Oleh: Risna Ummu Zoya (Aktivis Muslimah Kalsel)
Wacana-edukasi.com, OPINI–Pada zaman dahulu hingga sekarang perempuan selalu menjadi pembicaraan yang unik bagi siapa saja. Apalagi kemampuan dan pengaruhnya di berbagai sektor. Di rumahnya mereka bisa aktif sebagai pendidik generasi, di luar mereka juga mampu berkarya di berbagai bidang. Sehingga perempuan selalu menjadi sorotan bahkan pemerintah sendiri sering memberikan program khusus perempuan.
Seperti Pemerintah Kota Banjarbaru melaksanakan sebuah program dengan membuka kembali Sekolah Pemberdayaan Perempuan melalui pelatihan keterampilan Life Skill Massage dan Bekam untuk Batch I dan II. Pejabat Sekretaris Daerah Kota Banjarbaru yang telah membuka acara tersebut pada hari Sabtu (3/5/2025) di Aula Gawi Sabarataan. Tujuan program tersebut ialah memberikan pelatihan keterampilan praktis yang dapat langsung diterapkan sebagai peluang usaha untuk meningkatkan kemandirian ekonomi para perempuan. (Riliskalimantan.com, 3/5/2025)
Banyak sekolah pemberdayaan perempuan dirancang untuk meningkatkan keterlibatan perempuan di sektor publik, tanpa membedakan fungsi dan peran khas yang dimiliki oleh perempuan. Alih-alih memberdayakan secara hakiki, perempuan sering dijadikan sebagai komoditas ekonomi, didorong untuk aktif di pasar kerja agar dapat meningkatkan produktivitas ekonomi nasional, padahal ini kerap menambah beban peran ganda bagi perempuan.
Jika ditelisik lebih jauh, program ini justru menanamkan pola pikir sekuler dan liberal kepada kaum perempuan. Mereka digiring untuk mengejar peran-peran publik sebanyak mungkin, tanpa mengindahkan peran kodrati mereka di dalam keluarga sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Dari sudut pandang kapitalisme, perempuan yang bisa menghasilkan uang sendiri dianggap telah berdaya dan mampu mengatasi problem ekonomi yang mereka hadapi. Namun, narasi ini sesungguhnya mengabaikan aspek ideologis yang lebih mendasar, apakah benar perempuan telah diberdayakan secara hakiki atau justru dimanfaatkan demi kepentingan ekonomi negara?
Hal ini berbeda dengan sudut pandang Islam, Islam memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan strategis dalam membangun peradaban. Islam memerintahkan perempuan untuk menuntut ilmu, memahami hukum-hukum Allah, serta berperan di masyarakat sesuai batasan syar’i. Islam tidak menghalangi perempuan untuk beraktivitas di luar rumah, tapi Islam meletakkan mereka pada posisi yang mulia dan menjaga mereka dari eksploitasi.
Di ranah publik perempuan juga dapat berkontribusi untuk melakukan dakwah di tengah umat agar membawa umat kepada kemuliaan. Mengajak ummat kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Peran perempuan tersebut juga dijamin oleh Islam dengan merealisasikannya secara sempurna melalui serangkaian hukum yang bersifat praktis.
Lebih dari itu, dalam sistem Islam, khalifah adalah raa’in yang akan menjalankan tanggung jawabnya dan menjamin hak-hak dan mensejahterakan rakyatnya sesuai dengan tuntunan syarak. Kewajiban ini tidak akan dibebankan kepada rakyat, terlebih kepada perempuan. Negara akan mengentaskan kemiskinan sehingga akan lahir kesejahteraan bagi rakyat. Ini karena kesejahteraan merupakan konsekuensi logis dari adanya keadilan ekonomi Islam yang dijalankan oleh negara (Khilafah), yaitu terpenuhinya semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu masyarakat, disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka. (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizhamul Iqtishadiy fil Islam).
Allah Sang Pencipta, Yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu telah menempatkan posisi yang terbaik dan sesuai dengan fitrah perempuan dan laki-laki. Ketika mereka menjalankan perannya sesuai ajaran Islam, maka mereka mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan yang terbaik. Seorang Muslimah yang menjalankan perannya baik menjadi seorang istri atau pun seorang ibu, termasuk menjalankan perannya yang terbaik sebagai ummu wa rabbatul bait dengan sekuat tenaga, maka kemuliaan dan kebahagiaan akan mudah untuk didapatkannya.
Dengan komunikasi intens di antara keduanya, maka mereka membangun kehidupan keluarga yang harmonis. Seorang istri akan melaksanakan kewajibannya dan memenuhi hak-hak suaminya dengan berupaya menjalankan aturan Allah secara kaffah di mana saja dan kapan saja. Begitu juga dengan seorang suami yang telah memenuhi hak-hak istri dan kewajiban yang dilakukan sesuai ajaran Islam.
Dari semua pandangan Islam ini maka sekolah Pemberdayaan Perempuan dalam Islam harus berfokus pada tiga hal utama: pertama, membangun kesadaran akidah Islam; kedua, memperdalam ilmu syariat; dan ketiga, menyiapkan perempuan sebagai ibu, istri, pendidik, dan juru dakwah yang tangguh.
Semua konsep ideal ini hanya dapat terwujud jika sistem kehidupan yang diterapkan adalah sistem Islam secara menyeluruh, yakni Khilafah Islamiyah. Dalam sistem ini, perempuan tidak diperalat sebagai objek pembangunan, melainkan dihormati dan dilindungi sesuai kehormatan yang ditetapkan oleh syariat. Bukan seperti saat ini, ketika perempuan dimanfaatkan oleh negara dan korporasi demi mengejar pertumbuhan ekonomi nasional, namun kesejahteraannya diabaikan. Maka sudah saatnya umat Islam mencampakkan sistem sekuler kapitalis dan kembali pada sistem Islam Kaffah yang menjamin kemuliaan dan keberdayaan hakiki perempuan. [WE/IK].
Views: 8
Comment here