Oleh: Mahrita Julia Hapsari (Komunitas Muslimah untuk Peradaban)
Wacana-edukasi.com — Menteri Agama yang baru dilantik, Yaqut Cholil Qoumas, meluruskan pernyataannya tentang afirmasi hak beragama Syiah dan Ahmadiyah. Menurut Yaqut, setiap warga negara Indonesia berhak mendapat perlindungan hukum, termasuk Syiah dan Ahmadiyah (detik.com, 25/12/2020).
Ketika ada kelompok tertentu bermasalah dengan dua kelompok tersebut, Kementerian Agama (Kemenag) siap menjadi mediator. Sebagai orang nomor satu di Kemenag, Yaqut siap memfasilitasi dengan mengadakan dialog untuk menjembatani perbedaan.
Konflik antar umat beragama takkan pernah selesai. Jangankan sekte sempalan dan sesat seperti Syiah dan Ahmadiyah, antar agama yang diakui pun tetap akan ada konflik. Parahnya, yang disahkan selalu umat Islam ideologis. Laksana tirani minoritas atas mayoritas.
Ketika islam menjadi minoritas, seperti di India, etnis Rohingya dan Uighur, mereka terusir, tertindas, hingga terbunuh. Namun ketika menjadi mayoritas di negeri demokrasi, Islam juga selalu jadi kambing hitam atas konflik beragama yang muncul. Gereja terbakar, Islam dicurigai. Sebaliknya, ketika masjid dilempar bom, pelakunya dikatakan orang gila. Aneh.
Inilah watak asli demokrasi. Meskipun Indonesia mengakui lima agama, tapi gagal menihilkan konflik antar umat beragama. Akar konflik tersebut justru dari sistem demokrasi yang menjamin kebebasan beragama. Ide liberalisme yang dijamin atas nama Hak Asasi Manusia (HAM) tak memiliki standar yang baku.
Liberalisme telah menjadi legitimasi kebenaran milik siapa saja. Siapa pun boleh membuat agama, sekte, aliran, ataupun mengaku nabi, malaikat, bahkan tuhan sekalipun. Negara atau pemerintah justru hadir untuk menjamin kebebasan tersebut. Jalan tengah yang diambil oleh demokrasi, klop dengan sekulerisme serta paham kebebasan yang selalu dipuja-puja.
Padahal, adanya kelompok atau aliran sempalan dan sesat justru bisa merusak aqidah dan mengganggu ketentraman umat beragama, potensi konflik pun terbuka lebar. Di sinilah kegagalan demokrasi dalam melindungi aqidah dan menjamin hak warga negara.
Pemeluk agama mana pun takkan rela jika agamanya dilecehkan atau dipermainkan. Adanya aliran sesat seperti Syiah dan Ahmadiyah hanya akan meresahkan umat muslim. Rambu-rambu dan pilar-pilar Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah telah menjadi pemisah yang tegas antara yang benar dan salah, antara yang hak dan batil, antara yang lurus dan sesat.
Seharusnya negara hadir untuk memberikan pencerahan bagi mereka yang tersesat. Bukan malah memfasilitasi kesesatan mereka. Negara mestinya ada untuk menjaga aqidah umat. Mengaturnya dengan standar yang baku sehingga setiap pemeluk agama bisa terjamin haknya sebagai warga negara.
Yang pasti, bukan negara bersistem demokrasi yang bisa menjaga aqidah umat sekaligus menjamin hak warga negara. Negara yang bisa memberikan ketenangan umat beragama hanyalah Khilafah. Negara khilafah memiliki standar aqidah Islam dan penerapan syariat islam kaffah yang terintegrasi dalam seluruh sistem kehidupan manusia.
Seluruh warga negara khilafah dijamin hak hidup layak secara manusiawi. Muslim maupun non muslim. Penduduk asli maupun pendatang. Basic need nya dijamin oleh khilafah. Adapun non muslim yang tinggal di wilayah Daulah dan menjadi warga negara, disebut ahlul dzimmah.
Bagi ahlul dzimmah diberikan beberapa peraturan, diantaranya:
Pertama, mereka dibiarkan memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya. Tak ada paksaan untuk memeluk Islam.
Kedua, ahlul dzimmah wajib taat pada hukum syara’ yang diterapkan dalam kehidupan publik. Seperti dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan sanksi. Sementara pada perkara aqidah, pakaian, dan makanan, diberi pengecualian.
Ketiga, ahlul dzimmah dijaga darah dan hartanya. Kaum muslim wajib menjaga hak-hak mereka selama mereka melaksanakan kewajibannya sebagai ahlul dzimmah. Di antara kewajiban ahlul dzimmah yaitu membayar jizyah, menaati hukum syara’ yang diterapkan di sektor publik, tidak menghina simbol dan ajaran islam.
Meskipun demikian, negara khilafah dengan pelayanannya yang berkeadilan dan menyejahterakan menjadi sarana dakwah yang efektif bagi ahlul dzimmah. Sehingga, ahlul dzimmah akan sukarela masuk ke dalam islam.
Ada pun pengaturan daulah khilafah untuk mencegah serta mengatasi timbulnya aliran sesat. adalah:
Pertama, menyelenggarakan sistem pendidikan yang berbasis aqidah Islam mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Sehingga lahir sosok generasi yang berkepribadian islam, lurus aqidahnya.
Ke dua, melarang segala bentuk propaganda yang menghina simbol dan ajaran Islam, termasuk penyebaran pemikiran sesat. Organisasi maupun individu dilarang menyebarkan ide-ide atau pemikiran kufur dan sesat. Pelakunya akan dikenai sanksi ta’zir yang kadarnya ditetapkan oleh khalifah.
Meskipun sebelum diberikan hukuman, selalu didakwahi dulu agar berhenti menyebarkan ajaran dan ide-ide kufur. Sanksi tegas pernah di jatuhkan oleh Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq terhadap Musailamah Al-Kadzab, nabi palsu dari Yamamah.
Khalifah Abu Bakar mengirimkan pasukan yang dipimpin Ikrimah bin Abu Jahal untuk memerangi dan membunuh si pendusta Musailamah. Pasukan Ikrimah sempat terdesak, kemudian dengan bantuan pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid, Musailamah berhasil dibunuh dan pasukannya berhasil ditumpaskan.
Ke tiga, seluruh media massa baik cetak maupun elektronik dilarang menyiarkan berita dan program apapun yang bertentangan dengan aqidah Islam.
Ke empat, mewajibkan aqidah islam sebagai asas pendirian organisasi ataupun partai.
Demikian penjagaan khilafah atas aqidah umat dan hak warga negara. Penjagaan yang menenteramkan jiwa. Wallahu a’lam
Views: 111
Comment here