Opini

Kasus Bom Bunuh Diri, Menuju Tingkatan Deradikalisasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Ummi Nissa

(Penulis dan Member Komunitas Muslimah Rindu Surga)

wacana-edukasi.com, OPINI– Beberapa waktu lalu publik kembali dikejutkan dengan aksi bom bunuh diri. Peristiwa ini terjadi pada Rabu, 7 Desember 2022, sekitar pukul 08.30 di Kantor Polsek Astanaanyar Kota Bandung, Jawa Barat. Kejadian ini setidaknya menewaskan satu orang polisi dan pelaku peledakan bom itu sendiri, sementara 10 orang mengalami luka-luka.
Tidak butuh waktu yang lama bagi pihak kepolisian untuk mengantongi identitas pelaku. Ia bernama Agus Sujatno (34) yang diduga masuk jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Pelaku berasal dari Batununggal, Kota Bandung. Meski begitu ia menetap di Sukoharjo, Jawa Tengah. Sebelumnya, Agus juga pernah ditangkap karena terlibat dalam peristiwa bom panci di Cicendo, Kota Bandung pada 2017. Ia kemudian menjalani masa tahanan selama empat tahun di Lapas Nusakambangan dan bebas pada Oktober 2021. (republika.co.id, 9/12/ 2022)

Terkait hal ini, Wapres Ma’ruf Amin meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar kembali mengefektifkan Tim Penanggulangan Terorisme (TPT) yang telah dibentuk sebelumnya. Wapres menegaskan, MUI dapat melakukan langkah-langkah untuk mengurangi benih-benih terorisme dari hulu dengan pendekatan keagamaan melalui TPT ini. (republika.co.id, 10 /12/2022)

Deradikalisasi Kembali Ditingkatkan

Kasus bom bunuh diri di Bandung menjadi pemantik peningkatan deradikalisasi. Terlebih adanya dugaan sebanyak 10% narapidana teroris kembali melakukan atau mendukung aksi kekerasan. Salah satu penyebabnya, pemerintah dinilai tidak memiliki mekanisme untuk memaksa narapidana teroris mengikuti program deradikalisasi selama di penjara atau setelah mereka bebas. Selain itu keterbatasan sumber daya juga menghambat pengawasan secara seksama terhadap mantan teroris yang telah kembali ke masyarakat. Hal ini diungkap berdasarkan temuan sebuah lembaga independen yang terlibat dalam penanganan masalah terorisme. (bbc.com, 8/12/2022)

Komitmen peningkatan deradikalisasi juga semakin menguat seiring disahkannya RKUHP beberapa waktu lalu. Dengan adanya Pasal 191 RKUHP yang menyatakan makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan, dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut. Di samping itu juga, cakupan makar setidaknya ada tiga jenis yakni makar terhadap Presiden, makar terhadap NKRI, dan makar terhadap pemerintah yang sah. Hal demikian semakin menyederhanakan definisi makar. Akibatnya seseorang akan semakin mudah memidanakan orang lain.

Dengan demikian pentingkah program deradikalisasi ditingkatkan? Sesungguhnya siapa yang diuntungkan di balik gencarnya upaya program ini?

Deradikalisme Program Barat untuk Menyerang Islam

Isu radikalisme dan upaya deradikalisasi bukanlah hal baru. Istilah deradikalisasi merupakan lawan dari radikalisasi yang selama ini dianggap sebagai biang munculnya aksi-aksi kekerasan (terorisme). Makanya peristiwa ledakan bom bunuh diri di Kantor Polsek Karanganyar, Kota Bandung menjadi momentum peningkatan program tersebut.

Peristiwa itu seolah menjadi pembenaran terhadap merebaknya paham terorisme dilakukan oleh umat Islam. Padahal belum ada proses penyelidikan lebih lanjut, apa motif di balik aksinya tersebut. Pelaku bom bunuh diri pun langsung dilabeli teroris. Bahkan berbagai kasus kekerasan sering kali pelakunya langsung dihukumi tanpa proses peradilan seperti tembak di tempat. Sehingga kesamaan di depan hukum seperti asas praduga tak bersalah seakan-akan tak berlaku bagi terduga terorisme.

Dengan demikian tanpa ada pembelaan dan penyelidikan aksi kekerasan dilekatkan kepada Islam dengan stigma terorisme atau radikalisme. Hal inilah yang memicu pemerintah meningkatkan program deradikalisasi. Padahal program ini pada hakikatnya menjauhkan kaum muslimin dari pemahaman Islam sempurna. Sebab dalam program ini umat Islam dipaksa untuk moderat, menyesuaikan pemahaman Islam sesuai arahan Barat. Sehingga upaya penerapan aturan Islam melalui institusi negara dinilai sebagai radikalisme. Selain itu Islam dimonsterisasi sebagai paham yang membahayakan, pada akhirnya melahirkan islamophobia (ketakutan terhadap Islam).

Di samping itu upaya peningkatan deradikalisasi juga menjadikan negara lebih represif terhadap rakyat. Sebaliknya negara makin taat pada komitmen global. Sebab isu perang melawan terorisme atau radikalisme sejatinya merupakan upaya Barat untuk menyerang Islam.

Sesungguhnya narasi perang melawan terorisme yang dilancarkan Barat, dalam hal ini AS sebagai pengusung ideologi Kapitalisme sekuler adalah menyasar kaum muslimin. Hanya saja objek sasarannya terbatas hanya kepada pelaku aksi kekerasan. Oleh karenanya istilah terorisme kini bergeser menjadi radikalisme.

Dengan istilah radikalisme, Barat dapat menyasar kaum muslimin lebih luas lagi. Tidak terbatas kepada pelaku kekerasan, tetapi juga kepada pengusung pemikiran dan politik yang bertentangan dengan ideologi Barat. Sehingga tidak heran, jika umat Islam yang memiliki pemikiran Islam kafah, serta berjuang untuk menerapkan khilafah tidak luput dari stigma radikal.

Pejuang Islam kafah yang menginginkan penerapan syariat Islam tentunya akan melahirkan kebangkitan Islam. Hal inilah yang ditakuti oleh Barat, sebagai penguasa sistem Kapitalisme sekuler saat ini. Oleh karenanya program deradikalisasi gencar dihembuskan ke berbagai negeri muslim. Hal tersebut tentunya untuk mempertahankan cengkeraman Barat di wilayah kaum muslimin. Sehingga dapat melemahkan umat Islam dan menghambat munculnya Islam sebagai peradaban dunia.

Tidak ada Kemuliaan Tanpa Syariat Islam

Untuk menghalau upaya Barat dalam melemahkan kaum muslimin tentu dibutuhkan kesadaran yang benar dan utuh terhadap Islam. Umat harus menyadari bahwa Islam merupakan agama yang sempurna. Ia memiliki landasan akidah yang kokoh yakni keimanan kepada Allah Swt.. Dia-lah Zat yang membuat aturan secara mendetail dan menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan (syariat Islam) yang akan menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.
Umat Islam diperintahkan untuk melaksanakan syariatnya secara kafah (menyeluruh) sebagaimana firman Allah Swt:

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam secara kafah, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 208)

Selain itu Islam juga merupakan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) saat aturannya diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Sebagaimana tampak pada masa Rasulullah saw. saat menerapkan aturan Islam di kota Madinah. Penduduknya saat itu beragam, di antara mereka ada Yahudi, Nasrani, dan Islam. Namun aturan Islam yang diterapkan dapat memberi keadilan hingga dirasakan oleh muslim maupun non-muslim.

Dalam masalah keyakinan, masyarakat non-muslim diberi kebebasan untuk menjalankan ibadahnya. Tetapi dalam masalah selainnya seperti jaminan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan), sosial dan sanksi diberlakukan aturan yang sama. Sehingga masyarakat muslim maupun non-muslim dapat hidup berdampingan secara damai.

Penerapan syariat Islam terus berlangsung meski Rasulullah saw. wafat. Umat Islam hidup di bawah panji aturan Islam tidak kurang dari 13 abad lamanya. Meskipun berganti kepemimpinan, tetapi syariat Islam tetap diterapkan. Kekuasaan kaum muslimin terus berkembang sampai hampir dua pertiga belahan dunia tunduk di bawah aturan Islam. Namun Barat tidak pernah lelah untuk menyerang Islam. Sampai akhirnya mereka berhasil menghancurkan kehidupan kaum muslimin dengan menggantikan aturan Islam menjadi sistem Sekuler sampai saat ini.

Maka tidak heran bila hari ini syariat Islam telah banyak ditinggalkan dan beralih mengikuti aturan Kapitalisme sekuler. Sebab negeri-negeri kaum muslimin telah berada dalam arahan Barat. Bahkan Islam kafah dianggap sebagai pemahaman asing yang membahayakan dan dicap sebagai radikal.

Oleh sebab itu perlu upaya untuk mengembalikan kesadaran umat Islam terhadap agamanya secara utuh. Tidak ada jalan lain untuk menumbuhkan kesadaran kaum muslimin terhadap hal ini, kecuali dengan dakwah (amar makruf nahi mungkar). Umat wajib menyampaikan kebenaran Islam sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunah.

Adapun aktivitas dakwah yang dianjurkan juga harus sejalan dengan tuntunan Islam Sebagaimana firman Allah Swt.: “Serulah manusia ke jalan Rabbmu dengan cara yang hikmah dan pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”(QS. An-Nahl: 125)

Dari ayat tersebut seorang muslim dianjurkan untuk mendakwahkan Islam dengan cara yang santun dan damai. Jika di antara kaum muslimin ada yang menyampaikan Islam dengan cara teror maka hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam. Berdakwah dengan kekerasan, terlebih di wilayah yang tidak ada konflik peperangan seperti di Indonesia tentu bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Namun demikian, bukan berarti umat Islam harus menjadi muslim yang moderat sebagaimana kehendak Barat dalam program deradikalisasi. Sebab kemuliaan dan keagungan Syariat Islam hanya akan tampak ketika diterapkan dalam kehidupan melalui institusi sebuah negara. Sehingga dibutuhkan upaya dan perjuangan yang konsisten dalam mewujudkannya.

Wallahu a’lam bish shawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 6

Comment here