Opini

Kekerasan Seksual Marak, Hukum Islam Bertindak

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Diaz Ummi Ais

wacana-edukasi.com, OPINI– Indonesia darurat kekerasan seksual pada anak. Makin hari kasus kekerasan seksual pada anak bukannya makin berkurang justru makin bertambah. Anak yang seharusnya menjadi sosok yang dijaga dan dilindungi, hari ini justru menjadi korban kekerasan seksual.

Adanya kasus pemerkosaan anak oleh 11 orang yang diduga diantaranya adalah anggota polisi, guru dan kepala desa(Kades) di Sulawesi Tengah menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual pada anak. Dikutip dari www.bbc.com, korban yang masih berusia 15 tahun terus kondisinya terus memburuk dikarenakan alat reproduksinya mengalami infeksi akut dan terancan pengangkatan Rahim. Terduga pelaku

Disisi lain, Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah atau Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho menuai kontroversi setelah menyebut kasus yang menimpa R, di Parigi Moutong bukan kategori pemerkosaan.

Dikutip dari Tempo.com, dalam koferensi pers 31 Mei 2023 Irjen Agus Nugroho memilih diksi persetubuhan pada anak dibawah umur daripada pemerkosaan. Agus beralasan tidak ada unsur kekerasan ataupun ancaman dalam kasus tersebut.

“Dalam perkara ini tidak ada unsur kekerasan, ancaman, ataupun ancaman kekerasan termasuk juga pengancaman terhadap korban,” ujar Irjen Agus.

Pernyataan ini menuai berbagai kritik dari pengamat hukum sampai Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dikarenakan pergeseran istilah yang digunakan menurunkan derajat kejahatan.

Tak Heran jika hal ini terjadi, perbedaan definisi antara persetubuhan dengan pemerkosaan membawa konsekuensi yang berbeda terkait ancaman pidana yang akan diperoleh oleh para pelaku tindak kekerasan seksual.

Islam mengkategorikan pemerkosaan kedalam tindakan yang dhalim (aniaya). Kedhaliman ini disebabkan adanya unsur pemaksaan (ikrah) untuk melakukan hubungan persenggamaan terhadap orang lain sehingga menyebabkan luka fisik, berupa hilangnya kehormatan.

Pada dasarnya yang dimaksud kekerasan seksual adalah karena keberadaan ikrah (pemaksaan) dan pelaku aniaya (dhalim) terhadap koraban kekerasan tersebut. Pelaku kekerasan seksual disebut sebagai orang yang memaksa, sementara korban yang dipaksa disebut sebagai mukrah. Karenya adanya unsur aniaya, maka korban kekerasan seksual juga bisa disebut sebagai madlum (orang yang dianiyaya). Untuk pelaku yang memaksa, dia bisa masuk kedalam kategori pezina namun tidak bagi korbannya.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Sulawesi Tengah ini bukanlah satu-satunya. Belum genap enam bulan di tahun 2023 Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatatkaus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia sebanyak 4.280 kasus, medcom.id.

Berulangnya Kasus Serupa, Buksi Lemahnya Hukum yang Berlaku

Berdasarkan data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), jumlah kasusu Kekerasan pada anak di Indonesia makin memprihatinkan. Salah satu penyebab berulangnya kasus ini terjadi akibat lemahnya hukum atau sanksi yang diberikan tidak menimbulkan efek jera. Sanksi yang didapat para pelaku hanya berupa hukuman penjara.

Berbeda dengan sistem Islam, pelaku kekerasan seksual anak dikenakan sanksi yang berat. Para ulama fiqih menyebutkan, pelaku pemerkosaan yang tidak mengancam menggunakan senjata maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana pelaku zina, yakni dirajam hingga meninggal bagi yang sudah menikah dan dicambuk sebanyak 100 kali serta diasingkan bagi yang belum menikah.

Akibat penerapan sistem kapitalis sekuler yang memisahkan antara kehidupan dengan agama, serta pengabaian pengaturan agama dalam kehidupan. Membuat hukum yang berlaku ditentukan berdasarkan hukum yang dibuat oleh manusia bukan berdasarkan hukum yang turun dari sang Pencipta. Sedangkan aturan yang dibuat oleh manusia sarat dengan kepentingan segelintir orang. Terutama para pihak yang sedang berkuasa.

Sistem kapitalis sekuler juga melahirkan sistem pendidikan dan pola asuh yang jauh dari agama mengakibatkan rusaknya moral serta akidah masyarakat.

Selain itu media yang bebas juga berperan penting dalam memicu terjadinya kekerasan seksual ini. Mudahnya mengakses tayangan pornografi dan kekerasan oleh semua kalangan berpengaruh pada perilaku sebagian masyarakt.

Islam akan mengatur media serta informasi yang beredar ditengah-tengah masyarakat. Media yang beredar akan dibatasi pada tayangan atau konten yang membina ketaqwaan serta menumbuhkan ketaan tiap individu masyarakat. Negara juga akan melarang keras konten-konten yang merusak, melemahkan keimanan serta memicu terjadinya pelanggaran syariat.

Islam Punya Solusi

Agar kekerasan seksual pada anak tidak terus berulang maka negara harus memiliki mekanisme sistematis yang mampu melindugi. Negara harus menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan baik dalam ranah sosial maupun ranah privat. Syariat islam juga mewajibkan setiap individu untuk menutup aurot secara sempurna.

Negara juga akan memberlakukan sistem sanksi yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual. Pemberlakuan sanksi rajam dan cambuk dalam Islam akan memberi efek jera pada pelaku kekerasan seksual. Dan bagi orang yang berniat berbuat serupa akan berfikir ulang untuk melakukannya, mengingat beratnya sanksi yang aakan diterima. Karena itu seluruh mekanisme ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya sebuah institusi yang menaungi, maka menerapkan Islam secara kaffah adalah satu-satunya jalan.[]

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 18

Comment here