Wacana-edukasi.com, OPINI–Oleh. Ummu Faiha Hasna (Pena Muslimah Cilacap)
Ruang aman bagi perempuan kini kian menyempit. Nahas nya, temuan yang mengejutkan ini menurut data PBB, setiap sepuluh menit ada satu perempuan di dunia tewas dibunuh orang dekatnya. Ini menunjukkan sepanjang 2024, ada sekitar 50.000 perempuan dan anak perempuan yang dibunuh oleh pasangan atau anggota keluarga.
Selain itu, laporan juga telah mengungkapkan enam puluh persen perempuan di seluruh dunia dibunuh oleh pasangan atau kerabatnya (ayah, ibu, paman, dan saudara laki-laki). Angka tersebut menunjukkan masih sulitnya upaya melawan femisida (detik com, 25-11-2025).
Rumah saat ini telah menjadi tempat paling berbahaya bagi perempuan. Maka wajar komnas perempuan bersama Aliansi Jurnalis Independen sampai menggelar pelatihan media terkait peliputan kasus femisida. Dengan besar harapan pelatihan tersebut dapat mendorong media lebih ramah gender dan tidak mengulang kekerasan simbolik terhadap korban melalui pemberitaan.
Kehidupan Sekuler Tak Jamin Rasa Aman
Nasib perempuan semakin memprihatinkan dalam kehidupan modern yang berjalan tanpa aturan syariat. Sistem kapitalisme sekularisme mendorong manusia untuk berfikir dan berperilaku sesuka hati tanpa koridor agama yang menuntut akhlak dan batasan sosial. Ketika nilai-nilai ilahiah ditinggalkan, manusia mudah menganiaya sesamanya hanya karena amarah, kecemburuan, hasrat dominasi atau ambisi pribadi.
Tidak heran, jika kehidupan hari ini terus diliputi kekejian dan kekerasan yang seakan tidak pernah berhenti. Situasi ini kian buruk karena negara dalam sistem kapitalisme tidak benar-benar menghadirkan rasa aman. Sebab, saat ini negara hanya berperan sebagai regulator bukan pelindung yang aktif menyelesaikan masalah hingga ke akar-akarnya. Maka yang terjadi adanya berbagai tragedi yang menerima perempuan dikemas ulang dalam istilah-istilah seperti femisida (femicide), victim blaming atau dorongan untuk “speak Up”. Pendekatan ini tidak menawarkan solusi karena hanya menyentuh permukaan. Akar persoalan kekerasan terhadap perempuan justru terletak pada dicampakkannya hukum-hukum syariat yang sejatinya mengatur relasi sehat antara laki-laki dan perempuan baik di ruang publik maupun dalam keluarga.
Lebih dari itu, mekanisme sanksi dalam sistem kapitalisme tidak memiliki daya efek jera. Pelaku kekerasan kerap mendapat hukuman ringan bahkan bisa lolos dengan memanfaatkan celah hukum. Lingkungan sosial yang permisif (permissive social environment , budaya hiburan yang merusak (destructive entertainment culture) serta lemahnya kontrol negara (weak state control), menambah besar potensi kriminalitas di tengah masyarakat.
Dalam kondisi demikian, bisa dibilang jika perempuan saat ini berada di posisi paling rentan. Sebab, saat aturan ilahi ditinggalkan, perlindungan sejati pun kian hilang. Maka, sesungguhnya hanya dengan penerapan syariat secara menyeluruh yang menggabungkan pendidikan, penjagaan moral, pengaturan pergaulan, dan penegakkan sanksi tegas, kemananan dan kehormatan perempuan dapat dijamin secara hakiki bukan sekedar wacana.
Dalam pandangan kacamata Islam, perempuan sejatinya tidak pernah dipandang sebagai kelompok kelas dua sebagaimana anggapan yang berkembang dalam kehidupan sekuler saat ini. Kondisi sosial yang tidak diatur syariat justru yang melahirkan berbagai bias dan ketidakadilan, sehingga sebagian kelompok feminis menuntut kesetaraan gender sebagai solusi.
Perempuan itu Berharga Laksana Permata
Sbenarnya, kalau lihat lagi sejarah peradaban Islam 13 abad yang lalu, sejatinya Islam sejak awal telah menempatkan perempuan sebagai makhluk yang sangat berharga laksana permata yang harus dijaga kehormatannya.
“Perempuan laksana permata” yang berarti bahwa sejatinya perempuan memiliki sifat mulia, suci, berharga, dan harus dijaga kehormatannya, seperti halnya permata yang berharga dan dilindungi. Analogi ini mengacu pada kemuliaan perempuan yang bukan hanya dari fisik, tetapi juga dari hati yang terjaga, akhlak yang baik, dan iman yang terus bertumbuh. Nilai mulia ini bukan hanya sekedar slogan, akan tetapi terwujud dalam aturan dan mekanisme syariat yang melindungi perempuan dalam segala bentuk kezaliman. Sebagaimana manusia, perempuan dan laki- laki memiliki kedudukan yang sama dalam pandangan Allah. Keduanya mulia ketika menaati perintahnya dan tercela ketika melanggarnya. Karena itu Islam tidak mengenal anggapan bahwa laki- laki lebih tinggi martabatnya sehingga boleh bersikap superior terhadap perempuan.
Prinsip kemuliaan di sisi Allah inilah yang mencegah segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh laki-laki. (Lihat terjemah Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 124)
Hanya saja Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan karakter fisik yang berbeda. Karena itu lah Islam menetapkan pembagian peran hak, dan kewajiban yang jiga berbeda seperti dalam hal kewajiban nafkah, mahar, aturan menutup aurat, waris, hingga tanggung jawab pendidikan anak.
Perbedaan ini bukan bentuk ketidakadilan, melainkan harmonisasi agar laki-laki dan perempuan dapat bersinergi sesuai dengan fitrahnya masing-masing. Dengan tatanan ini, kehidupan keluarga dan masyarakat berjalan secara seimbang.
Sebuah kekerasan yang terjadi terhadap perempuan saat ini tidak lepas dari cara pandang terhadap peran perempuan dan tidak diterapkannya hukum syariat di ranah domestik maupun publik.
Sejatinya, Islam membedakan kehidupan khusus (di dalam rumah bersama mahram) dan kehidupan umum atau ruang publik. Agar interaksi berlangsung aman, terhormat dan jauh dari penyimpangan. Selain itu, negara dalam Islam wajib menutup segala pintu yang memicu bangkitnya naluri seksual seperti konten pornografi dan berbagai tayangan yang merusak moral. Untuk memberi efek jera, Islam juga mewajibkan penerapan sistem sanksi syariat terhadap para pelanggar jika seseorang terbukti melakukan penganiayaan hingga menyebabkan kematian. Maka ia dapat dikenai hukuman qishas sesuai ketentuan syariat.
Oleh karena itu, pentingnya umat menyadari bahwa hanya kembali pada aturan syariat, perempuan dapat memperoleh perlindungan, rasa aman dan kemuliaan yang hakiki.
Views: 0


Comment here