Opini

Menyoal Adanya Pasar Murah, di Tengah Kenaikan Bahan Pokok

Bagikan di media sosialmu

Oleh: Nurhalisa (Aktivis Muslimah)

Wacana-edukasi.com, OPINI–Harga barang pokok terus melonjak, pasar murah pun diadakan oleh pemerintah agar menyediakan kebutuhan pokok dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan harga pasar biasa. Lantas, benarkah pasar murah dapat meningkatkan daya beli masyarakat? Ataukah ini hanya jadi solusi sementara saja?

Dilansir dari detikSumut.com, 23/6/2025), pengoperasian pasar murah dari Perusahaan Daerah Pasar Kota Medan ini diselenggarakan untuk menjamin stok barang dan konsistensi harga barang pokok. Di samping itu, pasar murah tersebut juga untuk mengonfirmasi bahwa kebutuhan bahan pokok di masyarakat dapat tercukupi. Pasar murah di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut) kembali hadir dengan mempromosikan harga sembako yang murah bagi siapa saja. Ada beraneka macam kebutuhan pokok yang dijajakan di pasar murah ini seperti minyak goreng, gula pasir, sirup, beras dan sebagainya.

Seperti yang kita ketahui, bahwa harga barang pokok di pasar saat ini makin melonjak tinggi. Harga minyak goreng naik 55%, daging 29%, cabai 113%, gula pasir 11%, dan harga beras yang hampir stabil naik hingga 30% selama tujuh tahun terakhir. Sedangkan 50% dikeluarkan untuk membeli pangan dalam rumah tangga. Dampaknya, keuangan keluarga banyak yang makin kacau akibat pengeluaran yang terus naik, tak sebanding dengan sisi pemasukan yang cenderung turun.

Ada beberapa faktor yang jadi penyebab harga bahan pokok naik. Pertama, perubahan iklim. Kemarau panjang atau hujan yang terus-menerus membuat produktivitas tidak stabil dan akhirnya stok pun menurun. Kedua, masalah kurangnya sarana produksi pertanian, mulai dari pupuk subsidi hingga permasalahan benih. Ketiga, kebijakan impor, dalam jangka pendek, impor mungkin bisa menjadi solusi atas kelangkaan pangan. Jika sudah terkait dengan impor, stabilisasi harga pangan pun kian tidak pasti. Harga pangan makin mahal sebab yang menguasai harga bukan lagi penawaran dan permintaan, melainkan kartel perusahaan besar.

Oleh karena itu, sebagian besar pemerintah provinsi di Indonesia mengambil tindakan dengan melakukan kerja sama dengan pihak swasta, terutama perusahaan atau distributor bahan pokok untuk melaksanakan operasi pasar murah. Masyarakat tentu merasa senang menyambut kehadiran pasar murah ini, karena keberadaannya memang sangat dibutuhkan. Apalagi bagi masyarakat menengah ke bawah, opsi pasar murah layaknya oase di padang pasir. Namun, perlu di garis bawahi, jika memang negara serius dalam mengatur hajat hidup orang banyak, seharusnya pasar murah ini tidak hanya ada ketika bahan pokok berada di titik kritis saja. Sebab, kebutuhan pokok itu bersifat stabil dan jangka panjang, akan terus dibutuhkan demi kelanjutan hidup manusia.

Bukankah menjadi salah satu tugas pemerintah dalam mengatur urusan rakyatnya dengan semestinya, termasuk menyiapkan kebutuhan pokok masyarakat dengan harga murah ataupun terjangkau? Di samping itu, kenaikan harga bahan pokok yang berulang kali membuktikan ada kesalahan pengelolaan oleh pemerintah dan harus cepat mendapat prioritas utama dan atensi penguasa. Lantaran, ini bersangkutan dengan hajat hidup orang banyak serta tak ada jaminan operasi pasar murah bisa menekan laju harga dan memenuhi kebutuhan pokok rakyat.

Dari sini, sistem kapitalisme mulai terendus. Alih-alih menyokong daya beli masyarakat, pemerintah malah menguntungkan para korporasi. Bagaimana tidak, pemerintah malah bekerja sama dengan pihak ketiga, yaitu korporasi dalam membuka operasi pasar murah bahan pokok. Masyarakat pun akhirnya menyadari bahwa persoalan tingginya harga bersumber dari lemahnya peran riayah negara akibat dari paradigma kapitalisme neoliberal.

Sistem ini menyebabkan negara cuci tangan dalam mengatur umat. Sistem ekonomi ini menempatkan negara hanya sebatas pengontrol, sedangkan semua penanganan umat dialihfungsikan pada swasta. Dengan kata lain, korporasi hanya bicara tentang keuntungan berlimpah ruah saja, mereka tidak peduli dengan keadaan rakyat yang kekenyangan ataupun mati kelaparan. Kemudian, dampak dialihkannya pengurusan umat pada swasta akan menciptakan para mafia pangan.

Merekalah yang akan mendominasi hulu sampai hilir perkara pangan, mulai dari pemegang kendali lahan hingga penjualan retail. Walhasil, lowongan kerja makin terjepit, upah kian kecil, tetapi harga kebutuhan makin meroket tinggi. Maka dari itu, berharap harga pangan murah di sistem hari ini bagai mimpi pada siang bolong yang tak mungkin dapat terwujudkan. Selagi kepimpinan masih menggunakan kapitalis neoliberal dan pemerintahnya abai terhadap nasib rakyatnya menjadi paket lengkap dalam melahirkan penderitaan rakyat.

Berbeda dengan Islam, sistem Islam akan menaruh pasar dalam tempat yang paling penting dalam aktivitas perekonomian. Pada masa Rasulullah SAW, dan masa para sahabat, posisi pasar amatlah besar terhadap usaha ekonomi umat. Rasulullah mengamati harga yang terbentuk dengan sendirinya oleh pasar sebagai harga yang adil. Rasul menolak adanya campur tangan pasar atau standar harga oleh pemerintah. Walaupun begitu, harga yang tercipta oleh pasar mewajibkan adanya prinsip kejujuran, moralitas, keterbukaan, dan keadilan.

Untuk menjaga konsistensi harga di pasaran dapat melalui dua cara. Pertama, meniadakan mekanisme pasar yang tidak sesuai syariat, seperti penumpukan, campur tangan harga, dan lainnya. Islam tidak melegalkan penumpukan dengan menyimpan stok agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah SAW melarang penimbunan makanan.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi)

Jika pedagang, importir, atau siapapun yang menumpuk, ia akan didesak untuk mengeluarkan barang dan menempatkannya ke pasar. Bila imbasnya besar, pelakunya bisa mendapat hukuman ekstra sesuai aturan pemerintah dengan memperhitungkan imbas dari tindak pidana yang ia lakukan. Kedua, Islam tidak menyetujui adanya penepatan harga atau intervensi. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslim untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada hari kiamat kelak.” (HR Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi)

Pedagang, importir, dan sebagainya, jika membuat sebuah perjanjian harga, itu terhitung intervensi dan terlarang. Jika terjadi kesenjangan (harga naik/turun drastis), negara melewati lembaga pengurus atau lembaga pengawas harus cepat menyesuaikannya dengan menghadirkan barang dari daerah lain. Dengan demikian, ketakutan mengenai kenaikan harga barang pangan bisa diatasi. Pasar murah bisa diselenggarakan tidak hanya sewaktu harga bahan pokok mahal, tetapi pada hari-hari biasa juga. Untuk itu, tidak perlu ada penetapan harga karena setiap pedagang memiliki modal yang berbeda-beda. [WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 9

Comment here