Opini

E-Sertifikat Tanah, Bukan Akar Masalah Agraria Negeri Ini

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari (Aktivis Generasi Peradaban Islam)

Wacana-edukasi.com, OPINI– Sengketa lahan di negeri ini masih menjadi polemik yang tiada habisnya. Seolah mustahil dapat terselesaikan, berbagai berita konflik agraria menjadikan para petani, kaum adat dan masyarakat secara umum yang paling dan selalu dirugikan. Konflik ini bagai memendam bara api, hanya tinggal menunggu waktu amarah rakyat akan memuncak jika tidak ada penyelesaian tuntas yang memberikan keadilan bagi setiap rakyat.

Sudah sejak dua tahun yang lalu, akhirnya pemerintah mengambil langkah perencanaan untuk membuat sertifikat tanah elektronik (e-sertifikat). Langkah ini diklaim dapat menekan polemik sengketa lahan yang terus berulang. Digitalisasi sertifikat ini telah tertuang dalam Permen ATR (Agraria dan Tataruang)/Kepala BPN (Badan Pertahanan Nasional) No.1 tahun 2021.  Namun di sisi lain, muncul keraguan dari masyarakat adanya potensi data sertifikat elektronik diretas dan disalahgunakan serta berpindah kepemilikan.

Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto merespon, “Memang semua itu (diretas) kemungkinan ada, tapi untuk sistem yang kami bangun, blockdata menuju ke blockchain, untuk meretas harus melewati beberapa barrier, beberapa pagar,” jelasnya saat ditemui di Kuliah Umum Taruna dan Taruni Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), di Pendopo STPN, Sleman, pada Kamis (07/12/2023).

Tapi realitanya, dengan kecanggihan teknologi yang semakin berkembang saat ini tidak didukung dengan sistem kebijakan dan keamanan yang baik sehingga timbul banyak permasalahan baru.

BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) menyebutkan bahwa ada serangkaian penyebab situs pemerintah yang menjadi target peretasan. Mulai dari kerentanan aplikasi generik, parameter keamanan yang tidak memadai, kurang maintenance/perbaikan, hingga aplikasi yang tidak update.

Tapi negara tetap dengan pendiriannya dan menyatakan bahwa akses kemudahan pun diberikan bagi pemilik tanah untuk mendapatkan informasi data (e-sertifikat tanah) secara real time di aplikasi Sentuh Tanah yang telah dibuat. Selain itu untuk meyakinkan masyarakat, sertifikat tanah elektronik ini diterbitkan menggunakan “secure document” dan disahkan dengan tanda tangan elektronik.

Persoalannya, bukankah masih banyak masalah mendasar yang lebih urgen untuk diselesaikan terkait tanah, yakni konflik lahan yang semakin masif terjadi di berbagai wilayah? Hingga tidak jarang rakyat lagi yang menanggung resiko dan menjadi korban. Ditambah persoalan website negara yang ternyata memikili banyak celah keamanan sehingga relatif mudah untuk diretas.

Dari berbagai permasalahan di atas, pemerintah terkesan tidak menjadikan keresahan konflik agraria menjadi perhatian utama. Ada apa sebetulnya dibalik pengadaan aplikasi sertifikat elektronik tanah? Apakah memang betul-betul untuk keamanan dan keadlian yang diharapkan rakyat negeri ini?

Prioritas Utama Sengketa Lahan Bukan Pendataan

Sulit untuk tidak suudzhon (berburuk sangka), rasa percaya terhadap setiap kebijakan ataupun rencana yang dilakukan pemerintah untuk kepentingan rakyat mulai luntur. Sebab berbagai kebijakan yang dikeluarkan justru memancing perdebatan dan seringkali selalu tidak menyentuh akar masalah.

Di tahun 2021 lalu, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (LKBH FH UII) menyelenggarakan webinar “Undang-Undang Cipta Kerja dalam Lingkaran Konflik Agraria dan Lingkungan”.

Dalam webinar Julisan Dwi Prasetia, S.H., M.H. (Kadiv Advokasi LBH Yogyakarta) merinci setidaknya ada 3 hal sebab konflik agraria dan pertanahan di Indonesia, yaitu: adanya pengembangan industri oleh pemerintah, adanya pemberian hak guna usaha kepada korporasi yang berhadapan dengan masyarakat, dan adanya sengketa lahan perhutanan yang dimiliki oleh perhutani yang berhadapan dengan masyarakat sekitar.

Dampak dari penerapan kebijakan UU Omnibus Law 3 tahun lalu, nampak semakin memudahkan para pemodal untuk menggunakan lahan-lahan di negeri ini. Apakah ini yang dikatakan berpihak pada rakyat? Alih-alih untuk kepentingan umum, negara hanya menjadi instrumen bagi para pemodal dalam konsep pembangunan.

Berdasarkan Omnimbus Law UU Ciptaker terkait pengaturan pertanahan membahas soal Bank Tanah. Pemerintah mengklaim Bank Tanah yakni sebagai penghimpun dan pengembangan database tanah, administrasi dan penyedia informasi pertahanan diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, & konsolidasi lahan serta reforma agraria.

Ditambah lagi adanya PSN (Proyek Strategis Nasional) yang di mulai sejak 2016 untuk mengatasi defisit infrastruktur dan penurunan investasi pasca krisis global. Namun, sampai hari ini banyak PSN yang belum mencapai target penyelesaiannya. Misalnya di DKI Jakarta saja hasil evaluasi per Januari 2023, ada 27 Proyek Strategis Nasional yang nilai investasinya mencapai Rp 313 Triliun masih belum tuntas.

Melansir SindoNews, di 20 Januari 2023, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto selaku Ketua Komite Percepatan Pembangunan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) mengatakan, 14 proyek yang masih dalam tahap penyiapan dan transaksi, yakni di antaranya :

9 Cluster proyek senilai Rp256 triliun yakni MRT North South Line Fase 2, MRT East West, LRT Velodrome – Manggarai, Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik, Sistem Pengolahan Air Minum Regional Jatiluhur I, 6 ruas jalan tol DKI, Jalan tol Akses New Priok Eastern Access (NPEA), Jakarta Sewerage System, dan Tanggul Pantai.

Tentu PSN (Proyek Strategis Nasional) ini terdengar bagus, tapi di sisi lain pasti ada sebagian pemukiman rakyat yang akan tergusur untuk kepentingan PSN ini. Lalu, benarkah PSN ini untuk kepentingan rakyat? Rakyat yang mana? Melihat kondisi urgenitas yang diperlukan rakyat hari ini  faktanya bukan sekedar melesatnya infrastruktur, tapi justru kebutuhan dasar hidup. Hal ini dibuktikan dengan sangat tingginya angka kemiskinan negeri ini.

Kemudian dengan dibuat kebijakan pembuatan sertifikat elektronik tanah yang seolah menjadi jawaban atas permasalahan sengketa lahan imbas PSN, bukankah konflik yang terjadi tidak hanya dengan pihak swasta dan justru sering terjadi dengan pihak pemerintah sendiri atas nama pembangunan?

Konflik agraria terbaru yang kembali mencuat terjadi di antara warga Rumpin Bogor dan TNI AU dalam hal ini Lanud Atang Sanjaya atau ATS. Pemilik tanah selaku ahli warisnya menuntut Proyek pembangunan UII (Universitas Islam Internasional Indonesia) yang dibangun di Sukmajaya, Depok, untuk memberikan ganti rugi.

Dikutip dari media Tempo, pihak ahli waris dianggap oleh Kementerian Agama dan UIII tidak menguasai fisik tanah tersebut. Padahal sebaliknya menurut Ketua LSM Koalisi Rakyat Anti Mafia Tanah (KRAMaT), ahli waris tidak bisa menguasai lahan sebab memang dilarang untuk menguasai tanah miliknya sendiri. Maka muncul kekhawatiran akan adanya konflik agraria yang terjadi di Rumpin Bogor bisa seperti konflik lahan yang ada di Rempang.

Kerusakan Sistemik

Realitanya, sistem hari ini yakni kapitalisme-sekular menjadikan semua regulasi kebijakan mendukung adanya pengalihfungsian lahan oleh negara atas nama investasi dan atau kepentingan para elit kapitalis. Semakin nampak setiap kebijakan lebih condong untuk kepentingan para pemilik modal, bukan masyarakat secara umum.

Akhirnya berbagai kekisruhan ini membuat rakyat bingung harus mengadu kemana lagi, sebab di saat yang sama UU yang disahkan faktanya tidak memihak pada rakyat.

Apalagi ditambah adanya momen pemilu yang akan dilaksanakan bulan Februari tahun 2024, sangat lumrah setiap pergantian pemimpin akan pula terjadi pergantian kebijakan. Realita ini menjadi indikasi kuat bahwa kebijakan yang dibuat di setiap rezim hanya untuk kepentingan oligarki yang berkuasa sebagai timbal balik biaya demokrasi yang amat sangat mahal.

Sudah menjadi rahasia umum, dalam perkembangan Digitalisasi, dengan kondisi keamanan digital Indonesia yang masih lemah, maka tidak mudah melaksanakan untuk menjaga keamanan e-sertifikat tanah. Yang terjadi justru akan muncul berbagai persoalan dan konflik baru yang ujungnya mudah ditebak lagi-lagi rakyat yang menjadi korban.

Negara Menjadi Pengayom Rakyat bukan Korporat

Faktanya solusi dari pengadaan eletronik sertifikat tanah tidak bisa menjadi solusi kongkrit atas konflik agraria yang sudah rusak secara sistemik. Diibaratkan setiap kebijakan yang diterapkan seperti bara dalam sekam. Cepat atau lambat polemik agraria akan mempengaruhi perekonomian serta kehidupan seluruh rakyat jika terus berlarut-larut dan tak diberikan solusi tuntas.

Maka penting disadari bahwa digitalisasi sertifikat tanah bukan persoalan utama masalah agraria negeri ini, melainkan proses akhir yang bisa dikerjakan dengan adanya jaminan kejelasan dan kekuatan hukum kepemilikan lahan rakyat secara jelas. Adapun strategi keamanan digitalisasi sertifikat bisa dikatakan mustahil menjadi solusi kekacauan agraria jika sistem negeri ini masih mengadopsi kapitalisme yang “mentuhankan” modal/kapital sebagai tolak ukur utama kemajuan.

Dalam konsep sistem kapitalisme, pelaksanaan wewenang memiliki banyak celah untuk diselewengkan. Sebab minim pengawasan serta efek jera bagi para pengkhianat amanah atas hukuman saat tetangkap tangan. Semisal mudahnya barang bukti, cctv disabotase. Belum lagi hukuman /sanksi pidana yang ringan.

Maka diperlukan sistem yang menjadikan manusia siapapun dan apapun jabatannya memiliki dorongan kesadaran akan adanya hari pertanggung jawaban. Diperlukan pula sanksi yang tegas agar dapat memberikan efek jera hingga menutup celah penyelewengan kekuasaan.

Di sinilah, kembali ke pengaturan sang pencipta manusia yakni sistem Islam menjadi logis dan wajib adanya. Sistem yang memiliki aturan yang sangat jelas dan akan mewajibkan negara sebagai penjaga kepemilikan individu, kepemilikan umum dan negara secara mendetail sehingga mampu menutup celah tindakan pengambilan lahan yang tidak sesuai ketentuan syariah.

Suasana keimanan dibangun, sanksi tegas ditegakkan. Sebagaimana Hadist Nabi Saw. yang telah memberikan peringatan pada para mafia atau perebut lahan.

“Tidaklah salah seorang dari kamu mengambil sejengkal tanah tanpa hak, melainkan Allah akan menghimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat kelak,” (HR Muslim).

Dalam sejarah, di masa Khalifah Umar bin Khattab, ketegasan seorang pemimpin negara itu ditunjukkan. Sekalipun rakyat sebagai pemilik lahan beragama yahudi, peringatan tegas terhadap aparatur negara yang sewenang-wenang telah ditegakkan. Sampai kemudian kakek yahudi itu takjub dan akhirnya memeluk Islam.

Betapa sistem Islam tidak hanya menjaga jiwa, harta dan kehormatan kaum muslimin tapi juga termasuk ahlu zimmi (orang selain agama Islam) yang mereka tinggal di wilayah kekuasaan sistem Islam.

Hari ini, kisah seperti masa Umar belum bisa dirasakan tapi bukan berarti mustahil. Kondisi bisa dirubah ketika rakyatnya menginginkan perubahan tidak hanya persoalan teknis tapi sampai ke persoalan mendasar. Bukan fokus mengganti sosok pemimpin tapi fokus utama mengganti sebuah sistem saat ini dengan sistem yang memanusiakan manusia, tidak lain sistem yang bersumber dari sang pencipta kehidupan.

Maka, pengakuan hak milik lahan selayaknya tidak semata-mata hanya dengan memperbaiki sistem sertifikasi lahan, tapi jauh lebih penting adalah bagaimana memperbaiki pola fikir mendasar baik para pemegang jabatan serta rakyat negeri ini secara umum baik dari kalangan konglomerat hingga rakyat jelata bagaimana memandang kehidupan dan tujuan hidup. Dengan demikian ketidakadilan akan dapat teratasi karena setiap komponen bangsa ini memahami bahwa segala perbuatannya pasti dipertanggungjawabkan di kehidupan abadi kelak.

Aparat yang beriman, tidak akan menyalahgunakan kekuasaannya untuk merebut lahan rakyat dengan dalih milik negara, tidak pula menyalahgunakan wewenangnya untuk mengakali aturan/kebijakan. Maka tidak ada sistem yang mampu mewujudkan itu semua kecuali sistem Islam. Tidak cukupkah catatan sejarah 14 abad lamanya bagaimana sistem Islam mampu secara gemilang mengantarkan peradaban manusia mencapai keemasannya?

Sungguh tepat nasehat shahabat Umar ibnul Khathab ketika beliau menjadi Khalifah umat ini:

“Sungguh kita pernah terhinakan hingga Allah memuliakan kita dengan Islam. Jika kita mencari kemuliaan selain Islam maka Allah akan menghinakan kita kembali”.

Wallahu’alam bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 11

Comment here