Oleh: Meitya Rahma, S.Pd
Wacana-edukasi.com — Tenaga kesehatan (Nakes) merupakan garda terdepan dalam penanganan coronavirus. Merekalah yang menangani para pasien covid. Satu demi satu gugur karena menjalankan tugas baik dokter maupun perawat, bidan. Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi mengatakan, kematian tenaga medis dan kesehatan di Indonesia tercatat paling tinggi di Asia dan juga lima besar seluruh dunia (Kompas.com,2/1/2021).
Jawa Timur menjadi provinsi dengan jumlah kematian tenaga kesehatan dan tenaga medis tertinggi, disusul oleh DKI Jakarta yang juga semakin naik angkanya.
Inisiator Pandemic Talks, Firdza Radiany, mengatakan jumlah tenaga kesehatan di Indonesia yang meninggal karena Covid-19 lebih besar dari jumlah kematian warga di 6 negara Asia Tenggara ( Singapura, Thailand, Vietnam, Kamboja, Brunei, Laos) (tempo.com/12/2020). Menurut Firdza, kondisi itu terjadi karena pemerintah tidak pernah bsia mencapai standar 3T, yaitu testing dibawah standar WHO, tracing yang buruk, treatment. pelacakan kontak positif Covid-19 di Indonesia hanya 1 berbanding 3 orang. Padahal, idelanya 1 orang positif Covid-19, maka yang dilacak harusnya 30 orang. Pelacakan yang buruk, menurut dia, menjadi penyebab angka harian Covid-19 selalu naik (Tempo.com/12/2/20).
Karena strategi penanganan yang tidak maksimal ini maka nakes yang kewalahan dalam menangani pasien. Banyaknya jumlah tenaga medis yang meninggal karena covid ini harus menjadi fokus perhatian negara. Ketika para tenaga medis sudah teriak untuk lock down, “beri kesempatan pada kami untuk sedikit bernafas istirahat”. Namun pemerintah tetap menjadikan perekonomian sebagai fokus utama. Akhirnya yang terjadi saat ini, hampir seluruh wilayah propinsi menjadi zona merah. Adanya zona merah yang makin meluas ini menyebabkan over loadnya fasilitas kesehatan Rumah sakit, baik tipe A, tipe, maupun tipe C. Walhasil rumah sakit lock down tidak lagi menerima pasien IGD dan rawat inap.
Jika fasilitas kesehatan saja lock down, bagaimana nasib pasien yang perlu ditangani segera. Bisa dibayangkan betapa lelahnya para nakes. PSBB Jawa Bali pun tak cukup 14 hari, karena belum bisa membuat merahnya wilayah setidaknya kuning. Sudah terlambat untuk PSBB serentak, karena “red zone” semakin menyebar ke semua wilayah. Nakes menjadi harapan bagi negri ini untuk atasi pandemi. Namun logika kapitalisme tak memperhitungkan hal tersebut. Ekonomi saja yang diprioritaskan. Genjot perekonomian, lupa akan penanganan wabah. Islam sudah memberikan contoh apa yang dilakukan jika terdapat wabah. Yang dilakukan adalah mengisolir daerah yang terkena wabah. Tidak boleh masuk maupun keluar dari wilayah wabah tersebut. Fokus atasi wabah, jangan berfikir perekonomian. Keselamatan warga menjadi prioritas utama.
Era keemasan Islam, negara Islam telah mengukir kegemilangan dengan layanan kesehatan yang unggul. Hal ini tak lepas dari negara yang memberikan layanan kesehatan secara totalitas. Kesehatan di negara Islam dilakukan secara preventif (pencegahan), bukan cuma kuratif (pengobatan). Negara juga memberikan anggaran untuk riset kedokteran dan melakukan penelitian-penelitian ilmiah di bidang kesehatan. Hal inilah yang menjadikan kaum Muslim pada era kejayaan Islam memberikan kontribusi yang luar biasa di bidang kedokteran. Bahkan mereka memiliki kualitas yang lebih baik daripada kedokteran Yunani, India, Persia, dan karya-karya tokoh kedokteran kuno (Hippocrates, Celcus atau Galen). Sebut saja Al-Kindi dengan karyanyai di bidang kedokteran, dengan alat pengukur derajat penyakit dan pengukur kekuatan obat. Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermik, untuk melakukan operasi bedah katarak. Abu al-Qasim az-Zahrawi yang dikenal sebagai bapak ilmu bedah modern karena menemukan 200 alat untuk membedah dan semua alat yang digunakan untuk membedah.
Negara juga menyediakan infrastruktur dan fasilitas kesehatan. Negara membangun rumah sakit di hampir semua kota. Rumah sakit ini memberikan perawatan pasien sampai benar benar sehat untuk mencegah penularan kepada masyarakat. Inilah sedikit gambaran tentang kesehatan negara Islam pada masa kejayaannya. Prinsipnya, kesehatan masyarakat harus memiliki sinergi antara negara,para ilmuwan yang mengembangkan teknologi kedokteran.
Inilah yang harus dilakukan oleh para stake holder negeri kita, sinergi antara para ahli kesehatan ( dokter dan nakes), para pakar, negara (pemerintah). Saling berupaya bagaimana agar para nakes bisa aman dalam menjalankan tugas, bagaimana meminimalisir penyebaran virus. Ketika pakar epidemologi dan pakar kesehatan mengatakan harus dilakukan lock down serentak, harusnya pemerintah mengikuti anjuran tersebut, bukan malah mengabaikannya. Pemimpin harus mendengarkan pendapat para pakar karena merekalah yang lebih memahami. Jika mau mendengarkan pendapat para pakar maka yang terjadi seperti sekarang ini. Lonjakan pasien semakin tinggi, zona memerah semakin banyak. Para nakes dan Rumah sakit menutup diri karena sudah over load. Yang terjadi PSBB telah terlambat. Karena diberlakukan ketika kembali pada saat zona merah tak terkendali. Seharusnya ini menjadi sebuah pemikiran para stake holder negeri ini, bahwa urusan kemanusiaan harus diutamakan daripada urusan ekonomi. Jika diabaikan maka yang akan terjadi adalah lost generation, hilangnya generasi akibat pandemi.
Semoga pemerintah segera melakukan upaya strategi yang lebih berpihak kepada keselamatan rakyat. Karena pemimpin itu memiliki amanah untuk melindungi rakyat. Dengan pengalaman negara Islam dalam upaya menangani wabah dan memberikan pelayanan kesehatan pada rakyat kiranya bisa menjadi referensi bagi negri kita untuk mengakhiri pandemi.
Wallohualam bishowab
Views: 57
Comment here