Penulis: Mahrita Julia Hapsari (Aktivis Muslimah Banua)
Wacana-edukasi.com, OPINI–Pemanfaatan teknologi dalam kehidupan manusia sejatinya adalah nikmat dan amanah dari Allah SWT. Namun, ketika teknologi digunakan untuk mengakali sistem seleksi masuk perguruan tinggi seperti UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer), maka yang tampak bukan hanya penyalahgunaan alat, tetapi juga krisis moral dan kebobrokan sistem pendidikan. Fenomena ini menjadi cerminan rapuhnya akhlak calon mahasiswa yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa.
Beberapa waktu terakhir, media sosial dihebohkan dengan praktik-praktik kecurangan dalam UTBK. Mulai dari penggunaan alat bantu seperti kamera tersembunyi, earphone mini, hingga bantuan pihak ketiga yang mengakses sistem secara ilegal. Ironisnya, para pelaku bukan hanya calon mahasiswa biasa, melainkan mereka yang berasal dari sekolah-sekolah favorit. Ini menunjukkan bahwa kecerdasan akademik ternyata tidak selalu sejalan dengan integritas dan kejujuran.
Fakta ini diperkuat oleh temuan di lapangan. Pada pelaksanaan UTBK SNBT 2025, terungkap adanya modus baru kecurangan yang melibatkan teknologi canggih. Kamera mikro disembunyikan dalam behel, kancing baju, hingga kuku palsu, digunakan untuk merekam soal dan mengirimkannya keluar melalui aplikasi remote desktop. Dalam dua hari pertama, panitia berhasil mengungkap sedikitnya 14 kasus serupa. (Kompas.com, 25/04/2025).
Lebih dalam lagi, survei Penilaian Integritas Pendidikan (PIP) 2024 yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa 78% sekolah dan 98% kampus masih ditemukan praktik menyontek. Bahkan 44,75% peserta didik mengaku tetap menyontek walau tahu hal itu salah, 38,4% meminta orang lain mengerjakan tugas, dan 20,69% lebih memilih menyontek daripada belajar. Di tingkat mahasiswa, angkanya lebih tinggi lagi. Data ini dipublikasikan oleh Detik.com pada 2 Mei 2025.
Kegagalan Sistem Pendidikan Sekuler
Fenomena kecurangan UTBK tidak terjadi di ruang hampa. Ia lahir dari sistem pendidikan sekuler yang gagal membentuk kepribadian Islam pada generasi muda. Sistem ini hanya mengedepankan aspek kognitif dan keterampilan semata, tanpa memperhatikan aspek spiritual dan moral. Pendidikan tidak diarahkan untuk membentuk insan yang taat kepada Allah, melainkan untuk mencetak tenaga kerja yang siap pakai demi roda ekonomi kapitalistik.
Inilah realitas pahit dari sistem pendidikan yang menjadikan materi sebagai tolok ukur keberhasilan. Seseorang dianggap sukses jika berhasil masuk PTN favorit, memperoleh IPK tinggi, dan mendapatkan pekerjaan bergaji besar. Nilai-nilai kejujuran, amanah, dan tanggung jawab dikorbankan demi prestasi akademik semu. Maka jangan heran jika kecurangan dianggap sebagai “jalan pintas” yang logis dan bisa dimaklumi.
Kapitalisme sebagai sistem hidup yang melandasi seluruh aspek kehidupan hari ini turut andil besar dalam kerusakan ini. Kapitalisme mengajarkan bahwa kebahagiaan terletak pada kepemilikan materi, bukan pada keridhaan Allah. Akibatnya, manusia rela menempuh segala cara termasuk cara yang haram demi memperoleh hasil. Inilah buah dari pemisahan agama dari kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan.
Sistem Pendidikan Islam dalam Naungan Khilafah
Islam memiliki sistem pendidikan yang unik, menyeluruh, dan terintegrasi dalam bingkai negara khilafah. Sistem pendidikan Islam bertumpu pada akidah Islam sebagai asas (fondasi), sehingga seluruh kurikulum, metode, dan tujuan pendidikan diarahkan untuk membentuk kepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyyah) pada setiap individu.
Dalam sistem ini, pendidikan bukanlah komoditas ekonomi. Pendidikan merupakan kebutuhan pokok rakyat yang dijamin negara secara cuma-cuma. Khilafah akan membangun infrastruktur pendidikan yang memadai dan merata, menyediakan guru berkualitas, dan memastikan setiap warga negara mendapatkan hak pendidikan tanpa diskriminasi ekonomi maupun status sosial.
Tujuan utama pendidikan dalam Islam bukan sekadar mencetak tenaga kerja, melainkan mencetak insan yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Artinya, seorang siswa tidak hanya memahami halal dan haram, tetapi menjadikan syariat sebagai standar dalam bertindak. Dalam sistem ini, sejak kecil anak-anak dididik untuk takut kepada Allah, jujur, amanah, serta memiliki rasa tanggung jawab atas setiap perbuatan.
Islam tidak menolak ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan, dalam naungan khilafah, ilmu-ilmu seperti matematika, sains, kedokteran, dan teknologi dikembangkan secara luas sebagai bagian dari fardhu kifayah. Namun, pengembangan ilmu tersebut harus tetap berada dalam kerangka akidah Islam, bukan semata-mata demi kemajuan material atau persaingan global, apalagi demi kepentingan kapitalis.
Dalam sistem pendidikan Islam, proses belajar tidak boleh dipisahkan dari pembentukan keimanan. Ujian bukan sekadar penilaian kognitif, tetapi juga momen untuk menguji kejujuran dan amanah. Maka, kecurangan bukan hanya pelanggaran aturan, tapi pelanggaran terhadap hukum Allah. Negara khilafah akan menanamkan kesadaran ini secara sistematis dalam seluruh jenjang pendidikan.
Teknologi untuk Menjulang Kalimat Allah
Dengan kuatnya kepribadian Islam yang terbentuk melalui pendidikan yang benar, kemajuan teknologi akan diarahkan untuk maslahat umat dan kemuliaan agama. Teknologi bukan dimanfaatkan untuk menipu sistem, melainkan untuk memperluas dakwah, mempercepat riset, dan membangun peradaban yang mulia. Semua itu dilakukan dalam bingkai ketaatan kepada Allah dan demi meninggikan kalimat-Nya di muka bumi.
Jelaslah, penyelesaian masalah kecurangan dalam UTBK dan kebobrokan akhlak siswa tidak cukup dengan perbaikan pengawasan teknis atau reformasi kurikulum sekuler. Solusi hakiki hanya bisa diwujudkan dengan penerapan sistem pendidikan Islam yang berlandaskan wahyu, dalam naungan khilafah Islamiyah. Sistem inilah yang akan melahirkan generasi berakhlak mulia, cerdas, terampil, dan siap menjadi agen perubahan hakiki. []
Views: 4
Comment here