Opini

Amankah Belajar Tatap Muka?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Rayani Umma Aqila

Wacana-edukasi.com Komisi X DPR mendukung Pemerintah membuka sekolah pada Januari 2021. Sejalan dengan Pemerintah yang disebut berencana membuka sekolah untuk pembelajaran tatap muka pada Januari 2021 mendatang. Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menyatakan, Komisi X DPR mendukung rencana tersebut dengan beberapa syarat, mendukung pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka tetapi hal itu harus dilakukan dengan protokol Kesehatan ( liputan6.com 20/11/2020).

Huda menyebut, pembukaan sekolah tatap muka memang menjadi kebutuhan, terutama di daerah-daerah. Hal ini terjadi karena pola pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak bisa berjalan efektif karena minimnya sarana prasarana pendukung, seperti tidak adanya gawai dari siswa dan akses internet yang tidak merata. Menurutnya kondisi tersebut akan memunculkan efek domino dimana peserta didik akan kehilangan kompetensi sesuai usia mereka.

Lebih parahnya lagi, peserta didik banyak yang harus putus sekolah karena tidak mempunyai biaya atau terpaksa harus membantu orang tua mereka. Melalui kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mengizinkan pemerintah daerah untuk memutuskan pembukaan sekolah atau kegiatan belajar tatap muka di sekolah di seluruh zona risiko virus corona mulai Januari 2021. Nadiem mengatakan keputusan pembukaan sekolah akan diberikan kepada tiga pihak, yakni pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil) dan orang tua melalui komite sekolah. (cnnindonesia.com 20/11/2020).

Meskipun pembukaan sekolah di zona hijau dan kuning dilakukan dengan sejumlah syarat, seperti harus mendapat izin pemerintah daerah hingga orang tua, kebijakan ini tetap menyisakan kekhawatiran. Banyaknya masalah dalam sistem pendidikan saat ini, baik sebelum dan saat pandemi merupakan buruknya pelayanan pendidikan. Ini menunjukkan kebijakan rezim sekuler bersifat sektoral sekaligus mengkonfirmasi bahwa pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah jauh dari meriayah masyarakat dari seluruh aspek termasuk penanganan wabah oleh pemerintah saat ini.

Pemerintah yang sejak awal mencanangkan gerakan penanggulangan pandemi global, tetapi pada kenyataannya telah gagal merespon dalam melakukan intervensi bagi pemutusan rantai penularan secara efektif. Sebab sejak awal negara yang menerapkan sistem kapitalisme berorientasi materi tidak segera mengambil kebijakan memisahkan antara yang sakit dan yang sehat. Di tengah kondisi ini pemerintah mengambil kebijakan PSSB. Dan pemberlakuan new normal tanpa disertai tracking yang massif ke tengah-tengah masyarakat.Komersialisasi pelayanan kesehatan dalam kapitalisme menjadi penghalang munculnya inisiatif dari masyarakat untuk melakukan tes corona baik rapid test maupun swab test.

Pada akhirnya, saat aktivitas dimulai dianggap telah normal walaupun ada peraturan prokes lonjakan penularan terus bertambah. Menjadi dilema pendidikan negeri ini. Di satu sisi PJJ dipandang tidak menjamin kualitas pendidikan karena sulitnya akses internet di daerah serta sarana fasilitas, tetapi di sisi lain kekhawatiran terhadap penularan wabah terus menghantui. Padahal, jika pemerintah serius memisahkan antara yang sakit dan sehat tentu karantina berhasil diterapkan pada masyarakat.

Inilah watak rezim kapitalisme yang tidak begitu peduli pada penularan penyakit dan keselamatan nyawa rakyatnya. Berbeda dengan Islam sebagai ideologi, Islam telah meletakkan paradigma kepemimpinan yang dipenuhi ketentraman dan keberkahan serta bentuk-bentuk pengaturan sistem kehidupan yang solutif sepanjang zaman. Islam menempatkan Pendidikan adalah kebutuhan dasar masyarakat. Sehingga negara mempunyai kewajian untuk memenuhi hak mereka dalam berpendidikan. Untuk itu negara harus mempunyai kendali penuh terhadap sektor ini.

Sistem pendidikan Islam yang memiliki tujuan pada pembentukan kepribadian Islam, menguasai pemikiran Islam dengan handal,menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK), memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna adalah hal yang sangat mendasar. Jika terjadi wabah atau pandemi, maka negara akan sigap mencari jalan terbaik agar seluruh warga mendapatkan hak pendidikannya. Begitupun teknologi telekomunikasi, jika pandemi ini mengharuskan manusia menjaga jarak.

Lalu pembelajaran jarak jauh alias daring harus dilakukan, maka khilafah akan dengan mudah menyelesaikan persoalan tersebut. Karena tidak ada problem ketimpangan antara kota dan desa. Selain itu, khilafah pun akan mengeluarkan kebijakan yang sejalan dengan misi utamanya saat pandemi. Yaitu menghentikan wabah dan berusaha keras mencari vaksin atau obat untuk menyelamatkan umat manusia. Sehingga, pandemi ini akan cepat berakhir dan pendidikan akan kembali normal.
Karena fitrahnya proses belajar dalam Islam adalah talqian fikrian. Yaitu bertemu langsung dengan sang pemberi ilmu, di sana akan terjadi transfer ilmu dari guru pada muridnya dengan optimal. Namun sayang, pandemi terus saja tak terkendali di bawah pengurusan rezim kapitalis ini. Malah mencoba berdamai dengan corona.

Hasilnya, pembelajaran yang dilakukan dalam masa wabah, sekolah dibuka dengan risiko besar semua ini akan berimbas pada guru dan murid. Dengan demikian sudah saatnya beralih dari sistem pemerintahan kapitalisme di bawah naungan demokrasi menuju sistem pemerintahan khilafah yang meriayah rakyatnya dengan sebenarnya.

Wallahu a’lam Bisshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 0

Comment here