Oleh: Kunthi Mandasari (Pegiat Literasi)
وَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖ وَّ اتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْۤ اَنْـتُمْ بِهٖ مُؤْمِنُوْنَ
“Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 88)
Pada ayat tersebut Allah mengingatkan kepada kaum muslim pentingnya memilih makanan halal dan thayib. Halal dalam zatnya maupun cara memperolehnya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kethayibannya (baik), standarnya bagi setiap orang bisa berbeda. Tergantung pada kondisi tubuh masing-masing orang. Ada orang bisa makan makanan laut, tetapi ada pula yang alergi terhadap makanan ini.
Selain itu, kaum muslim juga diperintahkan untuk menjauhkan diri dari segala hal yang berbau syubhat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Sesungguhnya yang jelas halal itu jelas, yang haram pun jelas. Di antara kekurangan terdapat perkara syubhat, yang masih samar-samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Seperti ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599).
Jika dalam perkara yang samar (syubhat) saja kaum muslim diperintahkan untuk berhati-hati, apalagi dalam perkara haram. Oleh karenanya, Islam memiliki perhatian yang besar terhadap produk halal. Namun, dalam sistem sekuler kapitalistik, hal ini sangat sulit diwujudkan. Alih-alih memperhatikan halal haram, justru keuntungan yang lebih mendapatkan perhatian.
Padahal mengkonsumsi makanan yang halal merupakan sebuah kebutuhan bagi kaum muslim. Selain karena tuntutan syariat, memilih produk halal merupakan manifestasi ketakwaan itu sendiri. Namun sayangnya, meski negeri ini berpenduduk mayoritas muslim, beredarnya makanan haram justru begitu masif. Baik secara sembunyi-sembunyi maupun yang secara terang-terangan. Ini terjadi sebelum pengesahan UU Ciptaker dimana label halal dikeluarkan oleh MUI. Lantas bagaimana jika label halal bisa dikeluarkan secara mandiri maupun oleh badan yang ditunjuk negara?
Pengesahan UU Ciptaker beberapa waktu lalu turut merubah mekanisme penerbitan sertifikat halal. Jika sebelumnya sertifikat halal hanya diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kini UU Ciptaker memberi alternatif sertifikat halal dapat diberikan ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Bahkan bisa pula diterbitkan secara mandiri.
Merujuk pada Pasal 35A ayat (1) yang berbunyi, apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, maka LPH tersebut akan dievaluasi dan/atau dikenai sanksi administrasi. Selanjutnya, Pasal 35A ayat (2) dijelaskan, apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/menetapkan fatwa, maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal.
Terkait hal itu, Anggota Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakub menilai, kebijakan tersebut sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan dengan satu produk dengan produk lainnya.
“Bagaimana BPJH mengeluarkan sertifikat halal, kalau itu bukan fatwa. Ini bisa melanggar syariat, karena tidak tau seluk beluk sertifikasi,” kata Aminudin dalam dialog kepada PRO-3 RRI, Rabu (14/10/2020).
“Waktu sertifikasi tidak bisa pukul rata. Karena dalam auditnya, bahan-bahan dari produk itu berbeda. Tentu, kalau bahan yang dipakai ada sertifikasi halal lebih mudah. Tapi kalau tidak kita sarankan untuk mengganti bahan baku,” tambahnya.
Lebih memprihatinkan, badan yang ditunjuk untuk melakukan pengujian halal belum tentu memenuhi klasifikasi. Bagaimana mungkin kehalalan diserahkan kepada yang bukan pada ahlinya. Lantas bagaimana dalam pandangan Islam?
Dalam Islam, kehalalan bukan sekadar label saja, tetapi bentuk manifestasi ketakwaan. Dengan bersandar pada standar Al-qur’an dan hadist. Memahami runtutan produksi, bahan-bahan yang digunakan hingga reaksi biokimia yang terjadi pada bahan makanan. Titik paling pentingnya ialah menyerahkan standar halal kepada ahlinya, yaitu khubaro atau ulama. Bukan menyerahkan pada lembaga tertentu yang mendapat legitimasi dari pemerintah, yang bahkan tidak memenuhi syariat.
Negara memiliki peranan penting dalam mencegah beredarnya segala sesuatu yang diharamkan syariat. Termasuk dalam makanan dan minuman. Sejarah Islam mencatat bahwa aturan-aturan tegas diberlakukan untuk melindungi kaum muslim dari minuman yang haram dan tidak tayib. Contoh kasusnya adalah larangan meminum khamar atau minuman beralkohol. Penghentian kebiasaan meminum alkohol secara tegas dilakukan selama tiga tahun sejak Rasulullah berada di Madinah pada 622 atau 623 M.
Berdasarkan hadits Rasulullah saw. orang yang meminum arak atau apa saja yang memabukkan, maka wajib dihukum had berupa 40 kali cambuk. Baik ia sampai mabuk atau tidak. Hukuman ini boleh ditambah sampai 80 kali cambuk dengan jalan di karenakan ta’zir (dengan syarat orang Islam yang baligh dan berakal serta mengerti haramnya khamar).
Dari Bukhari dan Muslim, Anas, dia berkata: “Nabi saw mencambuk dalam perkara khamar dengan pelapah kurma dan dengan sandal. Abu bakar mencambuk dalam perkara khamar sebanyak 40 kali.”
Rasulullah pun tidak hanya melarang meminum minuman keras, tapi juga segala kegiatan yang berkaitan dengan itu, mulai dari menjual buah untuk dijadikan minuman keras, menerima atau memberikannya sebagai hadiah, menjual serta mendistribusikannya. Bahkan beliau juga menolak undangan jamuan makan yang menyuguhkan minuman keras.
Begitulah seharusnya negara berperan, memberikan perlindungan kepada masyarakat termasuk dari keharaman makanan dan minuman. Bukan melegitimasi hukum untuk memangkas dan mempermudah penerbitan status halal untuk mendapatkan keuntungan dengan mengabaikan syariat Islam.
Wallau a’lam bishshawab.
Views: 8
Comment here