Opini

Vaksin TBC, Kesehatan Indonesia dalam Intervensi Kapitalis

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Riena Enjang

Wacana-edukasi.com, OPINI–Diberitakan oleh kemkes.go.id (8-6-2025), Indonesia telah melakukan proses pengambilan 2.095 partisipan untuk mengikuti uji klinik fase 3 vaksin Tuberkulosis (TBC) M72. Proses rekrutmen ini adalah bagian dari studi global yang melibatkan Afrika Selatan, Kenya, Zambia, dan Malawi. Uji klinik ini bertujuan untuk mengetahui seberapa aman maupun efektivitas vaksin M72 dalam mencegah TBC paru. Vaksin yang dikembangkan sejak awal 2000-an ini didukung penuh oleh Bill & Melinda Gates Foundation.

Di Indonesia, uji klinis ini dilaksanakan di pusat-pusat medis yang terkemuka seperti FKUI, RSUI, RSUP Persahabatan, RS Islam Cempaka Putih, maupun di FK UNPAD. Seleksi pada para partisipan telah dimulai sejak 3 September 2024 dan akan selesai pada 16 April 2025.

Dari 20.081 partisipan uji klinis, kontributor terbanyak adalah dari Afrika Selatan. Prosedur uji klinis vaksin yang dilakukan melalui tahapan pra-klinik, fase 1, fase 2, hingga fase 3 ini menjadi acuan evaluasi regulator sebelum izin edar diberikan. Pelaksanaan uji klinis vaksin M72 di Indonesia dipantau dengan seksama oleh WHO, BPOM, Kementerian Kesehatan RI, dan para ahli vaksin TBC. Semua ini dilakukan karena TBC menjadi salah satu penyakit menular dengan angka kematian tertinggi di dunia.

Mengapa Indonesia

Pertama, posisi strategis Indonesia dalam riset global. Tingginya angka kasus TBC, di Indonesia, maka menjadi lokasi yang relevan untuk menguji efektivitas vaksin dalam populasi yang paling terdampak. Di samping itu, juga memberi kesempatan bagi Indonesia untuk tidak hanya menjadi penerima hasil penelitian, tetapi juga menjadi bagian dari proses pengembangan dan validasi ilmiah global.

Kedua, aspek ilmiah dan potensi dampak kesehatan masyarakat. Vaksin M72 telah menjadi kandidat vaksin TBC paling menjanjikan. Jika terbukti aman dan efektif, vaksin ini dapat menjadi game changer dalam upaya mengeliminasi TBC. Hal ini karena vaksin BCG yang ada saat ini memiliki keterbatasan perlindungan terhadap TBC pada orang dewasa. Artinya, keberhasilan uji klinik ini bisa berdampak besar pada sistem kesehatan di negara-negara endemis, termasuk Indonesia.

Ketiga, kolaborasi dan pengawasan Internasional. Pelaksanaan uji klinis yang diawasi oleh WHO, BPOM, dan Kemenkes RI menunjukkan adanya standar tinggi dalam pelaksanaan riset medis. Ini hal yang penting untuk menepis kekhawatiran masyarakat, bahwa Indonesia dijadikan “kelinci percobaan,”. Selain itu, juga untuk menegaskan bahwa uji klinik dijalankan secara etis, ilmiah, dan transparan.

Dampak dari uji klinis

Uji klinis vaksin TBC M72 di Indonesia diperkirakan akan membawa harapan besar dalam pemberantasan TBC, tetapi sejatinya tetap memiliki dampak buruk yang perlu diperhatikan. Dari sisi medis, partisipan bisa mengalami efek samping mulai dari yang ringan seperti demam dan nyeri lokal, hingga yang lebih serius, meskipun pengawasan sudah dilakukan secara ketat.

Selain itu, masih ada kekhawatiran soal etika, terutama jika partisipasi tidak sepenuhnya sukarela atau jika persetujuan diinformasikan dengan kurang jelas. Di sisi lain, kurangnya pemahaman masyarakat juga bisa memicu stigma terhadap partisipan dan memunculkan persepsi negatif bahwa Indonesia hanya menjadi tempat uji coba, bukan penerima manfaat utama.

Dampak lain yang perlu diantisipasi adalah ketimpangan akses terhadap hasil uji klinis. Meskipun Indonesia menjadi salah satu negara uji, belum tentu vaksin akan langsung tersedia bagi masyarakat secara adil setelah berhasil dikembangkan. Ketergantungan terhadap pendanaan dan teknologi dari lembaga asing juga menimbulkan kekhawatiran tentang kemandirian riset dalam negeri.

Uji klinis vaksin TBC akan menjadi bahan intervensi kaum kapitalis dalam sektor kesehatan. Hal ini karena kaum kapitalis akan mengedepankan keuntungan finansial dari pada kesejahteraan umat. Ideologi kapitalisme akan menjadikan penyakit dan penderitaan manusia sebagai ladang bisnis bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam Islam.

Sistem kapitalistik yang memprioritaskan investasi dan laba sering kali mengabaikan akar permasalahan kesehatan, seperti kemiskinan, lingkungan yang buruk, dan ketidakadilan sosial. Padahal, Islam menuntut solusi yang menyeluruh dan menyentuh aspek-aspek tersebut secara fundamental. Ketergantungan pada lembaga asing dalam riset dan pengembangan vaksin juga bertentangan dengan prinsip kemandirian yang diajarkan Islam. Oleh karena itu, umat dan negara harus mampu mengelola sumber daya yang ada secara mandiri demi kemaslahatan rakyat.

Selain itu, Islam menolak sistem sekuler liberal yang memisahkan agama dari aspek kehidupan, termasuk sektor kesehatan. Hal ini karena kebijakan kesehatan menjadi tidak berpihak pada umat dan mudah dikuasai oleh kepentingan para pemilik modal. Berbeda dengan itu, Islam mengajarkan keadilan dalam distribusi layanan kesehatan. Karena itu, akses terhadap pengobatan dan pencegahan penyakit harus merata dan tidak bergantung pada kekuatan pasar atau politik. Dengan demikian, sistem kesehatan dalam Islam harus berada di bawah kendali negara yang menerapkan syariat Islam. Hal ini karena hanya sistem Islam yang mampu menjamin kesejahteraan dan keadilan termasuk bidang kesehatan, bagi seluruh warga tanpa diskriminasi maupun eksploitasi.

Pandangan Islam

Sistem Islam memegang prinsip bahwa kesehatan merupakan hak rakyat yang harus dipenuhi oleh negara. Dalam sistem ini, pengelolaan kesehatan bukan sekadar urusan medis, tetapi menjadi tanggung jawab negara atau khalifah yang wajib di jalankan secara adil meliputi aspek promotif, preventif, dan kuratif. Dalam Islam, negara tidak menyerahkan urusan kesehatan pada swasta atau para pemodal, melainkan mengatur dan menyediakan layanan kesehatan yang merata dan berkualitas bagi seluruh rakyat. Rasulullah bersabda,

«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya, “Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sistem Islam juga menekankan penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan untuk mendukung kesehatan masyarakat. Misalnya, ajaran Islam yang mengatur pola hidup bersih, menjaga kesehatan, meningkatkan keimanan, serta menjaga lingkungan. Hal ini menjadi fondasi kuat bagi terciptanya standar kesehatan minimal yang dapat diwujudkan secara individu dan kolektif.

Selain itu, sistem ekonomi Islam menolak eksploitasi, dan memastikan kesejahteraan untuk semua warga. Bidang ini juga akan terintegrasi pada sistem sosial, pendidikan, dan hukum. Semuanya berkontribusi menciptakan masyarakat yang sehat secara fisik dan mental. Dengan demikian, paradigma politik kesehatan Islam tidak hanya fokus pada pengobatan, tetapi juga pada pencegahan dan pengelolaan sistem sosial yang mendukung kualitas hidup optimal bagi umat.

Dengan demikian, meski vaksin ini menjanjikan harapan baru dalam pemberantasan TBC, tapi pelaksanaannya menimbulkan kekhawatiran terkait efek samping, etika partisipasi, dan potensi ketimpangan akses hasil vaksin. Terlebih, dengan dominasi lembaga asing dalam pendanaan dan riset, maka berisiko adanya intervensi. Dari sudut pandang Islam, intervensi kapitalis di sektor kesehatan dipandang bermasalah.

Wallahualam bissawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 0

Comment here