Oleh: Widhy Lutfiah Marha
Wacana-edukasi.com, OPINI–Siapa yang tak terenyuh melihat tempat para santri menuntut ilmu berubah menjadi lautan puing dan tangis?
Sore itu di Sidoarjo, ratusan santri tengah khusyuk salat Ashar di lantai dua Pondok Pesantren Al Khaziny. Beberapa detik kemudian, dunia mereka runtuh bersama atap dan beton yang menghantam tubuh-tubuh kecil penuh harapan. Suara gemuruh, jeritan, dan debu bercampur jadi satu, pemandangan yang tidak seharusnya terjadi di negeri yang katanya menjunjung pendidikan.
Sekitar 160 jiwa menjadi korban. Tiga puluh tujuh di antaranya tidak pernah pulang lagi. Sisa hidup mereka terhenti di antara reruntuhan tempat mereka belajar mengaji dan menulis huruf-huruf Arab pertama (news.detik.com, 05/10/2025).
Kemudian di tengah semua duka itu, pertanyaan besar menggantung di udara, bagaimana mungkin tempat yang seharusnya aman bagi para pencari ilmu justru menjadi kuburan massal mereka?
Tragedi ini bukan sekadar hasil kelalaian teknis. Ia adalah wajah nyata dari rusaknya sistem jaminan fasilitas pendidikan di negeri ini. Bangunan itu roboh bukan hanya karena struktur yang lemah, tetapi karena pengawasan yang nyaris tidak ada. Seolah sejak awal, ia sudah ditakdirkan roboh, berdiri di atas pondasi rapuh, bukan cuma secara fisik, tapi juga moral dan sistemik.
Pendidikan Dibiarkan
Pondok pesantren, tempat yang seharusnya menjadi benteng moral bangsa, banyak berdiri dari sumbangan masyarakat. Dari uang tabungan wali santri, dari amplop alumni, dari dermawan yang menyisihkan sebagian rezekinya. Mereka membangun dengan doa dan tenaga, bukan dengan anggaran negara.
Sehingga , dengan segala keterbatasan itu, banyak pesantren yang berdiri tanpa sentuhan profesional, tanpa perhitungan matang soal kekuatan bangunan. Bukan karena mereka tidak peduli, tetapi karena mereka tidak punya pilihan lain.
Namun anehnya negara seolah absen, sehingga membuat hati masyarakat kian perih. Pemerintah sering bicara tentang pentingnya pendidikan, tetapi saat rakyat menjerit karena tidak sanggup menyediakan tempat belajar yang aman, negara diam. Seakan pendidikan cukup jadi bahan pidato, bukan tanggung jawab nyata.
Sementara di sisi lain, sekolah-sekolah besar dan mewah berdiri megah dengan fasilitas lengkap, dijaga anggaran besar. Namun, di pesantren kecil anak-anak belajar di gedung seadanya, kadang menulis di lantai, kadang di bawah atap bocor. Kesenjangan ini begitu mencolok dan nyawa santri jadi taruhannya.
Padahal, pendidikan bukan barang mewah. Ia hak dasar manusia. Jika belajar adalah kewajiban rakyat, maka negara wajib menyediakan tempat belajar yang aman dan layak. Itu bukan sekadar janji konstitusi, tetapi juga ukuran kemanusiaan.
Dari tragedi di Sidoarjo ini menjadi bukti, bahwa ketika negara abai terhadap kebutuhan dasar rakyat yaitu pendidikan, maka keselamatan pun ikut dikorbankan. Santri-santri itu tidak seharusnya meninggal hanya karena dinding tempat mereka belajar dibangun dengan niat baik, tetapi tanpa standar.
Negara Hadir, Pendidikan Terjamin
Islam tidak membiarkan rakyat berjuang sendiri dalam urusan pendidikan. Dalam pandangan Islam, pendidikan bukan sekadar kewajiban pribadi, tetapi tanggung jawab negara sepenuhnya, menyeluruh, dan tanpa syarat.
Negara wajib menjamin bahwa setiap anak mendapat pendidikan yang aman, nyaman, dan berkualitas. Aman berarti bangunan dirancang kokoh dan diawasi ketat. Nyaman berarti lingkungan belajar bersih dan manusiawi. Berkualitas berarti pendidikan menumbuhkan akhlak, ilmu, dan keterampilan yang memuliakan manusia.
Lalu, dari mana semua biaya itu datang? Islam sudah menyiapkannya lewat sistem baitul mal (kas negara yang dikelola berdasarkan syariat Islam). Dana pendidikan tidak diambil dari pajak yang memberatkan rakyat kecil, tetapi dari kekayaan alam, zakat, jizyah, kharaj, dan sumber kekayaan umum yang seharusnya milik umat.
Dengan mekanisme ini, tidak ada lagi pesantren yang harus mengemis donasi atau membangun dari uang seadanya. Negara-lah yang menanggung semua pembangunan, gaji guru, hingga biaya operasional. Pendidikan bukan amal sukarela, tetapi hak rakyat yang dijamin oleh negara.
Kita bisa menengok sejarah pada masa kekhilafahan, pendidikan bukan hanya gratis, tetapi juga dijamin keamanannya. Dari sistem itulah lahir para ilmuwan besar: Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Al-Farabi, yang menulis sejarah dunia. Mereka lahir bukan dari sistem yang membiarkan rakyat berjuang sendiri, tetapi dari negara yang hadir sepenuhnya untuk rakyatnya.
Negara dalam Islam tidak membeda-bedakan, apakah santri di pesantren atau murid di sekolah umum, semuanya berhak atas tempat belajar yang aman. Pengawasan bukan dilakukan setelah tragedi, tetapi sejak awal pembangunan. Negara tidak menunggu nyawa melayang baru turun tangan.
Jika sistem Islam diterapkan hari ini, tidak akan ada tragedi duka di Sidoarjo. Tidak akan ada ayah yang menangis mencari anaknya di bawah reruntuhan beton. Tidak akan ada ibu yang menatap sandal kecil di antara puing, berharap itu bukan milik putranya.
Tragedi di Ponpes Al Khaziny bukan sekadar musibah. Ia adalah panggilan nurani. Bukti bahwa kita hidup di negara yang mengabaikan rakyatnya menanggung sendiri beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Selama pendidikan masih bergantung pada donasi dan keikhlasan, maka keselamatan akan selalu jadi taruhan.
Islam sudah memberi jalan yang pasti, negara harus hadir, bukan hanya bicara. Karena pendidikan bukan tentang gedung dan buku, tetapi tentang nyawa dan masa depan.
Negara yang abai terhadap pendidikan, sejatinya sedang menggali kubur bagi generasinya sendiri. Dan selama mata penguasa masih tertutup oleh kepentingan, tragedi seperti di Ponpes Al Khaziny akan terus berulang berganti waktu, berganti nama, tetapi berakar dari kelalaian yang sama.
Lalu, sampai kapan kita akan menunggu? Tidakkah kita rindu pada sistem Islam yang benar-benar hadir untuk rakyatnya, di mana pemimpin meriayah umatnya bukan demi kekuasaan, melainkan demi ridha Allah? Wallahu ‘alam bishshawab.
Views: 4

 

 
 
 
Comment here