Opini

Nasib Generasi dalam Penerapan Kurikulum Merdeka

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Anissa V, S.Pd.I. (Praktisi Pendidikan)

wacana-edukasi.com, OPINI— Sebuah video viral menampilkan seorang siswa sekolah yang mengalami perundungan oleh teman sekelasnya. Kasat Reskrim Polresta Pontianak, Kompol Tri Prasetyo memohon kepada seluruh masyarakat agar video yang viral tidak disebarluaskan. Menurutnya ini adalah kenakalan remaja yang juga bisa dikategorikan sebagai tindak pidana. Namun yang perlu dipikirkan adalah masa depan anak yang menjadi korban maupun pelaku perundungan. (suarakalbar.co.id, Senin/6/11/2023)

Tidak hanya di Pontianak, perundungan dan penganiayaan juga menimpa siswa SMP di wilayah Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Cilacap. Polisi kemudian turun tangan dan mengamankan dua pelaku. Kini keduanya sudah jadi tersangka. Kapolresta Cilacap Kombes Fannky Ani Sugiharto menyebut kejadian tersebut disebabkan oleh pelaku MK tidak terima korban berinisial FF mengaku sebagai bagian dari kelompok Barisan Siswa (Basis). (news.detik.com, Sabtu/30/10/2023)

Kasus perundungan tidak hanya terjadi di skala nasional tapi juga secara global. Seperti di Austria, Estonia, Belgia, Rusia, Kanada, Swiss, Portugal, Prancis, Luksemburg, Polandia (inews.id, kamis/21/08/2023)

Melihat kasus perundungan yang semakin meningkat dan tersebar di berbagai wilayah dan negara. Perlu mengetahui apa yang menjadi faktor penyebabnya. Menurut Coloroso (2007), faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perundungan.

Pertama, Keluarga. Pelaku perundungan sering kali berasal dari keluarga yang bermasalah, orang tuanya sering menghukum dirinya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh dengan stres dan permusuhan.

Seorang anak akan mempelajari perilaku perundungan ketika melihat berbagai konflik yang terjadi di dalam keluarganya. Mereka lantas menirukannya dan dilakukan kepada teman-temannya. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku coba-coba itu, maka mereka menganggap “jika mereka mempunyai kekuatan dan diperbolehkan untuk berperilaku agresif”.

Perilaku tersebut dianggap dapat meningkatkan status dan kekuasaannya di lingkungan sosialnya, misalnya sekolah. Dari sinilah lantas mengembangkan perilaku perundungan.

Kedua, sekolah. Pihak sekolah sering kali mengabaikan keberadaan perundungan ini. Akibatnya, anak-anak sebagai pelaku perundungan akan memperoleh penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak yang lain.

Perundungan berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberikan masukan negatif kepada para siswanya, misalnya hukuman yang tidak membangun, sehingga tidak meningkatkan rasa menghargai dan menghormati antarsesama anggota sekolah.

Ketiga, faktor kelompok sebaya. Anak-anak ketika berinteraksi di lingkungan sekolah dan teman-temannya di sekitar rumah terkadang terdorong untuk melakukan perundungan. Beberapa anak melakukan perundungan sebagai upaya untuk menunjukkan jika mereka dapat masuk dalam kelompok tertentu, walaupun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan tindakan tersebut.

Keempat, keadaan lingkungan sosial. Keadaan lingkungan sosial juga dapat menjadi penyebab munculnya perilaku perundungan. Salah satu faktor lingkungan sosial yang mengakibatkan tindakan perundungan adalah kemiskinan. Mereka yang hidup dalam kemiskinan akan berbuat apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga tidak heran jika di lingkungan sekolah sering terjadi pemalakan di antara siswa.

Kelima, tayangan televisi dan media cetak. Televisi dan media cetak membentuk pola perilaku perundungan dari segi tayangan yang mereka tampilkan. Survei yang dilakukan oleh Lee (2010) menunjukkan jika 56,9% anak meniru adegan-adegan film yang ditontonnya. Umumnya, mereka meniru geraknya (64%) dan kata-katanya (43%).

Pemerintah memang telah melakukan berbagai upaya untuk melindungi anak dari kekerasan. Di antara regulasi yang mengatur hal ini ialah UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.

Pemerintah juga menetapkan program yang bertujuan melindungi anak dari kekerasan, seperti Sekolah Ramah Anak, Kota Layak Anak, Pendidikan Karakter, dan Revolusi Mental. Terbaru, pemerintah menggagas Kurikulum Merdeka dan Pelajar Pancasila.

Namun, beragam upaya tersebut belum mampu mengikis maraknya kekerasan dan perundungan terhadap anak.

Apa sebenarnya akar masalah sehingga tidak terselesaikannya kasus-kasus perundungan ini. Tidak lain ialah sekularisme yang menjadi landasan dalam kehidupan di negara ini. Pemisahan nilai-nilai agama dari kehidupan memberi pengaruh buruk bagi kehidupan masyarakat. Kehidupan yang sekularistik telah menjauhkan setiap individu masyarakat dari rasa kemanusiaan, cenderung hedonis, dan tak takut akan dosa apalagi Tuhan.

Orang tua pun tidak berperan dengan baik dalam mendidik dan menanamkan nilai-nilai agama pada anak. Akhirnya tumbuh dengan jiwa antisosial, pemarah, tak mau kalah, dan miskin empati.

Negara juga ‘mandul’ untuk menghadapi lingkungan sosial remaja yang hedonis. Tidak membangun kepedulian untuk mencegah tawuran, pergaulan bebas, dan kekerasan serta perundungan. Maka wajar jika kerusakan pada remaja juga terus terjadi secara sistemis. Hal ini karena sistem yang ada baik sistem pendidikan, sistem pergaulan, sistem hukum, dan sistem informasi tidak mendukung untuk penjagaan remaja dari kerusakan.

Lalu bagaimana Islam Memandang Perbuatan Perundungan ini.

Tentu saja perbuatan bullying/perundungan bukanlah ajaran Islam, Islam justru memiliki nilai-nilai yang bersifat memerdekakan manusia, menghormati hak dan menghargai (toleransi) bahkan tolong-menolong antar sesama. Hal ini sebagaimana yang tercermin dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 11 yang artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.

Firman Allah diatas cukup tegas melarang saling jelek-menjelekkan, jatuh-menjatuhkan, olok-mengolokkan dengan manusia yang lainnya. Karena yang di Bully lebih baik dibandingkan dari si pem-bully.

Meskipun ayat diatas berbicara lebih spesifik kepada sosok perempuan. Tetapi tidak menutup kemungkinan perilaku Bullying/perundungan ini juga ada pada laki-laki, yang walaupun tidak terjadi secara berulang-ulang kali.

Islam telah mengatur bagaimana cara dan etika dalam bergaul sekaligus bermuamalah di dunia. Tinggal bagaimana kita (umat muslim) mau membaca dan menerapkannya. Sistem Islam memiliki mekanisme untuk menyelesaikan kasus perundungan hingga tuntas yaitu dengan menerapkan hal-hal berikut ini:

Pertama, Islam mengajarkan agar umatnya berlaku baik kepada sesama. Rasulullah saw. adalah suri teladan umat muslim dengan kesempurnaan akhlaknya. Inilah yang akan mengilhami perbuatan seseorang, ia akan mengontrol dirinya agar tidak mencelakai orang, sebaliknya ia akan menjadi sebaik-baik manusia, yaitu yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Kedua, keluarga yang dibangun dengan landasan akidah Islam akan mengantarkan keluarganya menuju derajat sakinah mawadah dan rahmah. Rumah akan menjelma menjadi baiti jannati, tempat para penghuninya saling menguatkan keimanan. Ibu akan menjadi madrasatul ula bagi anak-anak mereka, mencurahkan kasih sayangnya dan menancapkan ilmu agama bagi anak-anak mereka. Begitu pun ayah, akan selalu ada untuk bisa menjadi teladan bagi anak dan istrinya. Inilah yang akan melahirkan individu yang lemah lembut dan penuh dengan kasih sayang.

Ketiga, sistem pendidikan yang menjadikan akidah Islam sebagai landasan akan fokus pada pembentukan syakhsiyah anak didik. Sekolah harus memastikan bahwa pola pikir dan pola sikapnya berlandaskan Islam. Dari sinilah lahir interaksi antara siswa yang senantiasa diliputi dengan kebaikan akhlak mereka. Jangankan merundung, mereka akan berlomba-lomba untuk tolong-menolong.

Keempat, negara mendukung penuh atas kondisi ketakwaan masyarakat. Media apa pun, jika menjadi wasilah terbentuknya karakter perundung, akan cepat dihilangkan sekalipun dipandang menguntungkan negara. Pelakunya akan diberi sanksi keras, baik pembuat konten kekerasan ataupun pelaku perundungan sebab keduanya telah melanggar syariat.

Hanya dengan sistem Islam yang mampu menyelesaikan persoalan perundungan dan penganiayaan terhadap anak. Anak-anak hidup damai antara satu dengan yang lainnya. Mereka tidak berani untuk berprilaku tercela seperti melakukan perundungan. Mereka dapat berteman dengan baik bahkan saling menjaga dan melindungi. Sehingga terwujudlah generasi mulia yang menjadi rahmat bagi sesama.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 22

Comment here