Opini

Ketika Jilbab Terusik dalam Gaung Demokrasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Emmy Suhartati (Aktifis Muslimah Borneo)

Wacana-edukasi.com — Baru-baru ini kita dihebohkan dengan beredarnya video yang memperlihatkan adu argumen antara wakil kepala sekolah SMK N 2 Padang dengan salah seorang orang tua siswi nonmuslim terkait aturan mengenakan jilbab di sekolah. Kepala SMK N 2 Padang, Rusmadi, mengungkapkan bahwa di sekolah tersebut terdapat 46 siswi nonmuslim yang mengenakan jilbab dalam aktivitas sehari-hari. Beliau juga menegaskan bahwa pihak sekolah tidak pernah melakukan paksaan apa pun terkait pakaian seragam bagi nonmuslim. Mereka memakai jilbab atas keinginan sendiri karena merasa nyaman (detiknews.com 23/1/2021).

Mendikbud Nadiem Makarim menyebutkan bahwa akan segera mengambil tindakan tegas termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan bagi pihak yang terlibat terkait kasus intoleransi di SMKN 2 Padang. Baik guru dan kepala sekolah. Sekolah tidak boleh sama sekali membuat peraturan atau imbauan kepada peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian seragam sekolah, apalagi jika tidak sesuai dengan agama atau kepercayaan peserta didik. Hal ini merupakan bentuk intoleransi atas keberagaman yang melanggar peraturan perundang-undangan, nilai pancasila, dan kebhinekaaan (@nadiemmakarim,ahad, 24 /1/2021).

Berbagai kalangan bereaksi atas kasus ini. Ketua komisi X DPR Syaiful Huda merasa sangat prihatin dengan maraknya sikap intoleran di lembaga-lembaga pendidikan milik pemerintah yang akan mengancam kebhinekaan. Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik, meminta kepada pihak sekolah untuk membatalkan aturan tersebut karena tidak sejalan dengan prinsip nondiskriminasi yaitu kebebasan siswa untuk menjalankan keyakinannya menjadi dasar aturan di dalam pelaksanaan pendidikan.

Media terus menyoroti kasus ini, seolah-olah menjadi kesempatan untuk menuduh agama Islam sebagai agama intoleran. Padahal kasus kontoversi seragam muslimah di sekolah bukanlah hal yang baru. Pada tahun 2017 pernah terdapat kasus seperti pelarangan jilbab di SMA N 1 Maumere dan di SD Inpres 22 Wosi Manokwari tahun 2019. Jauh sebelumnya pada tahun 2014 bahkan sampai saat ini terdapat larangan siswi berjilbab di hampir seluruh wilayah Bali. Berdasarkan data pengurus besar Pelajar Islam Indonesia (PII) Bali ada sekitar 40 sekolah yang melarang siswi muslim mengenakan jilbab baik dengan terang-terangan larangan tertulis maupun berupa tekanan dan ancaman.

Lantas mengapa melaksanakan syariat Islam selalu saja dikatakan intoleransi dan melanggar HAM? Seragam muslimah yang terdiri dari rok, kemeja lengan panjang, dan juga kerudung merupakan salah satu jenis seragam sekolah yang tertera dalam Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014, tetapi mengenakannya harus secara sukarela tanpa ada paksaan bagi siswi muslim maupun nonmuslim. Mengenakan jilbab adalah kewajiban bagi setiap muslimah. Aturan tersebut sudah jelas tercantum didalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 31 tentang perintah mengenakan kerudung dan surah Al-Ahzab ayat 59 tentang perintah mengenakan jilbab. Namun, atas nama HAM dan peraturan perundang-undangan, jilbab seolah-olah menjadi pilihan dan hukumnya berubah menjadi mubah. Bahkan tak jarang orang tua muslim akan dikatakan melanggar HAM jika memaksa anaknya untuk mengenakan jilbab, karena dianggap melanggar hak anak, padahal itu dilakukan oleh orang tua sebagai bentuk tanggung jawab sebagai orang tua kepada Allah Swt.

Hal yang lumrah terjadi dalam sistem sekuler yang memisahkan agama dengan tatanan kehidupan sehari-hari. Dimana aktvitas beragama itu dalam masalah ibadah saja, bahkan individu pun diberikan hak, apakah mau beragama atau tidak. Sistem sekularisme menghasilkan ide kebebasan, sangat menjunjung tinggi nilai kebebasan, dari kebebasan berpikir, berkata, berbuat hingga kebebasan berekspresi. Apalagi dalam berpakaian tak peduli melanggar syariat atau tidak. Semua kebebasan tadi jelas akan berdampak pada semakin tingginya angka kriminal, pergaulan bebas, aborsi, narkoba, lgbt, dan lain sebagainya. Jika pemahaman seperti ini terus menjangkiti kaum muslim terutama generasi, tentunya akan membuat nilai-nilai Islam semakin tergerus sehingga sangat mudah tergantikan dengan budaya liberal dari barat.

Indonesia adalah negeri muslim yang sekuler yang senantiasa berkiblat pada barat. Perundangan yang ada sangat memudahkan masuknya budaya liberal yang membuat generasi kehilangan identitas. Bukannya sebagai perisai dan pelindung bagi kemaslahatan umat yang kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah Swt., malah justru memberikan sanksi pada sekolah yang memberlakukan salah satu ajaran Islam. Intoleransi adalah tuduhan yang sangat keji dan tidak pernah terbukti. Pelarangan jilbab yang jelas-jelas bentuk intoleransi pun diabaikan dengan dalih kearifan lokal bagi suatu daerah.

Inilah akibat dari dari tidak diterapkannya Islam secara kafah dalam tatanan kehidupan bernegara. Islam adalah agama yang sangat toleran, tidak ada paksaan atas akidahnya. Allah Swt. berfirman, “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama Islam. Sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa yang ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus.” ( QS al baqarah :256)

Dalam daulah khilafah, penerapan syariat Islam secara kafah, dimana setiap warga negara mendapatkan hak yang sama, tanpa membedakan agama, ras, dan warna kulit. Baik dalam perkara hukum, peradilan, jaminan kebutuhan, dan lain-lain. Negara memberikan perlindungan bagi nonmuslim untuk memeluk akidah dan menjalankan ibadahnya. Begitu pun terkait makanan, minuman, dan pakaian semua diperbolehkan sesuai agama mereka sebatas yang dibolehkan syariat. Namun, dalam kehidupan umum, seluruh wanita baik muslimah maupun bukan, wajib menutup auratnya. Perlakuan Islam yang adil menjadikan seluruh warganya menaati peraturan dengan sukarela dengan hidup berdampingan satu sama lain.

Islam adalah rahmat bagi seluruh alam yang mengatur seluruh kehidupan beragama bagi seluruh warga negara baik muslim maupun nonmuslim dengan memberikan jaminan atas hak mereka tanpa terzalimi satu dengan yang lainnya. Sangat penting bagi generasi untuk memahami dan menerapkan syariat Islam secara kafah agar terhindar dari budaya liberal dari sistem sekuler kapitalis dan memberikan keberkahan bagi umat manusia.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 7

Comment here