Opini

Jangan Sampai Kesetrum Neoliberalisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Niqi Carrera, S.Si

wacana-edukasi com– Awal tahun 2022 rakyat kembali diberi kado pahit dengan adanya kabar kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Disinyalir neoliberalisme kembali bermain dalam kenaikan TDL tersebut. Lantas bagaimana nasib rakyat yang selalu kesetrum neolib ini?

Dilansir dari detikcom, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan bahwa saat ini utang PLN sebesar Rp 439 triliun. Beban keuangan yang terbesar bersumber dari beban pembelian listrik dari swasta dan pembelian bahan baku tenaga listrik. Sekitar 70% dari total 150 Trilyun. Tetapi pernahkah kita kaji apakah sebenarnya ini salah PLN? Ataukah perusahaan listrik pelat merah itu hanya korban neoliberalisme?

Mengkritisi Pembelian Listrik dari Swasta

Adanya peran pihak swasta dalam hal penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 111/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Telah dinyatakan Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU 30/2009 inkonstitusional bersyarat (hukumonline.com).

Maknanya tidak ada larangan keterlibatan pihak swasta dalam penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Negara harus masih memegang kendali terhadap keterlibatan pihak swasta.

Faktanya, Pemerintah dari hari ke hari cenderung makin melakukan unbundling terhadap pengelolaan listrik negara. Untuk Jawa-Bali, per Februari 2021, kontribusi pembangkit listrik swasta (IPP) sudah mencapai 50%. Dan akan mendominasi setelah proyek 35 ribu MW ditambah 7 ribu MW rampung. Sebagian dari IPP ditengarai adalah pihak asing.
Tingginya beban pembelian listrik kepada pihak swasta juga dikarenakan dari kesepakatan yang mengandung klausul Take or Pay (TOP). Akibatnya PLN terkena kewajiban untuk membeli listrik swasta sesuai dengan kapasitas yang ada dalam kontrak. Jika besarannya kurang dari kontrak, maka PLN akan membayar denda TOP pada IPP.

Nantinya setelah proyek 35 ribu MW selesai, pengelola jaringan transmisi listrik adalah pihak swasta. Dan peran PLN hanya sebagai penyewa transmisi listrik kepada pihak swasta.
Ini jelas inkonstitusional. Listrik sejatinya dikategorikan sebagai cabang-cabang usaha penting dan strategis yang dikuasai negara. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat 2, yang wajib dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tetapi yang sudah dipraktikkan justru sebaliknya.
Omnibus Law semakin memuluskan penguasaan swasta pada listrik. PLN juga tak berkutik karena tersandera dengan kepentingan oligarki. Neoliberalisme di berbagai lini akan terus menjadi-jadi jika tidak segera dihentikan.

Pembelian Bahan Baku Tenaga Listrik

Batubara sudah lama menjadi tulang punggung listrik negara, selain minyak bumi dan gas alam. Tetapi sejak 2017 batubara menjadi primadona karena harganya paling murah. Masalahnya ketika harga batubara dunia melonjak, maka PLN juga harus tetap membelinya dengan harga mahal. PLN juga tidak mungkin akan merenegoisasi harga batubara, mengingat rata-rata pemilik tambang batubara adalah elit politik negara.

Alasan itulah yang juga membuat PLN pakewuh untuk menghentikan pembelian batu bara atau menegosiasi harga ketika harganya melonjak. Bahkan untuk proyek 35 ribu MW masih mengandalkan batubara sebagai sumber energinya.

Padahal menurut Paris Agreement, untuk mewujudkan penurunan emisi tahun 2025, mengharuskan untuk mengurangi konsumsi energi fosil khususnya batubara. Kembali mengacu pada pasal 33 UUD 1945, seharusnya batubara juga merupakan barang publik. Tidak bisa dibiarkan dikuasai oleh swasta manapun. Lagi-lagi neoliberalisme terbaca dengan jelas dalam hal bahan baku kelistrikan.

Jika batubara diposisikan sebagai barang publik maka pengelolaannya diserahkan pada negara. Maka PLN tidak perlu susah payah membeli batubara dengan harga mahal. Sehingga beban bahan baku yang mahal bisa diatasi. Di sisi lain, sebenarnya Indonesia mempunyai alternatif energi. Potensi total energi baru terbarukan (EBT) sebesar 417,8 Giga Watt. Baru dimanfaatkan sekitar 9,15% saja. Sedangkan pemerintah menargetkan pemanfaatan EBT sebesar 23% dalam bauran energi nasional di tahun 2025 (pojokiklim.menlhk.go.id).

Sumber EBT yang jamak diketahui berasal dari energi surya, angin, micro hydro dan biomass. Meski demikian sampah organic atau bio waste juga bisa diolah menjadi EBT. Selain akan mengurangi 80% emisi karbon, juga akan menyelesaikan masalah sampah di Indonesia.
Selama barang tambang masih dianggap sebagai barang ekonomis maka harganya akan mengikuti dolar. Dampaknya jika dipakai untuk energi pembangkit listrik maka harga listrik menjadi mahal.

Tetapi angin, matahari dan EBT lainnya adalah barang gratis yang tidak mengikuti naik turunnya dolar. Yang perlu dipikirkan hanyalah membuat pembangkitnya di seluruh negara. Disini butuh kerjasama dengan para intelektual bangsa dan subsidi penuh dari negara untuk mensponsorinya.

Bisa dibayangkan kalau saja semua EBT dipakai secara optimal dengan kontrol penuh dari negara, maka negara ini akan mampu memenuhi kebutuhan listrik seluruh rakyat dengan murah sekaligus ramah lingkungan.

Tolak Neoliberalisme Kelistrikan

Di Asia seperti negara Jepang, Korea, Malaysia, mereka menguasai bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya. Dan dinikmati oleh rakyatnya sendiri. Sebaliknya, Indonesia seperti orang asing di negara sendiri. Kekayaan alam yang melimpah di dalam negeri dirampok habis oleh para kapitalis. Rakyat hanya bisa menggerutu sembari membayar tarif listrik yang kian mahal.
Kerja sama triumvirat kapitalis multinasional dan konglomerat nonpribumi di bawah naungan elite penguasa negara pribumi inilah yang memainkan ekonomi Indonesia selama ini.

Sementara rakyat pribumi yang merupakan pemilik sah negara ini tetap saja hidup melarat.
Ekonomi bangsa seakan terpasung dalam kemunafikan, selama masih memegang kapitalisme. Cita-cita para pendiri bangsa agar rakyat bisa menguasai dan menikmati kekayaan alamnya sendiri tidak akan pernah terwujud, meski berkali-kali ganti rezim. Para founding father bangsa ini tidak mungkin ngawur ketika mencantumkan konsep kepemilikan rakyat pada barang publik dalam konstitusi. Mereka terinspirasi konsep islam dalam berekonomi.

Tak dimungkiri spirit mengusir penjajah dari bumi nusantara berasal dari semangat jihad yang dikobarkan oleh para ulama. Spirit islam ini juga masih mewarnai dalam konsep membangun negara. Islam membagi konsep kepemilikan harta pada tiga poin. Harta milik negara (state property), milik rakyat (public property) dan milik pribadi (private property).
Harta milik rakyat masuk dalam kelompok harta yang jika apabila individu maka akan terjadi kelangkaan dan konflik. Termasuk di dalamnya barang tambang, emas, perak, listrik, gas, udara, laut, jalan dan fasilitas umum lainnya
Pengelolaan harta milik umum pada prinsipnya menjadi hak dan wewenang negara. Adapun dari sisi pemanfaatannya tetap harus dinikmati oleh masyarakat umum.

Pemanfaatan harta miik umum yang membutuhkan eksplorasi dan eksploitasi yang membutuhkan dana besar, maka pengelolaannya diserahkan pada negara. Hasil pengelolaannya diberikan lagi kepada rakyat secara gratis atau dengan harga murah.
Disinilah mari sama-sama kita teriak tolak neoliberalisme dalam hal apapun, terutama kelistrikan. Menggantinya dengan sistem ekonomi Islam sesuai cita-cita pendiri bangsa.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 12

Comment here