Oleh: Azizah, S.Pd.I. (Penyuluh Agama Islam dan Penulis Buku)
Wacana-edukasi.com — Saya punya minat menulis, sih. Tapi usia saya masih terlalu muda. Belum ahli menata kata. Lagi pula siapa nanti yang akan perduli dengan tulisan saya?
Giliran sudah tua, si Fani berkata,
Sekarang saya sudah tua. Mustahil jika melanjutkan hobi menulis. Memori sudah penuh. Mau merangkai kata juga sudah sering terlunta-lunta. Jadi biarlah digantikan mereka yang masih muda saja.
Pernah insecure seperti ini juga? Iyaa … Anda.
Mungkin pengalaman menarik dari seorang Napoleon Hill sedang kita butuhkan. Hill adalah sosok muda yang punya obsesi menjadi penulis. Tapi ia pemuda miskin dan kurang berpendidikan. Banyak keahlian yang perlu dikumpulkannya untuk mewujudkan ambisi sebagai penulis. Salah satunya, ia harus menaklukkan tantangan menguasai kosakata yang kelak “dijualnya”.
Namun, bisikan-bisikan dari orang-orang terpercaya justru memadamkan obsesi Hill, mustahil meraih gelar penulis katanya.
Tapi Hill belajar tak mendengar. Ia tetap rajin menabung, mengumpulkan uang sepeser demi sepeser untuk membeli kamus paling bagus, paling lengkap, dan paling indah. Ia ingin kosakata dalam kamus itu segera dikuasainya. Namun, sebelum keinginan ini tercapai, hal aneh malah dilakukan Hill. Ia membuka halaman yang memuat kata “impossible” dalam kamus lalu mengguntingnya agar lepas. Terbuanglah kata negatif itu, dan tersisa kumpulan kata-kata tanpa konsep “tidak mungkin”.
Sejak itu Hill membangun seluruh cita-cita dan kesuksesannya dengan mindset baru, bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi orang yang ingin tumbuh dan berkembang.
Lalu apakah anda perlu melakukan hal yang sama? Saya tidak menyarankannya. Kerena poin pentingnya adalah abaikan dalih kemustahilan. Singkirkan kosakata itu dari percakapan-percakapan Anda. Biarkanlah konsep itu lenyap dan gantilah dengan ide yang lebih cerah dengan kata “possible”, bahwa anda pasti BISA menulis, jika Anda berpikir BISA menulis. Inilah kesadaran yang wajib ditumbuhkan. Anda adalah apa yang anda pikirkan. Setuju, kan?
Jadi berapa pun umur Anda sekarang, apa pun profesi yang sedang Anda jalani, bagaimana pun posisi finansial yang sedang dihadapi, jangan pernah pensiun sebelum sukses jadi penulis. Karena berani menulis itu tak kenal usia. Apalagi jika anda sadar bahwa menulis bukan sekadar meluapkan emosi sesaat, tapi adalah untuk memberi inspirasi bagi umat. Memperkaya wawasan dan tsaqofah mereka tentang Islam. Terlebih sekarang kita berada di era digital. Lebih banyak orang belajar pintar dari media. Tulisan, kata-kata dan gambar adalah sarananya.
Menulis juga jadi cara buat kita berinvestasi dunia akhirat. Jejak tulisan kita yang tersimpan dan diabadikan, akan menjadi bacaan dan sumber informasi sepanjang zaman.
Saya jadi teringat betapa Islam sangat menghargai ilmuwan, yang notabene mereka juga penulis. Setiap kali usai menuntaskan riset dan inovasinya, saat itu pula karya mereka disalin oleh Warraqien (semacam mesin fotocopy zaman sekarang), digandakan, dan dibukukan dengan tangan mereka sendiri agar menjadi karya populer, menghiasi perpustakaan-perpustakaan yang berbilang jumlahnya, dan tersebar luas hingga seluruh lapisan masyarakat.
Terhadap hasil karya ini orang-orang kaya juga berebut untuk membelinya dengan harga berlipat ganda. Bahkan negara khilafah juga turut menghargainya dengan emas seberat timbangan buku itu. Tak ada hak cipta saat itu. Tak berlaku pula larangan untuk menggandakan buku. Karena ilmu pengetahuan adalah dari Allah dan milik Allah Swt. Tak ada hak prerogatif manusia di dalamnya. Cara-cara yang “royal” dilakukan pada para penulis di masa lalu ini, justru sukses memacu gairah untuk berkarya. Anda tahu alasannya? Mereka punya insight yang berbeda. Tuntunannya adalah sabda Nabi Muhammad saw:
“Barangsiapa meninggalkan kampung halamannya untuk mencari ilmu, dia seperti sedang perang jihad fisabilillah.”
“Tinta seorang pembelajar adalah lebih mulia daripada darah seorang syuhada.”
Maka hati saya ikut terluka saat lebih dari dua juta buku koleksi perpustakaan kaum muslim di Baghdad dimusnahkan oleh serangan pasukan Mongol tahun 1258 M. Karya-karya menumental yang hancur itu murni berupa manuskrip tulisan tangan, mengingat dulu belum ada komputer, laptop, atau gadget dan mesin cetak modern seperti sekarang.
Jadi anggaplah ini adalah secuil tantangan untuk anda dan saya. Menulislah buku-buku berharga untuk menggantinya. Jangan Bilang Tak Mungkin, ya!
Views: 21
Comment here