Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA–Beberapa waktu lalu, publik digemparkan dengan viralnya video anggota DPR yang berjoget di ruang sidang. Aksi tersebut langsung menuai kritik tajam dari masyarakat. Bagaimana tidak, di tengah kondisi rakyat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi, justru para wakil rakyat terlihat bersenang-senang tanpa rasa empati. Warganet pun geram karena perilaku tersebut semakin memperlihatkan jurang yang lebar antara kehidupan rakyat kecil dan kenyamanan pejabat.
Belum reda kemarahan masyarakat, mencuat pula kabar fantastis mengenai pendapatan anggota DPR periode 2024–2029. Disebutkan bahwa mereka bisa mengantongi pendapatan bersih mencapai Rp100 juta per bulan, ditambah tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta. Jika dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2025 yang hanya Rp2,26 juta, maka gaji anggota DPR setara dengan 45,95 kali lipat UMP DIY. Perbandingan yang sangat mencolok ini semakin mempertebal rasa ketidakadilan di hati masyarakat.(tribunnews.com, 21/8/2025).
Wajarlah jika akyat marah, karena hilangnya kepekaan sosial dari para pejabat. Wakil rakyat yang seharusnya memahami penderitaan rakyat justru terkesan asyik dengan kepentingan dan kenyamanan pribadi? Tak heran, wibawa parlemen kian merosot. Rakyat mulai muak dengan ulah para politisi yang hanya sibuk dengan kepentingannya, abai pada penderitaan bangsa.
Runtuhnya kewibawaan parlemen menjadi bukti nyata rapuhnya sistem demokrasi. Demokrasi yang selama ini diagungkan dengan jargon “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” ternyata hanya sekedar jargon saja. Korupsi yang merajalela, permainan uang dalam penyusunan undang-undang, serta kebijakan yang lebih menguntungkan kapitalis daripada rakyat banyak, menjadi bukti bobroknya sistem ini.
Lihat saja,berapa banyak undang-undang yang lahir dari rahim demokrasi, seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja, dll. Alih-alih melindungi kepentingan rakyat, justru lebih menguntungkan para pemodal besar. Ini akan memperjelas bahwa demokrasi hanyalah alat legitimasi untuk kepentingan segelintir orang. Endingnya rakyatlah yang menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak pada mereka.
Jika ditelisik lebih dalam, kebobrokan demokrasi sesungguhnya tidak lepas dari asas sekularisme yang menjadi fondasinya. Karena sekulerisme ini memisahkan agama dari kehidupan, maka aturan yang dibuat berdasarkan akal manusia. Padahal akal manusia itu terbatas dan juga dipengaruhi hawa nafsu, dan rentan intervensi kepentingan. Selama sistem ini dijadikan asas dalam membuat aturan maka keadilan dan kesejahteraan tidak akan pernah terwujud pada masyarakat.
Kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi pun mulai pudar. Masyarakat semakin sadar bahwa demokrasi bukanlah solusi, melainkan sumber masalah. Perlu solusi yang tidak hanya sekedar parsial,solusi yang benar-benar bisa membawa negeri ini ke arah yang lebih baik. Perlu kiranya umat Islam terbuka dengan syariat Islam sebagai solusi. Karena Islam sejatinya bukan hanya mengatur ibadah dan akhlak saja. Namun syariat Islam juga mengatur semua ranah kehidupan ( ekonomi, pendidikan, politik, sosial, dll).Syariat Islam menjamin terciptanya keadilan dalam setiap aspek kehidupan. Aturan yang ditetapkan bukan hasil kompromi politik, melainkan bersumber dari wahyu Allah SWT. Maka produk aturan yang dihasilkannya pasti sesuai fitrah manusia, menolak kezhaliman, dan membawa maslahat.
Islam sebagai problem solving kehidupan dan sebuah sistim yang paripurna. Sistim yang paripurna ini diterapkan dalam pemerintahan yaitu khilafah. Dalam sistem ini, penguasa diposisikan sebagai pelayan umat, bukan penguasa yang harus dilayani. Para penguasa sadar, bahwa dalam mengemban tugasnya nanti, ia akan dimintai pertanggungjawaban yang berat di hadapan Allah, sehingga ia terdorong untuk benar-benar menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.
Melihat fakta saat ini maka, umat seharusnya semakin sadar, bahwa demokrasi sudah semakin rapuh dan sudah tidak layak dipertahankan. Tidak cukup hanya menuntut perbaikan wajah parlemen, atau berharap anggota dewan yang punya integritas. Sistem yang cacat tidak bisa diperbaiki dengan tambal sulam. Jalan keluar sejati adalah mengganti sistem yang rusak ini dengan sistem yang benar, yaitu syariat Islam secara menyeluruh. Dengan demikian, solusi atas runtuhnya kewibawaan parlemen dan rapuhnya demokrasi bukanlah memoles demokrasi, melainkan meninggalkannya. Umat harus kembali pada syariat Islam dalam sebuah sistem pemerintahan yang berlandaskan wahyu Allah, bukan hawa nafsu manusia. Dengan begitu, keadilan, kesejahteraan, dan kemuliaan umat benar-benar terwujud.
Mey Ummu ‘Asma
Views: 16


Comment here