Oleh: Nursyfa Putri Az Zahra
Wacana-edukasi.com, OPINI--Di era digital, hiburan anak-anak semakin mudah diakses. Mulai dari film animasi di televisi dan layar lebar, kanal YouTube, hingga aplikasi streaming jadi konsumsi harian. Anak-anak yang fitrahnya menyukai hal ceria dan imajinatif, menjadi target utama industri hiburan global. Tapi di balik tayangan lucu dan lagu menyenangkan, banyak terselip pesan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebagai orang tua dan pendidik, kita harus jeli, karena yang terlihat menghibur bisa berdampak serius pada akidah dan pola pikir anak.
Seperti yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan, film animasi keluarga yang tokoh utamanya Don, dijuluki “Jumbo” karena ukuran tubuhnya yang besar. Film ini tampak lucu dan menggemaskan bagi anak-anak, tapi ada satu hal yang patut menjadi perhatian, yaitu adegan interaksi dengan “teman hantu”. Meski tampak imajinatif, ini bisa menormalisasi hubungan dengan makhluk gaib, yang bertentangan dengan akidah Islam.
Bukan hanya Jumbo. Banyak film anak lainnya, seperti Upin & Ipin, SpongeBob, Doraemon, Frozen (Disney), Harry Potter, My Little Pony, Krishna Aur Kans, Chhota Bheem, Shiva, dan lain sebagainya, hingga kanal YouTube seperti Cocomelon, yang menyisipkan unsur-unsur berbahaya secara halus, seperti teman gaib, sihir, LGBT, pluralisme, sinkretisme (percampuran ajaran), tasyabbuh (menyerupai budaya asing), hingga kehidupan tanpa nilai tauhid. Tampilannya lucu dan menarik, tapi isinya mengikis iman secara perlahan.
Salah satu contohnya, pada film Upin & Ipin, dalam episode “Pesta Cahaya”, Upin dan Ipin merayakan Deepavali dengan karakter Devi dan Uncle Muthu. Mereka ikut merayakan, menyalakan lilin dan menghias rumah dengan simbol-simbol khas agama Hindu. Mungkin ini dianggap sebagai bentuk “toleransi”, namun penting untuk dipahami, bahwa bagi anak-anak yang masih dalam tahap pembentukan pemahaman nilai dan akidah, terlalu dini mengenalkan atau membaurkan ajaran agama lain dalam konteks hiburan tanpa penjelasan yang tepat, karena bisa menimbulkan kebingungan, bahkan membentuk persepsi bahwa semua bentuk ibadah atau keyakinan itu sama dan bisa diikuti begitu saja, padahal ini sangat berbahaya.
Dalam film Jumbo sendiri, terdapat alur cerita yang menampilkan interaksi antara Don dan hantu Meri. Don meminta bantuan supranatural dari Meri. Ini jelas menyimpang dari prinsip tauhid. Islam menekankan bahwa pertolongan hanya boleh dari Allah. Meminta bantuan jin atau makhluk gaib bisa menjerumuskan pada syirik. Nabi Muhammad SAW juga tidak mengajarkan menjalin hubungan dengan jin. Mereka bisa menipu, menampakkan diri sebagai anak kecil, atau wujud lain, dan ini bisa menyesatkan.
Meski film-film tersebut memiliki sisi edukatif, tapi tetap perlu penyaringan yang sangat ketat. Anak-anak belum bisa membedakan antara yang baik dan buruk, realitas dan fantasi. Untuk amannya, lebih baik dihindari, tidak usah ditonton sama sekali, karena di balik kejenakaannya, ada pesan-pesan terselubung yang bisa menggoyahkan akidah dan batas-batas agama.
Dari sisi kesehatan dan perkembangan anak, ada batasan yang disarankan terkait screen time, terutama bagi anak usia di bawah lima tahun. WHO menegaskan:
“Untuk anak-anak di bawah usia 2 tahun, screen time tidak dianjurkan. Untuk usia 2-4 tahun, dibatasi maksimal 1 jam; semakin sedikit, semakin baik.” (WHO, 2019)
Di tengah gempuran media global, banyak sekali film anak kini menjauhkan nilai Islam secara halus dari benak generasi kecil kita. Mereka dikemas dengan karakter lucu, lagu catchy, tampilan warna-warni, namun penuh ideologi yang pelan-pelan bisa melemahkan akidah, menormalisasikan kebathilan, dan menjauhkan anak dari tauhid. Orang tua sering kali lengah karena tampilannya yang “ramah anak”, padahal akidah adalah hal paling mendasar, yang harus dijaga sejak dini.
Menjaga akidah adalah kewajiban, bukan pilihan. Jangan sampai hiburan yang kita anggap “aman” menjadi celah yang merusak tauhid anak-anak. Orang tua harus lebih kritis dan selektif dalam memilih tontonan, karena masa depan iman anak kita dimulai dari apa yang mereka lihat hari ini.
Lalu, bagaimana Islam memandang dan mengatur semua ini?
Dalam sistem Islam, tidak ada satu aspek kehidupan pun yang yang dibiarkan tanpa panduan, segalanya tunduk pada hukum syara’, termasuk hiburan dan tontonan. Islam tidak memusuhi hiburan, tapi menempatkannya dalam koridor yang benar, yaitu hiburan yang halal, mendidik, dan menguatkan iman, bukan yang merusak akidah dan mengikis nilai.
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra: 36)
Ini bukan sekedar peringatan, tapi juga perintah, agar kita selektif terhadap apa yang kita lihat dan dengar, termasuk tontonan.
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)
Tayangan yang menormalisasi ritual agama lain, misalnya seorang Muslim ikut merayakan Deepavali, Natal, Halloween, dan sebagainya, bukanlah sekedar bentuk “toleransi”. Bagi anak-anak, ini bisa jadi penyesatan nilai, mereka bisa tumbuh dengan anggapan semua agama benar, semua bisa dirayakan bersama, dan tak ada batasan tegas dalam berakidah. Ini sangat berbahaya.
Dalam sistem Islam, tontonan adalah media dakwah, pendidikan, dan sarana memperkuat kepribadian Islam. Negara Islam akan menyaring, mengatur, bahkan memproduksi tayangan yang tidak hanya menghibur, tapi juga menjadi tuntunan dan menanamkan nilai-nilai Islam—seperti kisah para nabi, sejarah Islam, akhlak mulia, dan petualangan yang sarat nilai, akan menjadi arus utama.
Negara Islam akan bertindak sebagai pemelihara dan penjaga moral dan akidah umat, sebab pemimpin/Khalifah adalah pemelihara.
“Khalifah adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tayangan yang menampilkan aurat, maksiat, sihir, kepercayaan gaib yang menyimpang, atau ideologi sesat akan dicekal. Negara tak akan membiarkan masyarakat, terutama anak-anak, dicekoki ideologi liberalisme, sekularisme, atau gaya hidup hedonis dan materialistik.
Sistem Islam sangat jelas dan tegas dalam mengatur media dan hiburan termasuk tontonan, semuanya diatur berdasarkan hukum syara’ bukan semata selera pasar, tontonan dalam Islam bukan hanya soal halal atau haram tapi juga soal membangun peradaban yang berpijak pada tauhid dan akhlak yang mulia.
Media dalam sistem Islam akan menjadi corong dakwah yang menyentuh hati, menyampaikan Islam dengan cara yang menarik, menyegarkan, dan menyentuh semua lapisan masyarakat, termasuk anak-anak.
Inilah keagungan sistem Islam—menjaga akidah umat bahkan dari hal-hal yang tampak sepele. Sebab Islam tidak sekedar agama ibadah ritual, tapi sistem hidup yang mengatur semuanya, termasuk soal apa yang layak ditonton dan apa yang seharusnya dijauhkan. [WE/IK].
Views: 11
Comment here