Opini

KUA Tempat Pernikahan Semua Agama, Sekularisme Merusak Akidah

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Amellia Putri (Mahasiswi dan Aktivis Muslimah)

wacana-edukasi.com, OPINI-– Polemik wacana Kantor Urusan Agama atau KUA menjadi tempat pernikahan dan pencatatan bagi semua umat beragama terus bergulir. Gagasan itu pertama kali disampaikan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam. Ia menjelaskan idenya untuk menetapkan KUA sebagai sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama. Tidak hanya untuk tempat pernikahan saja, KUA juga akan mencatat pernikahan semua agama. (bbc.com, 23/02/24)

Beberapa pemuka agama sepakat dengan gagasan ini, tetapi ada pula yang tidak sepakat dengan alasan perkawinan sebagai urusan privat sehingga pemerintah tidak perlu campur tangan dalam masalah ini. Sementara Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia atau MUI Anwar Abbas, meminta Kemenag mengkaji idenya agar tidak menimbulkan kegaduhan di tengah umat dan masyarakat. Bersandar pada aturan yang ada hingga saat ini, KUA masih berada di bawah Dirjen Bimas Islam yaitu direktorat yang mengurus bagian perislaman.

Gagasan yang muncul dari Kemenag ini sebenarnya adalah konsekuensi penerapan sistem sekulerisme di negeri ini. Sekulerisme telah melegalkan kebebasan beragama yang berimplikasi pada keharusan negara menjamin hal tersebut. Alhasil, semua agama di pandang harus mendapat perlakuan yang sama tanpa memperhatikan batasan-batasan yang dibolehkan atau dilarang dalam agama khususnya Islam.

Kementerian Agama yang pada awalnya dibentuk untuk melayani kepentingan umat Islam, namun dengan dalih toleransi dan menghargai umat lain Kementerian Agama berubah fungsi sebagai pelayan kepentingan seluruh agama. Hal ini secara tidak langsung merupakan bentuk pengakuan terhadap kebenaran agama selain Islam. Begitu jelas, ini merupakan aroma pluralisme yang semakin menguat di negeri ini. Paham pluralisme sangat bertentangan dengan pemikiran Islam karena menganggap semua agama benar dan yang membedakan hanyalah Tuhan dan ajarannya saja. Pluralisme memandang bahwa siapapun layak mendapatkan tempat terbaik di akhirat kelak selama dia taat pada Tuhan yang diyakini di dunia.

Dengan menguatnya pluralisme di tengah masyarakat, tentu akan mengaburkan pemahaman yang hakiki bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang diridai Allah. Apalagi di tengah melemahnya pemahaman umat Islam terhadap agamanya akibat pendidikan sekuler yang diterapkan di negeri ini. Kebijakan ini tentu akan semakin mengaburkan pemahaman kaum muslimin atas ajaran Islam. Memang benar, negara tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap pemeluk agama manapun, namun kebijakan pemerintah yang menyatukan urusan perkawinan dalam satu institusi sudah merupakan bentuk ikut campur terhadap ajaran agama selain Islam. Kebijakan ini tentu sejalan dengan pengarusan gagasan moderasi agama yang saat ini masif dilakukan di seluruh dunia Islam.

Padahal, Islam merupakan sebuah ideologi yang lahir darii akidah dan mampu memancarkan berbagai peraturan kehidupan. Adanya gagasan moderasi beragama yang mencakup pluralisme hanya akan menjauhkan umat dari pemahaman Islam sebagai ideologi dan menghambat kebangkitan Islam ideologis di muka bumi. Semua ini tidak lepas dari agenda barat yang tidak akan pernah rela kepemimpinan Islam tegak demi mengukuhkan hegemoni kapitalisme global. Islam sendiri tidak pernah memandang buruk keberagaman di tengah masyarakat, sebab pluralitas atau keberagaman merupakan suatu hal yang wajar atau sunatullah yang kita terima sebagai suatu kenyataan. Bahkan ketika negara Islam berdiri, rakyatnya berasal dari beragam suku dan tidak sedikit non-muslim tinggal di negara Islam atau di kenal dengan kafir zimi.

Akan tetapi, pluralitas atau keberagaman sangat berbeda dengan pluralisme, jika pluralisme di definisikan sebagai paham yang mengajarkan bahwa semua agama sama, maka pluralitas berarti kemajemukan atau keberagaman. Dahulu selama belasan abad, Islam berhasil mempersatukan umat manusia dalam ikatan akidah Islam. Di sisi lain, jiwa dan kehormatan warga non-muslim senantiasa terpelihara dalam naungan syariat Islam. Di bawah naungan khilafah Islam pula kaum muslim berhasil menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan di tengah umat manusia, sebab syariat Islam menata agar setiap warga muslim maupun non-muslim mendapat jaminan kebutuhan pokok semisal sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan secara menyeluruh tanpa terkecuali.

Berkat keadilan hukum-hukum Islam inilah, gejolak sosial dan konflik di tengah masyarakat dapat dihilangkan dan kerukunan pun tercipta. Jika kita kaji syariat dengan baik, maka kita akan mendapati bahwa syariat Islam telah memberikan panduan rinci untuk menangani urusan kaum muslim dan non-muslim yang hidup di bawah naungan negara khilafah.

Dalam hal pernikahan, non-muslim diizinkan untuk saling menikah antar mereka berdasarkan keyakinannya. Mereka dapat dinikahkan di tempat ibadah beserta pemuka agama mereka. Selanjutnya mengenai perceraian, mereka juga dapat bercerai menurut aturan agama mereka. Negara tidak akan ikut campur dalam urusan privat non-muslim. Adapun dalam masalah hubungan sosial dan kemasyarakatan non-muslim wajib mengikuti syariat Islam seperti sistem sanksi, peradilan, pemerintahan, ekonomi dan kebijakan luar negeri secara keseluruhan.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 17

Comment here