Opini

Premanisme, Islam Menjamin Keamanan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Novi Ummu Jundi

Wacana-edukasi.com, OPINI–Fenomena Lama, Bungkus Baru. Masyarakat kita kembali dibuat resah. Kali ini bukan oleh bencana alam atau krisis ekonomi, tapi oleh ulah sekelompok orang yang dulu disebut preman, kini tampil rapi berbalut ormas. Aktivitas mereka mulai dari pungli, intimidasi, hingga kekerasan, yang semuanya menciptakan rasa tidak aman di tengah-tengah rakyat. Bedanya, sekarang mereka bisa berdalih punya izin, punya struktur, bahkan kadang mendapat “perlindungan” dari pihak tertentu.

Apakah ini wajah baru dari premanisme, atau sebenarnya sistem yang sama—hanya dibungkus lebih sopan?

Presiden Prabowo dikabarkan merasa resah. Menteri Sekretaris Negara menyampaikan bahwa kepala negara tidak nyaman dengan aksi premanisme berkedok ormas ini (CNBC Indonesia, 9 Mei 2025). Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, menegaskan bahwa tindakan tegas harus segera dilakukan karena aksi mereka semakin membahayakan masyarakat, termasuk aksi tawuran bersenjata tajam yang marak terjadi bahkan di lingkungan tempat tinggalnya (CNBC Indonesia, 9 Mei 2025).

Jawabannya mungkin tidak sesederhana “perlu ketegasan.” Mungkin akar masalahnya justru ada pada sistem itu sendiri.

*Mengapa Premanisme Terus Tumbuh?*

Premanisme, dalam bentuk apapun, tumbuh subur di lingkungan yang mendewakan kebebasan tapi menyingkirkan nilai moral. Sistem sekuler hari ini memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dalam urusan hukum dan keamanan. Akibatnya, kejahatan bukan hanya dianggap pelanggaran hukum negara, tapi sering kali dinegosiasikan: kalau tidak bisa ditangkap, ya diajak kompromi.

Bahkan pemerintah sendiri mengakui bahwa masalah ini sudah masuk kategori mengkhawatirkan. Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Budi Gunawan, mengumumkan rencana pembentukan Satgas Terpadu Penanganan Premanisme dan Ormas yang melibatkan TNI, Polri, dan instansi terkait dalam satu komando terpadu (CNBC Indonesia, 9 Mei 2025). Lemhannas pun meminta aparat bertindak tegas terhadap ormas-ormas yang mengganggu iklim investasi nasional (Metro TV, 7 Mei 2025).

Para pengusaha juga angkat suara. Mereka mengaku dimintai jatah proyek hingga Tunjangan Hari Raya (THR) oleh kelompok ormas tertentu. Keluhan ini datang dari Apindo, PHRI, HIMKI, Aptrindo, API, dan DMSI (Metro TV, 7 Mei 2025).

Tapi pertanyaannya: kenapa semua ini terus berulang, meski negara mengklaim punya wewenang dan aparat lengkap?

Lebih parah lagi, sistem demokrasi kapitalis membuka peluang bagi siapa pun untuk berkuasa—asal punya modal dan pengaruh. Di sinilah preman berubah wujud: dari tukang palak di terminal menjadi aktor ormas yang bisa “bernegosiasi” dengan pejabat. Sistem ini menciptakan ruang abu-abu antara legal dan ilegal. Kalau punya akses, kekuasaan bisa dibeli. Hukum bisa ditekuk.

Yang menjadi korban? Ya rakyat. Terutama rakyat kecil, para pedagang, pengusaha kecil, bahkan masyarakat biasa yang hanya ingin hidup tenang. Mereka terpaksa hidup berdampingan dengan rasa takut. Ironisnya, di negeri yang mengaku demokratis, rakyat harus mencari keamanan sendiri—kadang dengan membayar, kadang dengan “diam.”

Hukum Kapitalistik: Lemah dan Tebang Pilih

Premanisme juga subur karena hukum yang diterapkan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Penegakan hukum sering kali tebang pilih. Kalau pelaku premanisme berasal dari kelompok yang “dekat,” bisa saja lolos. Tapi kalau rakyat kecil yang melanggar, tak butuh waktu lama untuk ditindak.

Hukum dalam sistem demokrasi kapitalis bukanlah alat keadilan, melainkan alat kekuasaan. Maka jangan heran kalau rasa aman di negeri ini terasa mahal. Tidak semua bisa menikmatinya. Apalagi kalau tidak punya “backup.”

Padahal, rasa aman adalah hak dasar manusia. Tapi dalam sistem ini, ia menjadi semacam fasilitas eksklusif.

Islam Solusi Tegas dan Menenteramkan

Islam punya cara pandang yang berbeda soal keamanan. Dalam pandangan Islam, keamanan bukanlah produk, tapi kewajiban negara. Negara Islam (Khilafah) berkewajiban menjaga keamanan setiap warga, tanpa memandang status, kekayaan, atau koneksi. Karena pemimpin dalam Islam adalah ra’in—pengurus umat, bukan pemilik negeri.

Premanisme dalam Islam dikategorikan sebagai tindak kriminal (jarimah), yang bentuknya bisa berupa perampasan hak, intimidasi, pemerasan, atau kekerasan. Semua itu ada sanksinya. Islam mengenal hudud, ta’zir, dan jinayat, tergantung dari jenis pelanggarannya.

Kalau preman melakukan penganiayaan, maka bisa dikenai qishash (balasan setimpal), atau diyat (denda). Kalau melakukan pemerasan atau intimidasi, bisa dikenai ta’zir, mulai dari cambuk hingga penjara. Tidak ada istilah kompromi. Semua warga negara sama di hadapan hukum.

Inilah sistem yang menenteramkan: bukan karena semua orang baik, tapi karena negara hadir melindungi dan menghukum dengan adil.

Bukti Nyata dalam Sejarah Islam. Di masa pemerintahan Umar bin Khattab, seorang wanita bisa berjalan dari Yaman ke Madinah sendirian tanpa rasa takut. Bukan karena tidak ada penjahat, tapi karena penegakan hukum tegas dan adil.

Negara hadir bukan sebagai penonton, tapi sebagai pelindung. Kalau hari ini rakyat terpaksa bayar satpam, pasang CCTV, bahkan kadang “izin” dulu ke preman lokal, itu karena negara absen dari fungsinya.
Pertanyaannya: sampai kapan rakyat harus hidup dalam ketakutan? Sampai kapan preman bisa berkeliaran atas nama ormas?

Islam punya solusi menyeluruh. Sistem Khilafah Islamiyah akan menerapkan hukum yang adil, menjamin keamanan tanpa kompromi, dan menindak siapa pun yang mengganggu ketenteraman publik. Tidak ada ruang bagi premanisme. Karena pemimpinnya takut pada Allah, bukan takut pada opini atau pemilik modal.

“Kemudian akan kembali berdiri Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.” (HR. Ahmad)

Inilah janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah. Kita hanya perlu memantaskan diri menjadi bagian dari perjuangannya. [WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 1

Comment here