Oleh: Miladiah Al-Qibthiyah (Pegiat Literasi dan Media)
Wacana-edukasi.com — Sesungguhnya ikhlas adalah hakikat dien dan kunci dakwah para rasul, yakni menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan menjauhi thagut.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang luru ….” [Al-Bayyinah/98: 5]
Yang dimaksud dengan ”agama yang lurus” pada ayat di atas adalah terjauhkan dari perkara-perkara syirik dan menuju kepada tauhid. Di sinilah pentingnya ikhlas dalam selurus amal ibadah agar amalan tersebut tidak sia-sia dan tidak mendapat azab dari Allah, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kemudian bahwa pengaruh ikhlas terhadap amalan itu sangatlah besar. Amal yang kecil dan sedikit jika dilakukan dengan ikhlas dapat memperoleh pahala yang besar.
Ada begitu banyak cara mengukur sejauh mana keikhlasan seseorang ketika beramal, misalnya dengan bersedekah. Pada dasarnya bersedekah itu tanpa pamrih karena orang yang bersedekah akan mendapat pahala dan tidak akan mengurangi hartanya sedikit pun melainkan bertambah. Biasanya orang yang mendapat sedekah akan mendoakan pemberi sedekah. Namun, meminta orang untuk mendoakan kebaikan buat kita, misalnya dilimpahkan rezeki (termasuk buah hati) dan kesehatan hukumnya sunah. Adapun meminta agar dapat membeli mobil, kalau k
dengan adanya mobil tersebut dapat memudahkan urusannya, maka tidak apa-apa. Akan tetapi, jika hanya untuk hura-hura atau pamer, boleh jadi niat sedekahnya bukan lillaahi ta’ala
Orang yang bersedekah dengan mengharap pamrih dunia, maka perlu untuk meluruskan kembali niat sedekahnya, kita bersedekah dengan mengharap rida Allah bukan rida manusia, seperti ingin dipandang dan dihormati. Orang seperti ini hanya menjadikan sedekah sebagai alat untuk kebutuhan duniawinya. Hak tersebut tidak benar apalagi u tuk ikhkas.
Jika kita memberi disertai rasa berat dalam hati maka pemberiannya tidak lillaahi ta’ala. Ikhlas memberi itu ketika tanpa pamrih, tanpa mengharap balasan dan semuanya ditautkan hanya pada Allah. Ikhlas itu tidak di depan juga tidak di belakang. Ikhlas itu berjalan beriringan atau sepaket dengan niat. Contoh, ketika ingin beramal, maka yang harus dilakukan adalah niat (ikhlas lillaahi ta’ala) dan beramal sesuai hukum syariat. Ketika dua itu dilakukan, maka kita telah memenuhi syarat di terimanya amal oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Memberi sesuatu adalah terkategori beramal. Sedangkan syarat diterimanya amalan kita ada dua. Pertama, niat ikhlas lillaahi ta’ala. Kedua, beramal sesuai hukum syariat. Contoh tadi, bersedekah, ketika tanpa pamrih dan hasil tabungan sendiri, maka syarat telah terpenuhi. Contoh lain, memberi sedekah dengan uang hasil curian, maka syarat tidak terpenuhi diterimanya amal, sebab mencuri tidak sesuai hukum syariat. Mencuri perbuatan haram, melanggar syariat, maka amal sedekahnya tidak diterima oleh Allah Swt. Jika tidak punya harta untuk bersedekah, maka jalan satu-satunya adalah bersabar. Semoga Allah melapangkan rezeki kita.
Lalu, bagaimana agar kita bisa memupuk kesabaran dan keikhlasan?
Saudariku, sabar dan ikhlas adalah sama-sama amalan hati. Keduanya harus ditautkan kepada Allah semata bukan kepada manusia. Allah akan senantiasa bersama dengan orang-orang yang sabar dan ikhlas. Jika dia sabar berarti dia telah rida (ikhlas) dengan segala sesuatu yang menimpa dirinya. Namun, jika dia belum rida atas sesuatu yang menimpa dirinya, maka dia belum dikatakan bersabar atas ketetapan Allah atas dirinya.
Akan halnya menyambung silaturrahim, juga bagian dari amalan yang baik, sebab salah satu jalan mendekatkan kita ke surga. Selain itu, dengan silaturrahim, Allah akan meluaskan rezeki dan memanjangkan umur kita. Jika hati merasa gelisah, berhati-hati, sebab itu bisikan dari setan yang ingin memutus tali silaturrahim.
Oleh karena itu, jika ada niat ingin menyambung dan mempererat silaturrahim, lakukan segera dengan sikap rendah hati, memaafkan yang telah menyakiti. Jangan biarkan setan membuat kita lengah, sebab setan tidak ingin kita menjadi salah satu ahli surga, sebaliknya berharap ada yang menemaninya di neraka. Na’udzubillah.
Insyaallah ketika ditautkan hanya pada Allah maka kita telah ikhlas. Namun, keikhlasan menerima segala takdir-Nya bukan berarti dengan mendoakan yang mencelakai kita. Hati-hati mendoakan keburukan atas orang lain, sebab tidak ada hijab bagi doa orang terzalimi dengan Allah. Allah akan mengabulkan doa orang terzalimi secepat kilat. Saya pernah mengalaminya dan Allah kabulkan doa saya saat itu juga. Akhirnya, saya menangis dan memohon kembali pada Allah agar orang tersebut mendapat kebaikan, dan alhamdulillah Allah juga telah mengabulkannya.
Apakah dengan memaafkan, seseorang bisa dikatakan ikhlas?
Ketika dia mengatakan telah memaafkan kita, maka itu cukup menjadi hujjah/bukti di hadapan Allah kelak bahwa kita dan dia telah berbaikan. Perkara dia ikhlas atau tidak itu urusan dia dengan Allah. Kita tidak punya kapasitas menilai ikhlas tidaknya seseorang.
Ikhlas itu ketika murni hanya untuk Allah saja. Ketika di dalam hati ada yang mengusik, maka itu bisikan syaithan agar kita melupakan Allah sebagai satu-satunya bagi hati kita untuk berlabuh, bahwa setiap aktivitas/amalan yang kita lakukan wajib atas rida Allah. Mengingat kebaikan juga perlu berhati-hati, jangan sampai terbesit riya’, maka amal yang kita lakukan akan di kali nol. Sehingga menumbuhkan atau menanamkan rasa ikhlas dalam hati/diri kita harus menumbuhkan kecintaan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala 100%.
Pada dasarnya kita semua adalah manusia pembelajar, maka tidak ada kata tertinggal dalam belajar, termasuk belajar keikhlasan. Sebab, ilmu yang kita pelajari dan amalkan, akan meninggikan derajat kita dihadapan Allah.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 235
Comment here