Opini

Di Balik Narasi Separatis, Aceh hanya Ingin Taat

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Apt. Endang Rahayu

Wacana-edukasi.com, OPINI--Awal Juni 2025, Kemendagri tiba-tiba menerbitkan SK yang menetapkan bahwa empat pulau—Panjang, Lipan, Mangkir Ketek, dan Mangkir Gadang—secara administratif kini masuk wilayah Sumatera Utara, bukan Aceh. Keputusan ini langsung disambut gelombang protes. Daari DPRA, aktivis, hingga pemuda dan HMI mengecamnya sebagai “pengkhianatan struktural”, “pencaplokan secara halus”, bahkan “perampasan marwah Aceh”

Tak berselang lama, SK Kemendagri ini telah dianulir oleh Presiden Prabowo. Disebutkan bahwa alasan pemerintah memutuskan 4 pulau sengketa masuk wilayah Aceh, karena telah ditemukan dokumen asli berisi kesepakatan Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada 1992 berisi penegasan bahwa ke empat pulang sengketa masuk wilayah Aceh.

Meski sengketa telah diselesaikan, diskusi seputar Aceh dan sejarah panjang hubungannya dengan pemerintah pusat dan warisan Islam yang kuat masih terus menjadi perbincangan. Apa yangmenjadikan sejarah provinsi ini menjadi istimewa?

Separatisme dan Warisan Islam yang Mengakar

Selama ini, gerakan Aceh sering dibingkai dalam satu kata yang membuat banyak orang langsung menutup pintu dialog: separatisme. Kata itu memotong sejarah, mengubur rasa, dan membungkam aspirasi, seakan Aceh hanya ingin memisahkan diri.

Namun, untuk melihat dengan jernih masalahnya, perlu dibuka kembali lembaran sejarah dan memahami ruh perjuangan Aceh. Aceh bukan sekadar provinsi di ujung barat Indonesia. Ia adalah tempat bersemainya Islam pertama kali di Nusantara. Dari Samudera Pasai hingga Kesultanan Aceh Darussalam, Islam tidak hanya menjadi agama pribadi, tapi menjadi fondasi sistem pemerintahan, hukum, pendidikan, dan hubungan luar negeri.

Islam mengalir dalam darah Aceh bukan sebagai warisan budaya semata, tapi sebagai kompas hidup. Ketika kolonialisme datang, Aceh adalah yang terakhir takluk. Bukan karena Aceh punya lebih banyak senjata, tapi karena mereka punya keyakinan kuat bahwa hidup mulia adalah hidup di bawah naungan syariat Allah.

Pasca kemerdekaan Indonesia, rakyat Aceh tak serta-merta menemukan cita-cita perjuangan mereka tercapai. Janji-janji pusat tentang syariat Islam dilanggar. Pembangunan dikuasai pusat. Kekayaan bumi Aceh, mulai dari gas Arun hingga tambang-tambang strategis dikelola oleh asing dan elit pusat, seperti Exxonmobile yang mulai beroperasi lagi setelah meninggalkan Aceh satu dekade.

Berbagai gerakan perlawanan menjadi respon masyarakat atas kondisi ini. pada tahun 1953-1962 muncul gerakan DI/TII di bawah Tgk. Daud Beureueh disususl GAM (Gerakan Aceh Merdeka ) yang mncul tahun 1976. Jika melihat tuntutan masyarakat Aceh, dapat kita lihat bahwa ruh perjuangan masyarakat Aceh adalah penolakan mereka untuk dijajah oleh sistem sekuler dan kapitalistik. Narasi memperjuangkan kedaulatan untuk hidup dalam hukum Allah juga menjadi opini besar di tenga masyarakatnya.

Perjuangan Menerapkan Syariat Islam

Setelah konflik berdarah selama puluhan tahun, lahirlah Perjanjian Helsinki tahun 2005. Perjanjian ini memutuskan untuk memberi Aceh Otonomi Khusus dan diizinkan untuk menjalankan Syariat Islam. Akan tetapi, realitasnya, pelaksanaan syariat dibatasi hanya pada hal-hal kecil, seperti pakaian, pengaturan pergaulan remaja, hukuman cambuk, dan hal kecil lainnya. Sementara untuk hukum yang berkaitan dengan sistem ekonomi tetap menggunakan yang berbasis riba, pemerintahan tidak didasarkan Islam, serta pengelolaan sumber daya alam juga tidak diatur berdasarkan hukum Allah.

Masyarakat Aceh menganggap bahwa rakyat Aceh hanya boleh melaksanakan syariat di pinggir, bukan di pusat kekuasaan. Sebagian masyarakat bahkan memandang bahwa Ini adalah penghinaan terhadap syariat itu sendiri, yang hanya dijadikan pelengkap budaya, bukan pedoman utama kehidupan.

Seruan ini kerap muncul dalam berbagai kesempatan, misalnya dukungan pemuda Aceh pada paslon yang menjanjikan penegakkan syariat Islam. Demikian juga aksi Aktivis Dayah dan Ulama Aceh dalam Aliansi Rakyat Atjeh Bergerak (ARAB) dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang menuntut syariat diterapkan penuh, bukan sekadar dikumandangkan (theacehpost.com, 25/5/25).

Syariat, Untuk Aceh, Indonesia, dan Dunia

Kedekatan sejarah dan perjalanan kehidupan rakyat Aceh yang senantiasa hidup dalam suasana keimanan sangat wajar ketika mendorong mereka hidup sesuai dengan tuntutan akidah mereka, yaitu akidah Islam. Hanya saja yang menjadi tantangan besar adalah kerinduan rakyat Aceh kepada syariat Islam kafah ini tidak bisa dipenuhi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sekular dan pluralis.

Oleh karena itu, menjadi wajar jika tuntutan ini dianggap abstrak atau bahkan separatis, bukan karena keinginannya tidak jelas,tetapi karena wadahnya memang tidak kompatibel. Banyak yang menganggap perjuangan rakyat Aceh menjadi tidak relevan dan tidak bisa dipahami semua pihak.

Perjuangan rakayt Aceh menjadi relevan, jika perjuangan menerapkan syariat Islam bukan hanya untuk Aceh saja, tetapi lebih tepat jika disuarakan sebagai jalan keluar untuk permasalahan umat dan negeri ini. Dengan demikian maka narasi syariat tidak akan dilabeli separatisme, aspirasi Aceh juga tidak dipinggirkan sebagai isu loka, dan syariat menjadi visi nasional, bukan hanya regional.

Fakta bahwa negeri ini mengalami berbagai macam kedaruratan di berbagai sistem. Kerusakan dalam sistem kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik tidak bisa ditolak. Hal itu terjadi di semua wilayah negeri ini, bahkan dunia. Oleh karena itu, perjuangan untuk menerapkan syariat Islam sebagai solusi menyelesaikan masalah umat menjadi sangat relevan.

Maka, perjuangan Aceh harus dilihat sebagai bagian dari perlawanan terhadap sekularisme global, penolakan terhadap sistem kapitalisme yang mengeruk bumi tapi menelantarkan manusia, dan seruan untuk kembali tunduk kepada syariat Allah, satu-satunya hukum yang adil dan menyelamatkan.

Di balik narasi separatisme, tersimpan jiwa-jiwa yang tidak ingin hidup seenaknya, tapi ingin hidup setunduk-tunduknya kepada Allah. Kini saatnya suara Aceh menjadi suara seluruh umat. Bukan untuk memberontak, tapi untuk membangkitkan kembali harga diri kita sebagai umat yang hanya tunduk pada satu hukum, Syariat Allah SWT.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 0

Comment here