Opini

NIK Jadi NPWP, Stop Bayar Pajak Ilusi di Sistem Demokrasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Nurlela Nasution (Aktivis Muslimah)

اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS. Al-Ma’idah [5]: 50).

Sungguh miris melihat kondisi masyarakat pada hari ini. Sudah susah malah tambah susah dengan berbagai kebijakan yang menyayat hati. Entah ke mana lagi harus mencari perlindungan diri. Penguasa hari ini abai dan tidak peduli. Beginilah fakta dari sistem demokrasi.

Baru-baru ini, masyarakat tengah dihebohkan dengan kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah. Pemerintah tampaknya telah resmi meluncurkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang sudah berlaku mulai 14 Juli 2022 kemarin. Penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan ditransisikan sampai dengan tahu 2023, dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh. (ekonomi.bisnis.com, 24/7/2022).

Lalu apakah ini artinya mereka yang memiliki NIK akan secara otomatis menjadi wajib pajak dan membayar pajak?

Masih melansir dari ekonomi.bisnis.com,
Yustinus Prastowo selaku Staf Khusus Menteri Keuangan menegaskan, setiap warga secara pribadi yang memiliki NIK tidak otomatis menjadi wajib pajak dan tidak diharuskan membayar pajak.

Padahal, wajib pajak itu diberlakukan untuk pekerja yang memiliki penghasilan 4,5 juta ke atas, tetapi dengan diwacanakan NIK menjadi NPWP, maka menjadikan seluruh warga menjadi wajib pajak. Hal ini jelas meresahkan dan menyusahkan masyarakat. Di mana, pada bulan April lalu, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik dari 10% menjadi 11% sangat jelas memberatkan, karena akan berdampak kepada kenaikan harga-harga komoditi yang lain.

Pertanyaan, ke mana aliran dana pajak itu dialokasikan? Benarkah untuk kepentingan masyarakat? Atau kepentingan segelintir orang saja?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), pajak adalah pungutan wajib yang biasanya berupa uang. Uang tersebut dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah. Pajak merupakan penghubung dengan pendapatan, pemilik, harga beli barang dan sebagainya.

Negara membebani masyarakatnya dengan penarikan pajak dari segala lini, atas nama pemenuhan pengeluaran negara. Padahal, ada yang lebih besar yang bisa diberdayakan dan bisa menjadi pemasukan negara yaitu pengelolaan SDA yang tepat sehingga negara tidak perlu membebankan kepada rakyatnya dengan pungutan pajak.

Inilah yang dianut negara dengan sistem ekonomi demokrasi-kapitalisme, meraih keuntungan besar dengan memeras keringat dan darah masyarakatnya demi kepentingan negara. Karena pajak menjadi cara yang cepat untuk mendapatkan pemasukan negara.

Ironisnya, masyarakat sudahlah diperas, bahkan dihisap darahnya, serta tidak diurusi keperluannya, dan mendapatkan kezaliman, tetapi masyarakat hari ini tampaknya tetap percaya dan masih bertahan dengan sistem demokrasi-kapitalisme yang rusak ini.

Jika kita melirik pada sistem pemerintahan Islam yang diterapkan secara sempurna dalam institusi sebuah negara, konsep pajak dalam sistem hari ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Di mana, pajak (dharibah) dalam sistem Islam diberlakukan dalam keadaan kas negara Khilafah sedang kosong sedangkan kebutuhan dalam negara harus disegerakan barulah pajak (dharibah) itu dipungut. Itu pun pungutannya bukan dalam waktu yang permanen, tetapi dalam waktu temporal dan dipungut hanya kepada masyarakat yang memiliki kelebihan harta yang kebutuhannya sudah terpenuhi. Baik sandang, pangan, papan, pendidikan, maupun kesehatannya. Tampak jelas keadilan dalam sistem Islam.

Jika dalam sistem kapitalisme sendiri, pajak malah dikutip kepada seluruh warga yang menjadi wajib pajak. Dalam sistem Islam, negara bukan sebagai pemalak masyarakatnya, karena untuk memenuhi kebutuhan kas negara yaitu baitulmal maka negara mengelola SDA dengan luar biasa yang banyak tersedia, dan bila sudah terpenuhi kas negara, maka pajak (dharibah) itu pun dihapus atau dihentikan.

Bisa dilihat dengan sangat jelas perbedaan sistem demokrasi-kapitalisme dengan sistem Islam. Sistem Islam di bawah institusi Khilafah benar dapat menyejahterakan serta bertugas meriayah (mengurusi) masyarakatnya sedangkan kapitalisme memeras dan menghisap keringat dan darah masyarakat hanya untuk memenuhi kebutuhan negara kapitalis tersebut.

Mari kembali kepada sistem yang shohih yaitu sistem Islam dengan penetapan secara kafah di bawah naungan negara Khilafah Rasyidah agar hidup lebih sejahtera dan terpenuhi kebutuhan serta diriayah dengan sempurna.

Wallahualam bissawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 13

Comment here