Opini

Solusi Tuntas Masalah Inses

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Khodijah Ummu Hannan

Wacana-edukasi.com, OPINI–Miris rasanya melihat kenyataan hubungan seksual sedarah kini bukan lagi sekadar cerita kelam tersembunyi. Namun, kini mulai marak terjadi dan muncul ke permukaan. Seolah batas norma dan rasa malu makin terkikis.

Maraknya hubungan sedarah akhir-akhir ini bukan sekadar masalah pribadi yang menyimpang, tetapi menjadi cerminan rusaknya tatanan hidup yang dibangun di atas fondasi sekularisme dan kapitalisme. Ketika agama dijauhkan dari kehidupan, dan kebebasan dijadikan tolok ukur kebenaran, maka batas antara yang bermoral dan tidak pun perlahan memudar. Inilah potret buram masyarakat yang kehilangan arah, nafsu dibiarkan menguasai, dan nilai dijadikan komoditas.

Seorang bayi laki-laki hasil hubungan inses terlahir di Kota Medan, Sumatra Utara. Tragisnya, bayi tersebut hanya sempat menghirup udara kehidupan selama beberapa jam sebelum meninggal dunia. Peristiwa ini terungkap secara mengejutkan ketika seorang pengemudi ojek online (ojol) menerima pesanan pengiriman paket dari akun yang menggunakan identitas palsu. Sesampainya di alamat tujuan, rumah yang dimaksud tidak ditemukan.

Saat pengemudi meminta kejelasan, pemesan justru memintanya untuk meletakkan paket tersebut di teras sebuah masjid. Setelah itu, akun pemesan tidak lagi dapat dihubungi. Ketika paket dibuka, isinya ternyata jenazah bayi laki-laki yang dibungkus kain. Polisi kemudian berhasil menangkap dua pelaku yang diduga merupakan pasangan inses. Keduanya kini dijerat dengan Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (Detik .com, 10/5/2025 dan kompas. com, 11/5/2025).

Ibarat fenomena gunung es, setelah satu kasus incest terkuak, kasus-kasus serupa mulai bermunculan ke permukaan. Baru-baru ini, warganet kembali dihebohkan dengan keberadaan sebuah grup Facebook bernama “Fantasi Sedarah” yang beranggotakan puluhan ribu akun. Grup tersebut diduga menjadi wadah bagi para pelaku dan pendukung hubungan sedarah untuk berbagi fantasi dan konten menyimpang. Menanggapi hal ini, Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, mendesak pihak kepolisian untuk segera mengusut dan menindak tegas orang-orang di balik grup tersebut. Ia menegaskan bahwa konten yang disebarkan sangat membahayakan moral masyarakat dan berpotensi merusak tatanan sosial secara lebih luas.( antaranews.com, 16 Mei 2025).

Akar Masalah Akibat Penerapan Sekularisme Kapitalisme

Fenomena ini tidak muncul tiba- tiba, semuanya diakibatkan dari penerapan sistem Kapitalisme sekuler yang dianut saat ini. Sistem ini menyingkirkan agama dari ruang publik dan menjadikan kebebasan dan keuntungan materi menjadi nilai tertinggi. Dampaknya, perilaku sebejad apapun dianggap wajar, selama tidak mengganggu kepentingan pasar.

Dalam kerangka sekularisme, agama dipinggirkan dari pengaturan kehidupan, seolah hanya relevan di ranah ibadah personal. Akibatnya, nilai moral yang seharusnya menjadi penuntun perilaku manusia kehilangan pijakan dalam kehidupan sosial. Di saat yang sama, kapitalisme menanamkan gagasan bahwa kebebasan individu dan kepuasan pribadi adalah segalanya, termasuk dalam urusan seksual.

Media dan industri hiburan pun ikut memperkuat narasi ini, dengan menampilkan konten-konten seksual secara vulgar dan tanpa batas, demi mengejar keuntungan. Lambat laun, masyarakat dibentuk untuk menoleransi bahkan menganggap wajar perilaku menyimpang, termasuk hubungan sedarah, selama dikemas atas nama “pilihan pribadi”. Inilah realita kelam yang lahir dari ideologi yang menjadikan manusia sebagai pusat kebenaran, bukan Tuhan.

Peran Media dan Pendidikan dalam Kapitalisme

Media, dalam sistem kapitalisme, tak lagi sekadar alat penyampai informasi, melainkan menjadi mesin pembentuk opini dan selera publik. Demi mengejar rating dan keuntungan iklan, berbagai tayangan yang menampilkan kekerasan, eksploitasi seksual, hingga hubungan menyimpang disuguhkan tanpa batasan moral. Konten-konten tersebut secara tidak langsung membentuk persepsi bahwa penyimpangan adalah bagian dari “kenormalan baru” yang layak diterima.

Bahkan, di media sosial, kelompok-kelompok penyimpang seperti pendukung inses dapat bebas membentuk komunitas dan berbagi fantasi tanpa rasa takut. Hal ini karena sistem tidak lagi mengutamakan nilai kebenaran, melainkan kebebasan berekspresi. Di sinilah letak bahayanya: media tidak hanya mencerminkan budaya, tetapi juga menciptakannya—dan ketika budaya yang dibentuk adalah budaya permisif tanpa nilai. Maka kehancuran moral hanyalah soal waktu.

Keadaan ini semakin diperparah dengan sistem pendidikan yang lebih berorientasi pada pencapaian materi ketimbang pembentukan karakter. Sekolah dan lembaga pendidikan banyak melahirkan manusia-manusia yang terampil menghasilkan uang (cuan), namun minim bekal nilai agama dan moral. Ilmu agama dianggap sekadar pelengkap, bukan fondasi. Akibatnya, agama tidak lagi menjadi kendali dalam bertindak, dan manusia pun bebas melakukan apa saja tanpa mempertimbangkan halal dan haram. Ketika pendidikan gagal menanamkan rasa takut kepada Tuhan dan tanggung jawab sosial, maka tak heran jika penyimpangan perilaku menjadi semakin jamak, bahkan dianggap biasa oleh sebagian kalangan.

Semua itu semakin memperjelas abainya peran negara, negara dalam sistem sekuler berfungsi regulator. Meskipun ada aturan yang dibuat namun pelaksanaannya lemah dan tidak membuat efek jera. Negara gagal menjaga akhlak rakyatnya, sebab tidak menjadikan agama sebagai pondasi hukum dan kebijakan. Sehingga penyimpangan terus berulang dan pelaku bisa lolos dari jeratan hukum.

Kembali ke Solusi Hakiki

Untuk keluar dari krisis moral yang kian parah ini, dibutuhkan perubahan mendasar dalam cara pandang dan sistem yang mengatur kehidupan. Solusi tambal sulam tidak lagi memadai. Sudah saatnya masyarakat dan negara kembali menjadikan nilai-nilai agama sebagai fondasi dalam menyusun hukum, pendidikan, serta tatanan sosial.

Islam sebagai agama yang sempurna, telah melakukan tindakan preventif untuk pencegahan inses sejak dini. Di antaranya dengan memisahkan tempat tidur anak- anak, sejak usia anak tujuh tahun, sebagaimana sabda Rasul, “Perintahkan anak-anak kalian untuk salat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika mereka tidak melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka” (HR. Abu Dawud).

Juga dilarang untuk mandi bersama, untuk menjaga pandangan dan menanamkan rasa malu. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya di antara perkataan kenabian yang masih tersisa adalah: Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah sesukamu.” (HR. Bukhari). Penanaman rasa malu (terlihat aurat) ini akan menjadi benteng manusia melakukan perbuatan keji. Diperkuat dengan sistem pendidikan Islam, yang akan membentuk manusia yang memilki kepribadian Islam. Dengan modal ini manusia memiliki ketakwaan dan akan menjadi kendali dalam dalam melakukan setiap aktivitas.

Negara juga akan melakukan kontrol dan aturan yang tegas terhadap media yang ada. Ketika ditemukan ada media yang melenceng, maka sanksi tegas akan dijatuhkan. Pelaku insespun akan mendapatkan hukuman yang membuat pelaku jera dan menjadi pencegah bagi yang lain. Yaitu dengan penerapan hukum jilid (QS. An-Nur: 2), dan hukum rajam bagi pezina yang sudah menikah, sabda Rasul, “Jika seseorang dari kalian menemukan istrinya berzina, lalu dia bersaksi atas hal itu, maka hendaklah dia (suami) merajamnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Mari kita membuka mata, inses bukan hanya permasalahan individu semata. Semua ini disebabkan oleh penerapan sistem sekularisme kapitalisme. Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali kepada aturan yang datang dari sang pencipta diri yaitu Allah SWT. Sistem Islam akan menyelamatkan manusia dari kehancuran. [WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 0

Comment here