Oleh Ahyani R (Penggiat Literasi)
Wacana-edukasi.xom, SURAT PEMBACA–Kasus keracunan kembali terjadi di Bogor. Penyebabnya makanan yang terkontaminasi bakteri Salmonella dan E Coli. Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor, Sri Nowoetno menyebutkan 210 orang yang diduga keracunan berasal dari 8 sekolah. Mereka mendapat Makan Bergizi Graris (MBG) dari satu SPPG atau satuan pelayanan pemenuhan gizi yang sama.
Merespon banyaknya kasus keracunan MBG yang menimpa generasi, Otoritas Jasa Keuangan atau OJK menyebut program ini bakal mendapat proteksi asuransi. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian Penjaminan dan Dana Pensiun (PPDP), Ogi Prastomiono mengatakan bahwa sejumlah asosiasi telah mengidentifikasi beberapa risiko yang berpotensi terjadi pada penyelenggaraan program MBG. Mulai dari tahap penyediaan bahan baku, pengolahan sampai pendistribusian kepada konsumen.
Ia juga menyampaikan bahwa telah diidentifikasi sejumlah resiko yang kemungkinan dapat dijamin melalui asuransi seperti resiko keracunan pada penerima MBG termasuk anak sekolah, balita, serta ibu hamil dan menyusui (detik.com/15/5/2025).
MBG dan Pemenuhan Gizi Rakyat
Kasus keracunan MBG menjadi bukti nyata bahwa praktik industri dalam sistem Kapitalis seringkali mengabaikan keselamatan masyarakat demi mengejar keuntungan finansial. Dalam sistem ini, efisiensi biaya dan peningkatan laba lebih diutamakan ketimbang kontrol kualitas, keselamatan kerja, maupun dampak lingkungan. Akibatnya, masyarakat justru menjadi korban dari kelalaian dan keserakahan korporasi. Ini menunjukkan betapa rapuhnya sistem ekonomi yang tidak berpihak pada kepentingan publik.
Ironisnya, negara justru tampak abai dalam merespons tragedi ini. Alih-alih memberi perlindungan nyata kepada warga, pemerintah malah mengusulkan skema asuransi MBG, yang pada dasarnya menandakan komersialisasi risiko kesehatan. Pendekatan ini tidak menyelesaikan akar persoalan, melainkan hanya memindahkan beban risiko ke pundak masyarakat. Negara seolah-olah lepas tanggung jawab, menyerahkan perlindungan warga pada mekanisme pasar.
Dalam sistem Kapitalisme, kesehatan dan keamanan pangan tidak diperlakukan sebagai hak dasar warga, melainkan sebagai komoditas. Produk-produk berbahaya tetap beredar karena lemahnya regulasi dan pengawasan. Hal ini menandakan kegagalan negara Kapitalis dalam memastikan gizi yang layak dan aman bagi rakyatnya. Bahkan kebutuhan dasar seperti pangan pun dikorbankan demi kepentingan pasar bebas.
Lebih jauh lagi, sistem ini tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang layak dan merata. Banyak kepala keluarga hidup dalam ketidakpastian ekonomi: bekerja dalam kondisi tak aman, berupah rendah, atau bahkan menganggur. Akibatnya, kebutuhan gizi generasi muda pun tak terpenuhi. Masalah ini tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan kerusakan sistemik dalam tata kelola ekonomi dan peran negara yang semakin tunduk pada logika pasar.
Solusi Islam
Dalam Islam, negara memiliki peran sentral sebagai pengatur kehidupan rakyat berdasarkan syariat, termasuk dalam menyelesaikan problem gizi secara menyeluruh. Negara dalam Islam bukan sekadar lembaga administratif, tetapi institusi kepemimpinan yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan bergizi, sebagai kewajiban negara, bukan diserahkan pada mekanisme pasar atau korporasi.
Islam juga menegaskan peran ayah sebagai penanggung jawab utama nafkah keluarga, mencakup makanan dan kebutuhan dasar lainnya, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 233. Ini menunjukkan bahwa pemenuhan gizi dimulai dari keluarga, tetapi negara tetap berkewajiban menciptakan kondisi yang memungkinkan hal itu terpenuhi.
Negara dalam Islam tidak hanya memberi bantuan, tetapi juga menjamin tersedianya lapangan kerja melalui pengelolaan langsung sumber daya alam dan pembangunan sektor produktif seperti pertanian dan industri. Dengan itu, rakyat didorong untuk mandiri secara ekonomi, bukan tergantung pada bantuan jangka pendek.
Kepemimpinan dalam Islam didasarkan pada tanggung jawab terhadap kesejahteraan umat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW bahwa pemimpin adalah penggembala yang bertanggung jawab atas rakyatnya. Negara dalam Islam menjalankan peran ini bukan untuk keuntungan, tapi demi kemaslahatan umat. Dengan sistem ini, problem gizi dapat ditangani secara sistemik dan berkelanjutan, berbeda dengan pendekatan Kapitalisme yang hanya bersifat reaktif. [WE/IK].
Views: 16
Comment here