya membutuhkan tenaga terdidik dan terampil. Selain itu, sistem ekonomi Islam memiliki aturan kepemilikan yang khas terkait pengelolaan SDA yang dimiliki sebuah negara di mana seluruh SDA (Sumber Daya Alam) wajib dikelola oleh negara, dan haram untuk dikelola atau dimiliki swasta apalagi asing. Aturan ini menjadikan negara memiliki pendapatan yang berlimpah sehingga tidak perlu bergantung pada utang atau investasi. Selain itu, pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara akan membuat peluang lapangan pekerjaan terbuka secara lebar karna untuk mengelolanya membutuhkan tenaga ahli dan terdidik dalam jumlah besar. Beginilah, salah satu gambaran jika sistem ekonomi Islam diterapkan. Satu persatu permasalahan akan terurai karena menjadikan Islam sebagai solusi adalah langkah paling strategis dalam menjalankan kehidupan ini. [WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 0

Comment here